Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Kiai Fadhol Senori: Ulama Jawa yang Mengharumkan Dunia Islam (2)

Kiai Fadhol Senori

Sehari-hari, Kiai Fadhol hidup dalam kesederhanaan dan kezuhudan. Ia sangat tertib dalam menjaga sembahyang wajib di awal waktu dan berjamaah. Penampilannya pun biasa saja. Orang awam yang belum mengenalnya, pasti tak mengira bahwa Kiai Fadhol adalah sosok ulama mumpuni.

Pakaian yang dikenakan seadanya asalkan bersih, suci, dan menutup aurat. Saking sederhananya, ketika takziah kewafatan KH. Zubair Dahlan (ayah Mbah Maimun Zubair), Kiai Fadhol hadir di tengah jamaah tanpa ada yang tahu bahwa ia adalah sosok ulama besar. Tak ayal, beliau sempat dicueki, tidak dihormati oleh orang banyak karena songkok hitam yang dipakainya telah berubah warna menjadi merah. Baju yang dikenakannya pun lusuh, hingga orang acuh tak acuh memandangnya.

Mereka baru tahu kalau Kiai Fadhol adalah sosok yang alim, setelah Mbah Maimun Zubair memergokinya di tengah jalan. Sekonyong-konyong KH. Maimun langsung menciumi tangan Beliau dan mendudukkannya di tempat yang layak.

Selain warak, Kiai Fadhol juga rutin ngewirid yakni mengkhatamkan Alquran dua kali dengan hafalan. Setiap malam menjelang pagi, Beliau selalu melantunkan dzikir dan bacaan Al-Qur’an di kamar pribadinya. Ketika menjelang shubuh, beliau memungkasinya dengan bacaan Hizb Saifi Mughni, Hizb Nashor, dan Hizib Bahr.

Ada satu wirid lagi, yakni membaca kitab besar sampai khatam dalam jangka sepuluh hari. Kiai Fadhol bahkan diyakini hafal isi kitab-kitab tersebut. Buktinya, bila ada persoalan, Beliau mampu menunjukkan jawaban disertai ta’birnya, seolah-olah tidak ada masalah yang musykil apalagi mauquf.

Karena itulah, Kiai Fadhol sering dijuluki dengan gelar ‘Kamus Berjalan,’ saking banyaknya penguasaan literatur kitab kuning yang dihafalnya. Ia sangat telaten dan piawai menggunakan bahasa yang mengena dan menyentuh hati manakala menyampaikan materi khutbah atau ceramah, sehingga tak jarang jamaah dan santri jadi menangis tersedu sedan saat mendengar wadarannya.

Baca juga:  Ulama Banjar (43): H. M. Syamsuri

Bidang Pekerjaan

Di tengah kewajiban mengajar santri, Kiai Fadhol pun menyisihkan waktu bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Berbagai pekerjaan yang pernah ditekuni adalah sebagai penjahit, berjualan benang dan kain, membuka toko servis jam, reparasi sepeda pancal dan motor, servis barang-barang elektronik, sewa becak, mendirikan pabrik rokok, dan lain sebagainya.

Anehnya, ketika usaha tersebut sudah mulai berkembang maju, Kiai Fadhol malah meninggalkannya dan diserahkan kepada para pegawainya. Sementara itu Kiai Fadhol berganti pekerjaan lain dan mulainya dari nol. Hal ini menunjukkan kepribadian Kiai Fadhol yang tak tergiur dengan kenikmatan dunia. Tujuan bekerja baginya, diniatkan untuk beribadah, bukan menumpuk harta.

Karya Tulis

Kiai Fadhol sejatinya memiliki puluhan bahkan ratusan karya tulis, karena Beliau tekun menyisihkan waktu untuk menelaah dan menulis—sejak usia remaja. Namun sayang, banyak sekali karyanya yang tidak terdokumentasikan dengan baik, karena sebagian besarnya hanyut diterjang banjir besar pada 1971. Sebagian lainnya tersebar dan dibawa oleh murid-muridnya yang tersebar di berbagai daerah, sehingga sulit untuk dilacak hingga sekarang. Dibutuhkan kerja ilmiah tersendiri guna menelusuri karya Beliau yang berserakan itu.

Di antara karya tulis Mbah Fadhol yang sudah dicetak dan bisa kita temui di pasaran adalah: Tashilul Masalik Syarah Alfiah Ibnu Malik; Kasfyfut Tabarih fi Shalatit Tarawih; Ahli Musamarah fi Bayani Auli’il Asyrah; Durrul Farid fil ‘Ilmit Tauhid; al-Lamma’ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.

