Pancathantra, sebuah kitab maha agung dari tradisi Hindu India dalam bentuk fabel, digubah oleh brahmana bernama Wisnusarma yang mengajari tiga pangeran putra Prabu Amarasakti.
Sebagai salah satu pengajaran utama agama Hindu, ia diteruskan secara turun-temurun dalam tradisi lisan. Berbagai penambahan dan pengurangan di sana-sini, melintasi berbagai generasi semenjak dituliskan pertama kali pada abad 4 Masehi. Kini, potongan kisahnya dapat kita jumpai dalam bentuk-bentuk relief di Candi Mendut, Sojiwan, Penataran, dan Jago.
Begitu pula dengan Kalila wa Dimna, versi lain dari Pancathantra yang berkembang di Persia dan Arab. Telah diterjemahkan sebanyak 200 kali, ke dalam 50 bahasa yang berbeda.
Dimulai dari seorang dokter Syah Anusyirwan dari Persia yang mencari ramuan hidup abadi di India. Alih-alih, ia pulang dengan membawa kitab Pancathantra. Tiga ratus tahun setelahnya, seorang muslim Persia, Ibnu Muqaffa menerjemahkannya ke dalam Bahasa Arab, melakukan penambahan dan pengurangan, hingga orang Arab sendiri menganggap kitab itu sebagai karya Arab asli.
Kalila wa Dimna lalu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Jawa dan Melayu. Ia dikenal oleh seluruh Muslim di Nusantara, dingongengkan di berbagai kesempatan. Versi sastranya dapat kita temui dalam terjemahan Abdul Kadir Munsyi, dan sebuah terbitan Balai Pustaka.
Harmonisasi Agama
Sejenak kita tinggalkan perdebatan kitab mana yang lebih otentik dan beranjak pada sesuatu yang menakjubkan: bagaimana sebuah kitab sastra merasuki relung-relung dua agama yang berbeda?
Terutama bagi masyarakat Indonesia, di mana kedua agama tersebut masih tumbuh dengan harmonis. Sangat dimungkinkan bagi kita untuk melihat dan membaca secara langsung dua versi tersebut.
Selain dalam bentuk relief, Pancathantra juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda dan Bali. Salah satu bentuk yang sangat terkenal di Jawa adalah Tantri Kamandaka. Kalila wa Dimna sendiri, hadir dalam bentuk cerita lisan dalam tradisi muslim di Indonesia, di samping berkembang dalam khazanah kesusastraan.
Mengapa kitab ini bisa menopang dua agama yang berbeda? Kitab ini ditulis, namun disebarkan lewat tradisi lisan. Cerita-cerita dalam kitab ini ditransformasikan dalam dongeng, yang hakikatnya selalu berubah menyesuakian penutur dan publiknya.
Masyarakat Hindu India sendiri memiliki beragam versi atas kisah ini, layaknya kisah Mahabaratha yang berbeda pada setiap desanya. Redaksi Pancathantra yang tertua berisi lima kisah (Pancathantra sendiri berarti lima kisah), yaitu Mitrabedha (Perbedaan Teman-Teman), Mitraprapti (Datangnya Teman-Teman), Kakolukiya (Peperangan dan Perdamaian), Labdhanasa (Kehilangan dan Keberuntungan), Aparik Itakawitra (Tindakan yang Tergesa-Gesa).
Meski hanya lima kisah, namun dalam setiap kisah terdapat banyak kisah lagi. Hal ini sesuai dengan sifat utama tradisi lisan, seperti Kisah 1001 Malam, Mahabaratha atau La Galigo.
Keluasan kisah inilah yang menguntungkan Ibnu Muqaffa dalam penerjemahan. Selain memiliki citarasa sastra Arab yang tinggi, Ibnu Muqaffa juga melakukan beberapa perubahan dalam kisah-kisahnya agar sesuai citarasa masyarakat Arab. Di antaranya adalah perubahan nama tokoh dan tempat dengan menggunakan nama-nama yang familiar di dalam tradisi Arab. Karena kisahnya tentang hewan, maka Ibnu Muqaffa memakai hewan-hewan di Arab.
Begitu pula dengan alur kisah. Di tangan Ibnu Muqaffa, kisah-kisah tersebut sarat satir dan alur cerita yang berputar-putar layaknya memasuki labirin. Alur ini sangat sesuai dengan tradisi sastra Arab yang membutuhkan kecerdasan tinggi. Karenanya, jika melihat kisahnya saja, tanpa melihat sisi kesejarahannya, tentu seseorang akan mengatakan fabel-fabel itu asli gubahan orang Arab.
Alasan lain adanya harmonisasi itu dikarenakan kultur Arab dan India, meski berbeda, tetapi saling memengaruhi. Dalam sejarah, Islam banyak mewarisi kebudayan India. Sebut saja misalnya penemuan Al-Kawarizimi pada bilangan nol, yang tidak lain hasil bacaannya terhadap teks-teks India yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
Namun, yang jelas, kitab yang telah berkembang dalam dua versi ini terus berkembang hingga sekarang, ditopang oleh kebudayaan dan agama masing-masing. Meski sama, namun keduanya tidak saling menafikan. Keduanya terus berjalan secara harmonis dalam sejarah yang cukup panjang.