Kekerasan seksual bukan merupakan sebuah isu yang baru dan saat ini Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan seksual, yang mana selepas pandemi covid-19 semakin hari kasusnya semakin meningkat. Kekerasan seksual yang terjadi di tanah air banyak terjadi di lembaga pendidikan termasuk di Pondok Pesantren yang jika merujuk pada UU No. 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren, bahwa Pesantren diselenggarakan dengan tujuan membentuk individu yang unggul di berbagai bidang yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong-menolong, seimbang, dan moderat.
Lalu bagaimana mewujudkan tujuan dari diselenggarakannya Pesantren jika pemimpin pondoknya, tenaga pendidiknya yang seharusnya mengamalkan nilai ajaran agamanya dalam kehidupannya ternyata malah menjadi sosok makhluk yang tidak mencerminkan dari tujuan pesantren itu sendiri dan keluar dari prinsip-prinsip pesantren yang seharusnya dimiliki oleh tenaga pendidik dan pemimpin lembaga? Biadab, tidak berkemanusiaan kata yang pantas diucapkan kepada pelaku kekerasan seksual yang menjadikan perempuan mengalami luka fisik dan trauma berkepanjangan seumur hidupnya.
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan seperti yang dilakukan oleh Heri Irawan seorang pimpinan boarding school di Bandung Jawa Barat yang melakukan aksi biadabnya kepada 12 satriwatinya, bahkan 9 diantaranya telah melahirkan. Guru Ngaji di Depok juga melakukan tindakan biadab kepada 10 murid perempuan yang merupakan anak didiknya. Bahkan Kabid Humas Metro Jaya membenarkan hal tersebut dan kejadiannya terjadi sejak bulan Oktober sampai Desember 2021. Selain itu kasus lainnya terjadi di Tasikmalaya yang mendapat julukan kota santri. Guru Pesantren Melakukan kekerasan seksual kepada 9 santriwatinya dan hal tersebut dibenarkan oleh Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya
Kasus kekerasan seksual tersebut hanyalah sebagian dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Ketika kasus ini semakin meningkat dimana peran tokoh agama dan pemerintah? Padahal kekerasan seksual tidak dibenarkan dalam agama apapun dan kewajiban orang beriman adalah melindungi dan memberikan keamanan pada orang lain termasuk pada perempuan.
Andai pemuka agama berbicara mengenai keberagaman gender dan kekerasan seksual mungkin hal tersebut tidak lagi dinormalisasikan, bukan malah sibuk melakukan pembelaan dan pengalihan dengan berdalih kejadian tersebut bukan dilakukan di Pesantren namun di Boarding School. Andai pemerintah segera mengesahkan RUU TPKS mungkin akan semakin banyak korban yang mendapat perlindungan, kini saatnya RUU TPKS disahkan bukan terus-terusan dipertimbangkan. Menunggu berapa banyak korban lagi baru disahkan?
Menjadi seorang perempuan dalam budaya patriarki di Indonesia seolah menjadi kutukan, semasa kecil hanya diperbolehkan bermain boneka dan masak-masakan, menginjak remaja tidak diedukasi terkait pentingnya menjaga organ reproduksi termasuk ketika mengalami menstruasi, memasuki usia dewasa perempuan langkahnya dibatasi, ketika dilecehkan dinormalisasikan. Pilihannya dipertanyakan dan ketika menikah kebebasannya terenggut serta mengalami multiple burden.
Ketika hidup perempuan diberikan stereotype sosok manusia pemarah, emosional sehingga dicap tidak cocok menjadi pemimpin terlebih jika berani bersuara melawan bentuk-bentuk ketidakadilan. Selain itu ketika perempuan menjadi seorang single parent masyarakat memberikan label pelakor atau janda gatel. Bahkan dalam media televisi ketika mati pun perempuan diberikan stereotype menjadi sosok setan yang menakutkan yang penuh amarah dan kedengkian.
Tidak cukupkah budaya patriarki berhasil memberikan citra buruk dan ketidakadilan pada perempuan? Bahkan ketika perempuan dilecehkan dan menjadi korban kekerasan seksual malah menjadi sasaran empuk untuk disalahkan dan dinormalisasikan. RUU TPKS yang seharusnya menjadi landasan hukum bagi para pelaku kekerasan seksual dan juga menjadi payung hukum pelindung bagi para korban sehingga korban mendapat perlindungan yang sah dan keadilan dari Negara ternyata tak kunjung disahkan.
Indonesia sebagai Negara berketuhanan ketika ada ayat-ayat kitab yang disepelekan semua berteriak melawan atas nama agama, namun ketika kekerasan seksual merajalela semua diam tanpa suara seolah tuli dan buta. Apa yang salah dengan perempuan sehingga keadilan dan keamanan tidak dapat kami rasakan. Kapan dan mengapa RUU TPKS tak kunjung disahkan padahal semakin banyak korban bertebaran. Untuk apa hadir pancasila dan Undang-undang jika keadilan sendiri tidak menyentuh perempuan?