Ada yang menarik dari kitab Ahlal Musamarah fi Hikayat al-Awliya al-‘Asyrah, Paling Manisnya Percakapan tentang Cerita Wali Sepuluh. Karya ini ditulis dengan bahasa Arab fushah, bukan bahasa Jawa dengan aksara pegon. Bahasa yang cukup sederhana memberikan kemudahan sendiri bagi pembaca. Hanya saja, pembaca perlu sedikit memahami beberapa nama orang dan tempat yang mungkin tidak sesuai dengan ejaan bahasa Arab. Karenanya, pembaca perlu riset khusus guna mengetahui cara membaca nama-nama tersebut dengan benar.

Baca juga:  Ulama Banjar (128): H. Tabrani Ali Maksum

Ada pun karya yang kami cantumkan paling akhir itu, marak dikaji banyak peneliti. Kitab itu juga menjadi salah satu rujukan di banyak pesantren, khususnya yang berhaluan NU. Isinya menjadi pegangan bagi para ulama Indonesia dalam mempertahankan akidah Islam dengan sudut pandang aswaja.

Kegetolannya itu dikarenakan Kiai Fadhol seringkali menyusun materi pelajaran yang komplit baik berbentuk nastar maupun nadzam—dalam pengajaran. Lalu setelah khatam, catatan tersebut diberikan kepada para santri yang turut mengaji. Sekadar contoh, Nadzam Bahjatul Hawi dan Nadzam Jam’ul Jawami’ yang masih disimpan santrinya.

Mereka yang pernah belajar dari Kiai Fadhol kelak menjadi ulama besar, di antaranya adalah Mbah Kiai Abdullah Faqih Langitan, Mbah Kiai Maimoen Zubair, Mbah Dimyati Rois Kendal, dan Kiai Hasyim Muzadi, KH. Kafabihi Mahrus Lirboyo, KH. Muhammad Zayadi Zain (Pendiri Ponpes Zainul Islah, Probolinggo), KH. A Mujib Imron, SH. dari Pondok Pesantren Al Yasini, Pasuruan, dan banyak lagi. Kebanyakan para santri-santrinya tersebar di wilayah Jawa Barat seperti Cirebon dan Kuningan.

Kembali ke Hadirat Allah

Hingga usia senja, Kiai Fadhol masih menjaga rutinitasnya seperti hidup zuhud, melakukan wirid, maupun mengajar santri, sekaligus menulis kitab. Di penghujung hayatnya, Kiai Fadhol ditemani sahabatnya, Mbah Hasan Mangli. Pada Sabtu, 11 November 1989 atau 12 Robiul Awal 1410 H, Belliau meninggal pada 1989 M dan dimakamkan di Senori, Tuban, Jawa Timur.

Baca juga:  Ulama Banjar (97): KH. Abdullah Madjerul

Kiai Fadhol memang kurang popular semasa hidup. Namanya berkibar justru setelah Beliau meninggal, seiring dibacanya kitab-kitab beliau di lingkungan pesantren NU. Keharuman namanya bahkan disejajarkan dengan ulama muallif besar lainnya, seperti Syekh Ihsan Jampes pemilik Sirajut Thalibin, Syekh Mahfudz Tremas pemilik Manhaj Dzawin Nadzar, atau Syekh Nawawi al-Bantani pengarang Nashaihul Ibad.

Menurut KH. A. Aziz Masyhuri, Abuya Dimyati, ulama ahli Alquran dan tasawuf asal Pandeglang, Banten, merasa menyesal kenapa selama hidupnya tak pernah mendengar dan bertemu Kiai Fadhol—setelah membaca kitab karyanya. Menurut Beliau, tulisan Kiai Fadhol memiliki nilai sastra yang indah, pengetahuan agama yang luas, dan gaya tutur yang mudah dipahami.

Semua pencapaian Syaikh Fadhol tersebut, diberikan Allah hanya dengan bekal mondok setahun di Tebuireng. Selain ayahnya, Kiai Abdus Syakur, cuma kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari saja lah Beliau menimba ilmu. Di luar kebiasaan para santri lain yang harus malang melintang terlebih dahulu di banyak pesantren. Dari wetan ke kulon, kaler ke kidul, baru bisa mentas.

Kisah kehidupan Syaikh Fadhol lagi-lagi menyadarkan kita gerak-gerik Allah. Islam mekar sempurna bukan di negeri asalnya, karena memang harus menjadi rahmat bagi semesta alam. Wallahua’lam… []

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top