Sedang Membaca
Mendengarkan Tuhan
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Mendengarkan Tuhan

1 Agama

Mengapa banyak dari umat muslim di Indonesia kiwari begitu terpukau dan percaya akan teori konspirasi (conspiracy theory), bahkan berprilaku sekaligus berpikir anti-sains dalam kesehariannya? Benarkah Al-Qur’an berisi ajaran-ajaran yang anti-sains? 

Faktanya, umat muslim meyakini bahwa Al-Qur’an sangat menekankan pembelajaran dan pengetahuan. Al-Qur’an memberi tahu kita bahwa alam semesta penuh dengan ‘tanda-tanda atau ayat-ayat Tuhan’, dan tanda-tanda ini hanya bisa dipecahkan melalui penelitian rasional dan objektif. 

Ayat-ayat yang mendorong kita menyigi ‘ayat-ayat Tuhan’, atau yang mendorong kita secara sistematis mempelajari alam sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur’an. Umat muslim berulang-ulang diminta untuk berpikir, merenung, dan menalar. Salah satu ayat itu dinyatakan dalam bentuk doa: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (Q.S. Thaha [20]: 114). 

Dan, satu ayat Al-Qur’an yang paling sering dikutip adalah: “Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda untuk orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran terdapat tanda-tanda untuk kaum yang meyakini, dan pada pergantian malam dan siang, dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda bagi kaum yang berakal” (Q.S. al-Jatsiyah [45]: 3-5).

Patut dicatat bahwa bukan hanya sains yang ditekankan Al-Qur’an, melainkan juga teknologi. Ada satu surah dalam Al-Qur’an yang bernama al-Hadid atau besi. Dalam surah itu, Tuhan memberi tahu kita bahwa Dia “menciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan hebat dan pelbagai faedah bagi manusia” (Q.S. al-Hadid [57]: 25). Di sini, ‘besi’ merupakan metafora bagi teknologi, yang bisa dikembangkan sebagai ‘sarana perlindungan’ terhadap alam dan sebab-sebab alam, dari ‘panas dan dingin’, dan juga difungsikan untuk pertahanan militer (Q.S. al-Nahl [16]: 81). Teknologi datang dalam ‘banyak bentuk’ yang bisa dikembangkan untuk membuat perhiasan, perahu, pertanian dan peternakan, serta alat untuk navigasi dan eksplorasi (Q.S. al-Nahl [16]: 10-16).

Baca juga:  Khalifah dan Khilafah

Nabi Muhammad–yang tidak bisa baca tulis–juga menegaskan bahwa jagat materi hanya bisa dipahami lewat penelitian ilmiah. Dari teladan dan contoh Rasulullah saw., kita bisa mengatakan kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang berpijak pada pengetahuan. Rasulullah menghargai sains tinimbang ibadah semata. Muhammad bersabda, “Satu jam mengkaji alam itu lebih baik dibandingkan sembahyang satu tahun”. Karena itulah dia mengarahkan para pengikutnya untuk menyimak kata-kata para cendekiawan dan berusaha mengajarkan sains kepada orang lain, bahkan ‘pergi hingga ke negeri Cina untuk menuntut ilmu’. 

Namun, studi perihal alam dan penggunaan rasio (akal) memiliki keterbatasan. Al-Qur’an menyatakan, tidak semua pengetahuan itu berfaedah dan baik. Pengetahuan bisa menjadi godaan dan pemicu untuk berbuat papakerma. Dalam ayat-ayat yang berwicara tentang Nabi Sulaiman as., kita meneroka soal pengetahuan berbahaya yang bisa merusak masyarakat: “Mereka mempelajari sesuatu yang memberikan mudarat kepada mereka dan tidak memberikan manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa mempelajari pengetahuan ini tiadalah baginya keuntungan di akhirat” (Q.S. al-Baqarah [2]: 102).

Pengetahuan yang dimaksud dalam ayat itu dilukiskan sebagai ‘sihir’. Padahal istilah yang digunakan dalam ayat itu mengandung arti semua bentuk pengetahuan, termasuk sains dan objektif. Agar tidak jatuh ke dalam perangkap inilah Al-Qur’an meminta kita memandang penelitian ilmiah sebagai cara merenungkan keesaan Tuhan. Konsep ibadah dalam Al-Qur’an sangat bertautan dengan konsep ‘ilm atau pengetahuan. Ibadah dan ilmu adalah wujud ‘mendengarkan Tuhan’.

Pengertian ini memiliki dua makna. Pertama, penilaian ilmiah menjadi kewajiban bagi kaum muslim. Kedua, upaya ilmiah dan teknologis, dalam konteks sebagai renungan atau bentuk ibadah, tidak boleh melibatkan kekerasan, kezaliman, atau bentuk tirani apa pun. Juga, tidak boleh dilakukan demi tujuan tidak patut yang justru berujung pada pengetahuan berbahaya yang merusak. 

