Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Sasmita: Isyarat, Astrologi, dan Horoskop Jawa

Horoskop

Dalam khazanah budaya Jawa sasmita atau isyarat telah lama menjadi sesuatu yang memerlukan kecerdasan khusus untuk menangkapnya. Dari konsep dan keyakinan tentang isyarat ini dapat terkuak bahwa pesthi atau takdir ternyata tak selamanya merupakan misteri yang benar-benar di luar kecerdasan seseorang.

Pada peristiwa lailatul qadar, berdasarkan tilikan Pakubuwana IV atas puasa dan berjaga malam dalam Serat Wulangreh, orang paham tentang isyarat atau sasmita. Lailatul qadar turut memberikan isyarat-isyarat tertentu yang bisa dirasakan dan ditangkap.

Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan umumnya masyarakat yang tengah menjalankan ibadah puasa akan melakukan kegiatan menghidupkan malam.

Namun, dalam tradisi budaya Jawa, terdapat hal yang unik terkait dengan lailatul qadar. Konon tradisi ini telah dimulai sejak zaman kerajaan Demak hingga kerajaan Mataram Kartasura.

Tradisi ini biasanya dihelat menjelang malam ke-21 bulan Ramadan dan dikenal sebagai tradisi maleman.

Sebagaimana peristiwa megengan yang dihelat menjelang puasa dan menjelang Hari Raya Idul Fitri, tradisi maleman juga akan dilalui masyarakat Jawa dengan beberapa ritual.

Ada yang melakukannya dengan kirab dan slametan seperti di keraton. Ada pula yang cukup menggelar slametan di masjid atau langgar sebagaimana di pedesaan Jawa.

Barangkali, tradisi maleman yang dilalui dengan ritual slametan hanya ada di kalangan masyarakat Jawa yang masih memegang erat tradisinya. Dalam hal ini, orang bisa membayangkan bahwa tradisi maleman adalah seperti halnya “baiat” dalam khazanah tarekat untuk melakoni sebuah suluk yang secara teknis merupakan sebentuk metode penempaan diri.

Baca juga:  Ramadan, Karnaval Rasa, dan Agama yang Masih Memiliki Asa

Sebab, pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan itu kalangan muslim dianjurkan untuk memperbanyak ibadah-ibadah malam yang lebih dikenal sebagai i’tikaf.

Persis ketika seseorang tengah melakoni sebuah suluk, dalam i’tikaf itu terdapat pula berbagai syarat dan rukunnya.

Sunan Bagus atau Pakubuwana IV, yang menjadi salah satu sanad keilmuan tarekat Akmaliyah, pernah mewedarkan dalam Serat Wulangreh tentang keutamaan berpuasa dan menghidupkan malam yang setidaknya dipraktikkan di keraton Surakarta ketika melaksanakan tradisi maleman.

Padha gulangen ing kalbu

Ing sasmita amrih lantip

Aja pijer mangan nendra

Ing kaprawiran den kesthi

Pesunen sariranira

Sudanen dhahar lan guling

Berpuasa dan menghidupkan malam, bagi Sunan Bagus, dapat mempertajam kecerdasan seseorang dalam membaca isyarat.

Perihal isyarat, astrologi atau horoskop Jawa rupanya mendasarkan diri pula pada kearifan tentang sasmita, bahwa di samping ada pesthi, adapula rekayasa manusia atau pestha.

Tentu, pestha pun bukanlah jaminan bahwa manusia akan menuai keberhasilan. Namun, yang pasti, di balik kearifan ini terletak keyakinan bahwa takdir—yang bagi orang Jawa umumnya diukur dengan jodoh, rizki, dan kematian—tak semata tak dapat diketahui. Ia juga tampil dengan sasmita.

Dengan sasmita atau isyarat ini, maka rekayasa manusia diharapkan akan mendekati kenyataannya. Taruhlah anak yang memiliki weton atau angka kelahiran 11 di mana neptu hari kelahiran berjumlah 3 (Selasa) dan neptu pasaran berjumlah 8 (Kliwon), maka isyaratnya sang anak kalau tak menjadi serusak-rusaknya orang atau bajingan, ia akan menjadi orang alim.

Baca juga:  Dari Balik Tabir

Atas isyarat ini, biasanya orangtua yang waspada akan sebaik mungkin mendidik anaknya agar kemungkinan untuk menjadi bajingan tak terjadi. Justru, sang anak itu akan diarahkan untuk menjadi orang yang alim.

Di sinilah anjuran Ronggawarsita bahwa seberuntung-beruntungnya orang yang lupa masih beruntung orang yang eling dan waspada menemukan dasarnya.

Eling dan waspada jelas adalah sebuah modal kehidupan yang berkaitan dengan kenyataan bahwa takdir tak mesti terjadi tanpa intervensi manusia. Berdasarkan kearifan di balik horoskop Jawa tersebut, manusia ternyata senantiasa diberikan pilihan.

Kewaspadaan jualah yang pada akhirnya akan menentukan hasilnya ke depan. Tanggap ing sasmita atau cerdas dalam membaca isyarat jelas merupakan sebuah kualitas diri yang menjadi ukuran dalam sebuah masyarakat yang lebih banyak tampil dengan pasemon seperti masyarakat Jawa.

Bukankah konon spiritual intelligence (SI) lebih banyak menentukan keberhasilan seseorang dibanding tipe kecerdasan lainnya?

Setidaknya itulah yang disimpulkan oleh Yosi Amram yang telah memublikasikan hasil penelitian doktornya pada 2009.

Dengan demikian, horoskop Jawa, yang tak dapat dilepaskan dari sasmita atau isyarat, pada akhirnya adalah hasil dan penerapan dari apa yang di masa kini dikenal sebagai spiritual intelligence (SI) atau spiritual quotient (SQ).

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top