Politik Indonesia mengisahkan kata “gerakan” bermakna tunggal setidaknya kentara sejak tahun 1965. Kata menyimpan tafsir dan pemaknaan yang panjang dan rumit. Penyematan kata itu dalam berbagai kalimat di hadapan publik cenderung terkesan politik dan penuh ketegangan. Di dalam situasi tersebut, orang tak mudah mengatakan kata itu dalam masa-masa tertentu. Pengucapan membawa risiko yang tak ringan.
Kenyataan itu memberikan tugas yang remeh untuk sekadar menelusur pergulatan kata pada masa demi masa. Kita sengaja membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia garapan W. J. S. Poerwodarminto yang diterbitkan pertama kali pada 1952. Lema gerak terartikan berupa: 1. Peralihan tempat, 2. Dorongan hati; rasa jg timbul dl hati (batin); ilham, dan 3. Denjut-denjut pd mata, bibir dsb jg mendjadi alamat; alamat; gelagat; petundjuk.
Sementara itu, lema pergerakan dan gerakan dalam kamus itu disebut: 1. Perbuatan bergerak; hal bergerak dan 2. Usaha di lapangan politik, kemasjarakatan dsb dng mendidirikan perkumpulan dsb. Dugaan muncul kamus menarasikan istilah cenderung pada hal ”politik”. Istilah “gerak” sebenarnya khas dalam sains kealaman. Kalau kita menyimak Daftar Istilah Fisika garapan H. Johannes, Liek Wilardjo, dan C. Johannes terbitan Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan istilah gerak terserap dari “motion”.
Bahkan, Liek Wilardjo bersama Dad Murniah lewat Kamus Fisika (Balai Pustaka, 2000), menarasikan gerak secara khusus pada ilmu fisika. Kamus itu memuat sederet istilah yang menggunakan lema “gerak”. Itu mengingatkan pada editorial di dalam Majalah Mekatronika edisi No. 6 Tahun 1981. Pada edisi itu, majalah secara khusus menampilkan laporan penting dalam revolusi permesinan.
Penjelasan dari pihak redaksi: “Untuk edisi kali ini, sengaja masalah mesin-mesin penggerak dan sejarah perkembangannya kami pilih sebagai laporan utama, mesin penggerak sebagai salah satu produk teknologi, memiliki sejarah perkembangan yang unik dan sangat lamban. Rata-rata dalam satu abad atau sekurang-kurangnya dalam 50 tahun, baru terjadi revolusi disain dan karakteristik”.
Pada sejarah panjang, “gerak”, “gerakan, dan “pergerakan” menjadi lema tak boleh ditinggalkan. Kita diingatkan pada gagasan dan sederet nama dengan segala gejolaknya saat menyebut “Zaman Pergerakan”. Buku penting dan bersejarah perlu disebut, misalnya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 garapan Takashi Shiraishi, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia garapan A.K. Pringgodigdo, bahkan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo pernah menulis buku berjudul Pergerakan di India.
Bung dan Nona mungkin akan terkejut ketika membaca tiga kata itu dalam konteks sejarah panjang Orde Baru. Kata itu dimiliki pada dua wilayah. Pertama, revolusi politik yang terus menjadi obrolan tiap tahun, berkaitan dengan frasa yang dibuat oleh mereka: Gerakan 30 September. Kedua, istilah itu dimiliki oleh kelompok ibu dalam sejarah keberadaan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Meski, pada zaman itu penyusunan kamus terarah pada ilmu pengetahuan dan teknologi, agaknya sedikit terlambat. Kita boleh buka kamus, namun harus dikata kalah dominan dari pemahaman politik. Agak-agaknya banyak kata demi kata akan terus menghadapi pertarungan tafsir dari berbagai pihak seiring perkembangan zaman. Sejarah bukanlah narasi tunggal yang sejauh ini diyakini oleh mayoritas.
Penasaran dalam konteks sains, di dalam Kamus Fisika tersemat: gerak abadi, gerak beralun, gerak berkala, gerak Brown, gerak fana, gerak gelombang, gerak harmonik, gerak harmonik eliptik sederhana, gerak kejut, gerak lingkar, gerak melingkar, gerak mutlak, gerak nisbi, gerak Poinsot, gerak pual, gerak selaras, gerak selaras eliptik ratah, gerak selaras ratah, gerak selaras terendam, gerak taknisbian, gerak terkendala, gerak titik nol, gerak translasi, dan gerak zalir takberolak.
Seorang fisikawan Italia penggagas teori gravitasi kuantum simpal, Carlo Rovelli malah pernah menafsirkan kata “gerak” dalam konteks teori relativitas. Itu berkaitan dengan dimensi keberadaan ruang dan waktu. Di buku berjudul Tatanan Waktu, hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Globalindo pada 2019 dari karya aslinya, The Order of Time (2017) terjelaskan. Rovelli menulis: “Waktu berlalu lebih lambat untuk orang yang terus bergerak”.
Pada abad XXI, meski tak terlalu bergairah, tiga kata tersebut masih ingin dimiliki oleh segelintir mahasiswa yang kebetulan juga menjadi aktivis kampus. Kata gerak, gerakan, dan pergerakan agaknya menjadi sarana ampuh dalam menguji keberanian dalam memperjuangkan idealisme. Protes di jalanan, bersuara lantang dengan pengeras suara, hingga penyebaran pamflet dilakukan dengan pengatasnamaan rakyat, bangsa, dan negara.
Duh, saya malah jadi teringat beberapa kawan saya yang masih menjadi aktivis di salah satu organisasi eksternal kampus bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Konon katanya organisasi itu punya banyak anggota di sederet nama kampus se-Indonesia dan bahkan juga di beberapa negara luar. Jarang bertemu mereka saya jadi kangen dengan diskusi terkait ide-ide besar untuk dunia. Apakah banyak dari mereka masih pada “bergerak” juga, ya? Jadi penasaran.[]