Baca juga:  Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam Alquran

Hubungan erat antara Islam dan sains ditunjukkan dengan jelas dalam sejarah awal peradaban Islam. Dorongan untuk belajar dan menggali sains didasarkan atas tuntutan keagamaan. Kebutuhan untuk menentukan waktu akurat bagi sembahyang fardu dan kiblat dari seluruh penjuru dunia, dan penetapan awal Ramadan, serta tuntutan penanggalan bulan Islam alias Hijriah (yang menuntut terlihatnya bulan secara bahana), membuahkan minat mendalam pada mekanisme kerja langit, fisika optik, serta atmosfer dan trigonometri ruang angkasa (spherical trigonometry). Hukum waris Islam memicu minat perkembangan aljabar. Kewajiban berhaji ke Makkah memicu minat mendalam terhadap geografi, pembuatan peta, dan perangkat navigasi. 

Lantas, mengapa sains di dunia muslim sekarang melempem? 

Sejumlah teori telah diajukan untuk menjelajahi kemunduran sains di peradaban Islam. Kesalahan dibebankan pada hukum Islam, hubungan keluarga muslim, dan kurangnya etika Protestan dalam kebudayaan Islam. Bahkan, Islam sendiri, yang dipandang antiprogresif dan anti-sains, juga turut disalahkan (Huff 1993). 

Dalam hal ini, saya lebih sepakat dengan pendapat Ziauddin Sardar. Menurut Sardar, umat muslim, secara sadar dan sengaja, mencampakkan penelitian ilmiah demi sikap jumud dan taklid. Konsep pengetahuan, yang mencakup sains dan teknologi, direduksi selama berabad-abad sehingga semata-mata bermakna sebagai pengetahuan agama (Sardar 2007: 131-3).

Kekuatan pendorong utama di balik ruh ilmiah peradaban Islam adalah konsep ijtihad atau pemikiran orisinal sistematis yang didasarkan atas perintah al-Qur’an untuk berpikir dan bernalar, “untuk menggunakan akal mereka” (Q.S. al-Baqarah [2]: 164), yang menjadi komponen utama dalam pandangan dunia klasik Islam. 

Masyarakat muslim masa kini memiliki pertautan emosional kuat dengan warisan ilmiah mereka. Akan tetapi, ketertikatan ini kerap mewujud dalam kompleks inferiotitas. Saat ini, sains di dunia muslim tidaklah diasosiasikan dengan laboratorium dan pusat-pusat penelitian unggul, melainkan dengan upaya yang sama sekali berbeda: ‘penemuan mukjizat-mukjizat ilmiah dalam Al-Qur’an’. Banyak karya tulis yang berkembang, masyhur sebagai ijaz, dan dirancang untuk membaca fakta dan teori ilmiah dalam kerangka Al-Qur’an. 

Baca juga:  Bagaimana Cara Mendidik Anak-anak Bertoleransi?

Al-Qur’an memang mengandung banyak ayat yang menunjukkan fenomena alam. Namun, ayat-ayat itu umumnya bersifat puitis dan alegoris. Akrobat dan distorsi mental luar biasa diperlukan untuk membaca penemuan ilmiah dalam ayat-ayat ini. Akan tetapi, hampir segala sesuatu, mulai dari teori relativitas, mekanika kuantum, teori dentuman besar (big bang), lubang hitam dan pulsar, genetika, embriologi, geologi modern, termodinamika, fisika subatomik, bahkan laser dan hydrogen fuel cell bisa ‘ditemukan’ dalam Al-Qur’an. 

Bahkan, sejumlah ayat dalam Al-Qur’an diubah menjadi rumus-rumus yang digabungkan seperti aljabar untuk memberikan nilai kecepatan cahaya, usia alam semesta dan bumi, jarak antara ‘tujuh lapis langit’, dan upaya-upaya membingungkan lainnya. Hal ihwal ini adalah kombinasi beracun antara fundamentalisme agama dan fundamentalisme ilmiah!

Agar kita bersetia pada warisan ilmiah Islam, kaum muslim seyogyanya melakukan lebih dari sekadar melestarikan abu dari api warisan itu. Mereka harus menyalakan kembali api itu. Dunia muslim tertungkus-lumus dalam kemiskinan dan keterbelakangan karena mereka mengabaikan sains. 

Kalakian, dalam sejarahnya, semangat Islam dicirikan oleh kerja ilmiah. Maka, masa depan masyarakat muslim pun ditentukan oleh semangat pembelajaran dan perilaku mereka terhadap sains. Tanpa sains dan teknologi, kebudayaan muslim akan tetap tak seimbang dan tersendat. Karena pengetahuan ilmiah adalah bentuk ibadah–cara untuk memafhumi ciptaan Tuhan dan kehendak-Nya, serta satu kewajiban yang sama pentingnya dengan sembahyang. Ibadah seorang muslim tidak akan sempurna tanpa sains.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top