Sedang Membaca
Puisi, Musik, dan Pekerjaan
M. Taufik Kustiawan
Penulis Kolom

Mahasiswa IAIN Surakarta, Santri Ponpes Nurussalman, Laweyan, Solo.

Puisi, Musik, dan Pekerjaan

Puisi-puisi Sindhunata hadir mengisahkan seniman, kendang, dan pekerjaan. Kumpulan puisi dalam buku Seni Mbarang Jantur (2016) berisi penghormatan terhadap seniman yang mengabdikan hidupnya demi menjaga tradisi musik Jawa untuk mencari nafkah keluarga. Seniman tersebut bernama Sujud, yang setiap harinya bekerja sebagai seniman kendang. Sejak umur 11 tahun hingga usia menua, ia rajin menggeluti pekerjaannya sebagai pengamen jalanan.

Meski perubahan zaman terus berkembang, Sujud tetap mempertahankan pekerjaannya sebagai seorang seniman kendang. Kegigihan dan usahanya itulah yang diungkapkan Sindhunata lewat puisi-puisi. ”Sujudku sujud kendang,/ nggonku nglakoni sadalan-dalan,/ pinayungan srengenge ing wayah awan,/ mbengine kinemulan cahyaning  rembulan:/ Sujudku sujud kendang,/ nyujudi sangkan paran/ lor kidul kulon wetan,/ kiblatku golek sandang pangan./

Puisi menjadi ingatan biografi pada Sujud dalam menjalani kehidupan dengan tabah. Keyakinanlah yang menentukan arah dan waktu sebagai langkah yang harus ia jalani. Rasa syukur dari hasil ngamen selalu ia anggap cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesederhanaan itu sangat terasa seperti doa dalam puisi. “Ya Allah Gusti Pangeran, kulo mboten saged sembahyang,/ kulo namung saged nabuh kendang,/ Ya Allah Gusti Pangeran, kulo mboten gadhah Langgar,/ langgar kulo  nggih dalan./ Ya Allah Gusti, kulo namung Sujud Kendang,/ saged kulo nggih namun ngendang//

Musik begitu berpengaruh terhadap jiwa Sujud sebagai penentuan nasib sebagai seniman. Doa serta usaha sebagai pengamen menjadi pengabdiannya untuk menghibur masyarakat perkampungan di Yogyakarta lewat lagu-lagu humornya. Perubahan zaman memang telah merubah peranan musik yang dahulu sebagai tataran sosial-budaya masyarakat Jawa.

Mafhum, tak semua masyarakat Jawa kini menyenangi  kehadiran seorang pengamen dan musik Jawa. Kita dapat mengetahui tatkala mengetahui tulisan-tulisan di antara sudut-sudut gang di perkampungan. Terdapat simbol-simbol dan tulisan berbunyi “pengamen dilarang masuk!” Tulisan tersebut  jelas menunjukkan stigma masyarakat tampak terganggu adanya pengamen jalanan yang sebenarnya ingin menghibur lewat nada dan alunan lagu-lagu.

Baca juga:  Memberi Ruang pada Santri-santri Pinggiran: Review Buku Santri Waria Karya Masthuriyah Sa’dan

Pengaruh Musik

Dahulu musik tradisional sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Jawa pada abad ke-17 sampai  pertengahan abad ke-18. Dalam bukunya Sumarsam berjudul Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa (2003) mengisahkan kesejarahan permainan musik gamelan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dan sekaligus peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sumarsam mengatakan bahwa pagelaran tersebut dahulu adalah ciptaan wali-wali Islam di Indonesia. Namun perkembangan tradisi musikal di Jawa terus mengalami perubahan, mulai dari alat musik hingga adanya tari-tarian pada masa kerajaan Mataram.

Salah satunya pertunjukan tarian sakral “bedhaya,” dengan praktik pertunjukan wayang dan gamelan yang menjadi rutinitas hiburan di lingkungan kerajaan. Usaha Sultan Agung dalam menjunjung pagelaran kesenian tersebut berdampak terhadap dirinya sebagai raja yang dihormati dan disegani. Karena pada masa itu, seni menjadi pertunjukan penting bagi rakyat kerajaan untuk dapat memelihara dan meningkatkan sejauh mana martabat raja di hadapan rakyatnya.

