Sedang Membaca
Teologi Muktazilah dan Kepemimpinan Negara di Era Kontemporer
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam (AFI) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam, dan alumni Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

Teologi Muktazilah dan Kepemimpinan Negara di Era Kontemporer

Marco Oriolesi Wqlglhjr6og Unsplash

Seorang pemimpin adalah orang yang memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan apa yang ia pimpin baik itu dalam lingkup keluarga, organisasi, dan Negara. Dalam setiap Negara khususnya Indonesia peran pemimpin merupakan peranan paling penting, bahkan kata pemimpin ini disinggung dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim (2751 dan 4828) dan menjadikan masalah serius bagi warga negara.

Menjelang Pilkada 2020 tentu setiap warga negara menginginkan kriteria umum pemimpin yang adil, tegas, mengayomi, dan pro rakyaknya. Akan tetapi peran ini disebagian kelompok disalahgunakan seolah-olah peran ini merupakan ladang baru dalam memperoleh suatu keuntungan serta mempermulus urusan yang menjadi tujuannya, mengabaikan kriteria kepemimpinan, memainkan kekuasaan, bahkan membentuk kebijakan-kebijakan baru yang bersifat menekanan.

Indonesia merupakan sebuah Negara yang memiliki keanekaragaman umat beragama, yang masing-masing membentuk kelompok-kelompok (ormas) Islam maupun yang non-Islam. Terbentuknya kelompok-kelompok tersebut tentu memiliki visi dan misi demi mencapai tujuan, menjadikan negara Indonesia sulit dalam mencari kriteria khusus seorang pemimpin tanpa berat dibeberapa ormas saja melainkan berat secara keseluruhan.

Agama Islam di Indonesia membentuk beberapa kelompok (ormas), yang masing-masing memiliki ideologi tersendiri walaupun agama yang dianut sama. Yang membedakan diantara mereka adalah paham teologi dan imam fiqh yang mereka anut, menjadikannya fanatik terhadap kelompoknya, bahkan didapati beberapa ormas tersebut rela memberontak demi melawan kebijakan-kebijakan Negara yang menurut pandangan dan penilaian mereka salah.

Baca juga:  Sunah dan Bid’ah dalam Perspektif KH Hasyim Asy’ari

Dilaksananya Pilkada tahun 2020 secara serentak (Detik.com), membuat beberapa kelompok-kelompok (ormas) Islam maupun non-Islam berpartisipasi, mereka mencari teman serta membentuk jalan dan menjadikannya satu dalam sebuah partai politik. Setiap massa dalam kelompok-kelompok tersebut menjadi satu dalam bentuk suara rakyat dalam mendukung partai politik yang mereka dukung, tentunya semua ini demi memenangkan partai politik mereka.

Cara yang mereka sajikan dalam berorasi penuh variasi bahkan dapat disebut unik, mereka tanpa segan menjadikan al-Qur’an sebagai landasan dan menafsirkannya sesuai akal rasional mereka dalam memperoleh suara rakyat. Tentunya hal ini mendapat kritikan dari para tokoh bahkan dari kelompok-kelompok ormas lain (pesaing). Mereka (para tokoh dan ormas lain) berpendapat bahwa yang mereka sampaikan dalam orasinya merupakan suatu ajaran yang menyesatkan. Namun, dalam pandangan paham Muktazilah hal itu dibenarkan.

Paham Muktazilah merupakan aliran yang bersifat rasional dan liberal. Dalam pandangan mereka akal merupakan segalanya yang memiliki kuasa dan kehendak bebas (Khaitunnas Jamal, 2015: 241). Aliran ini dikenal dengan nama Islam liberal di Indonesia. walaupun dianggap dapat mendatangkan kekufuran, tak semua pemikiran dari paham Muktazilah menuju kearah kufur. Bahkan, dari beberapa pemikiran Muktazilah tersebut membentuk sebuah ilmu baru yang dinamakan “Ilmu Kalam”, dengan memadukan antara filsafat dan logika dengan ajaran-ajaran agama Islam (Jumal Ahmad, 2017: 9).

Baca juga:  Pesantren, Bahasa Indonesia, dan Gus Dur

Sepintas, muslim diajarkan melepaskan individualitas dan menerima takdir bahwa dirinya adalah harta milik keluarga. Hal ini menyebabkan mereka untuk melakukan penyensoran diri dan penghormatan bak gaya robot kepada orang tua. Dimana orang tua menjadi intruksi pertama dalam memilih pemimpin atau dalam kehidupan sehari-hari. Jika melanggar batas-batas moral atau perintah dari orang tua kau “memalukan” lebih banyak orang selain dirimu sendiri.

Liberal dan rasionalitas memiliki peran akan melawan kecintaan terhadap sesuatu yang secara Eksesif atau berlebihan, rasionalitas mendobrak diksi-diksi dogma yang tanpa sadar telah membatasi akan kemampuan, kebebasan dan kehendak yang kita miliki dalam memilih pemimpin atau berekspresi.

Menjadi umat Islam yang cerdik dan menerima perbedaan antar kelompok merupakan suatu keinginan setiap umat Islam, tidak ada kata pertumpahan darah dalam perbedaan paham serta menghilangkan sikap fanatik pada satu kelompok. Mempelajari semua pemikiran yang terdapat pada beberapa aliran bukan suatu larangan, mengambil pemikiran positif dan menyebarkannya serta menolak dan menghapus pemikiran yang mengarah ke-kekufuran, demi menjadi umat yang memiliki wawasan lebih luas dalam mengenal Islam dan ilmu pengetahuan.

Sebagai negara pancasila yang menerima perbedaan antar umat beragama dengan membentuk suatu kesatuan yang satu, dapat menjadikan beberapa pemikiran dari paham Muktazilah sebagai kriteria baru dalam konteks memimpin sebuah Negara. Pemikiran yang mengedepankan akal rasio sebagai penentu serta menjadikan al-Qur’an dan al-Kitab agama-agama lain sebagai landasan berfikir dalam membentuk suatu kebijakan yang benar-benar adil dan bijaksana.

Baca juga:  Sepenggal Kisah Gempa dari Lombok

Tak terhindar dari peran politik, paham Muktazilah tentu dapat membentuk suatu kebijakan-kebijakan baru, walaupun tidak semua baik dalam pemikiran Muktazilah dibidang politik. Akan tetapi, menjadikan beberapa pemikirannya tentu dapat mengembalikan zaman keemasan, layaknya zaman yang haus pada ilmu pengetahuan dan negara mendukung secara penuh akan kegiatan-kegiatan yang menyangkut perkembangan ilmu pengentahuan.

Hal itu sudah terjadi di zaman Dinasti Abbasyiyah, menjadikan paham muktazilah sebagai peran dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Namun kebijakan itu secara perlahan membelenggu tokoh-tokoh agama yang ikut mengembangkan ilmu pengetahuan, mereka dipaksa hingga disiksa untuk mengakui doktrin muktazilah yang menyebutkan bahwa ‘al-Qur’an adalah makhluk’ (Jumal Ahmad, 2017: 12-13).

Menjadikan tragedi di era Dinasti Abbasyiyah sebagai cerminan berpolitik ala Muktazilah. Demi menghindari hal-hal yang tidak ingin terulang kembali terjadi, perlulah membuat suatu perubahan baru, dengan menerima pemikiran-pemikiran bernilai positif dan menolak pemikiran yang bernilai negartif secara tegas.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top