Pagi ini, udara Madinah sangat bersahabat — dingin-dingin Puncak, dan langit pun cerah. Saat sarapan, menjelang berangkat ke Mekkah, Gus Mus mengisahkan sesuatu yang menarik mengenai dua kiai: Mbah Bisri Mustofa (ayahanda beliau) dan adiknya, Mbah Misbah Zainul Mustofa. Keduanya adalah kiai “dug-deng”, ampuh, baik secara keilmuan lahir maupun “suwuk” (keilmuan batin).
Keduanya juga menulis banyak karya dalam bahasa Jawa, meskipun mereka fasih berbahasa Arab, baik lisan atau tulis. Gus Mus bercerita, mereka sering berkirim surat, bahkan berpolemik, dalam bahasa Arab. Sebagian surat-surat mereka itu masih disimpan dengan baik oleh Gus Mus. Mbah Bisri dan Mbah Misbah memang sering berbeda pendapat, meski mereka kakak-beradik. Mbah Bisri kiai modern, Mbah Misbah kiai galak.
Dua rama kiai ini punya perbedaan dalam beberapa hal. Kiai Bisri, misalnya, cenderung “rasional”, kurang begitu suka pada ilmu “kebatinan” atau kanuragan, meski khazanah ilmu hikmah yang dimiliki beliau cukup banyak. Banyak ijazah “suwuk” yang diwedar oleh Kiai Bisri, termasuk melalui kitab-kitabnya yang memakai bahasa Jawa. Tetapi, secara umum, Kiai Bisri memang lebih cenderung rasional.
Sementara Kiai Misbah mempunyai watak yang berbeda sekali. Pak Bah, begitu Gus Mus biasa memanggil pamannya ini, justru punya kegemaran pada ilmu-ilmu hikmah, kanuragan. Beliau, misalnya, memiliki pecut yang diberikan langsung Sunan Kalijaga. Dan ini menimbulkan keheranan pada Mbah Bisri, kakaknya.
“Sik, sik, bagaimana ceritanya kok Sunan Kalijaga bisa memberikan pecut ke kamu?” tanya Kiai Bisri dengan nada skeptis. “Bagaimana kamu tahu jika dia itu benar-benar Sunan Kalijaga?”
“Lha iya, dia ngaku sendiri bernama Sunan Kalijaga,” jawab Mbah Misbah enteng saja.
“Ini mesti ndak bener,” protes Mbah Bisri. “Kalau betul Sunan Kalijaga, dia pasti akan menyebut dirinya Raden Said. Sebab itulah nama asli beliau. Sebutan Sunan Kalijaga itu datang belakangan setelah beliau wafat.”
“Wis tak bedhek (sudah aku duga), mesti sampeyan ndak percaya,” kata Mbah Misbah, agak sedikit jengkel, karena tak bisa malawan “argumentasi rasional” kakaknya.
Lain waktu, Kiai Bisri bertemu Kiai Misbah. “Mana pecut Sunan Kalijaga-mu itu?” tanya Mbah Bisri. “Wis tak buwak, wong jarene sampeyan, iku dudu seka Sunan Kalijaga (sudah aku buang, karena menurutmu itu bukan dari Sunan Kalijaga),” jawab Kiai Misbah, dengan sedikit perasaan “menang”, karena ternyata Mbah Bisri ingin memiliki pecut itu – – menandakan bahwa beliau diam-diam percaya, itu pecut sakti yang benar-benar berasal dari Sunan Kalijaga.