Musikal Jawa pada masa Amangkurat I, terdapat pagelaran musik ansambel yang dikombinasikan dengan tarian-tarian hingga berkembang di kerajaan  Mataram. Pagelaran itu banyak menggunakan alat musik 20-50 gong besar dan kecil. Selain hiburan, pagelaran itu juga digunakan untuk menyambut raja pada turnamen pacuan kuda. Musikal Jawa mengiringi turnamen setiap sabtu dan senin di kraton Jawa dengan menggunakan alat musik gamelan Monggang.

Baca juga:  Resensi Buku: Ngaji Fikih, Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual

Gamelan tersebut terdiri dari sepasang kendang dan simbal (rojeh). Dari kesejarahan alat musikal Jawa tersebut, kita dapat mengetahui bahwa kendang telah menjadi alat musik yang sangat berpengaruh terhadap kesenian pada kerajaan Mataram. Kendang tidak hanya memberikan irama nada, hiburan, tapi juga alat musik yang menjadi mediator sarana dakwah agama.

Selain musikal di Jawa menjadi hiburan kerajaan Mataram dan sebagai sarana dakwah, kita juga dapat menjumpai tradisi musik di luar kerajaan pada masa kolonial. Buku Merenungkan  Gema Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda telah diterjemahkan Landung  Simatupang (2016), adalah kumpulan beberapa tulisan tentang kesejarahan perjumpaan musik di Indonesia pada masa kolonialisme. Di buku itu memuat banyak artikel musik oleh para antropolog, salah satunya artikel yang ditulis oleh Liesbeth Ouwehand yang ingin menjelaskan representasi fotografis orang Indonesia melakukan pagelaran musik.

Liesbeth mengumpulkan berbagai foto pagelaran musik oleh masyarakat pribumi. Foto-foto para seniman pada masa lalu hampir semua menyukai dan menggunakan kendang sebagai alat hiburan untuk pertunjukan. Selain foto dari keraton, ada dua foto juga menampilkan orkes kecil gamelan di Jawa bersama penari dan Gandrung Bali. Kedua foto tersebut diambil ketika terdapat pagelaran pasar malam di Surabaya pada 1905-1906.

Peran pasar malam pada masa kolonial merupakan upaya J.E Jasper untuk memamerkan produk-produk buatan pengrajin lokal dari berbagai kepulaan di Nusantara. Berbagai produk seperti barang tembaga, batik, gerabah, ditawarkan pada pagelaran pasar malam. Hal itu untuk menarik pengunjung dari Eropa dan Indo, maka Jasper juga turut menghadirkan  pagelaran musik di pasar malam  sebagai hiburan.

Dari pagelaran itulah para pengunjung Eropa dan Indo begitu menikmati berbagai eksotik musik dan tari. Mulai dari gamelan Jawa, topeng, wayang, dan kuda kepang dipagelarkan di pasar malam di lapangan militer depan masjid kemayoran.

Pagelaran itu menunjukan bahwa musik Jawa menjadi pengaruh penting dalam mengembangkan ekonomis pada masa  kolonial. Berbagai pertunjukan musik menjadi acuan mengembangkan hasil ekonomi untuk menampilkan keindahan barang dagangan, kenikmatan  seni rupa dan  hiburan bersama.

Baca juga:  Selama Pandemi, 2 Buku Laris Manis

Dari kesejarahan musik kendang inilah yang masih dipertahankan oleh Sujud sebagai seorang pengamen jalanan sekaligus seniman. Sebagai seorang seniman sejati, Sujud tentu dapat memahami dan mengetahui kesejarahan musikal di Jawa dan makna musik sebagai kebutuhan sehari-hari. Ia tetap menyebarkan hiburan musik dengan  kesabaran dan ketelatenan. Meski usia telah menua, ia tak berniat untuk lekas beristirahat.

Keyakinan sebagai penabuh kendang masih menjadi tulang  punggung keluarga yang harus ia jalani sehari-hari. Meski hidup dengan kesederhanaan, ia senantiasa selalu bersyukur untuk menikmati musik sebagai pujaan jiwa dalam  cerita kehidupannya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top