Quraish Shihab, sosok rajin menulis buku-buku bertema Al-Quran. Ulasan-ulasan sederhana, mengajak pembaca mengerti tanpa terbingungkan keragaman referensi. Quraish Shihab dalam tulisan-tulisan mirip sedang bercakap dengan kita, merasa berada dekat. Orang-orang mungkin paling ingat buku berjudul “Membumikan” Al-Quran. Buku itu bermutu, minta terbaca dengan serius. Kita pun ingat buku kecil memuat esai-esai pendek dijuduli Lentera Hati. Di buku, pembaca cuma sejenak-sejenak dalam membaca esai-esai tapi mengesankan. Al-Quran selalu mendapat pembahasan. Di situ, kita menemukan pengisahan Muhammad, perintah membaca, dan kitab suci. Konon, Lentera Hati bukti ketekunan Quraish Shihab dalam “membumikan” Al-Quran. Ketekunan menulis-buku, seruan bagi orang-orang agar menjadi pembaca.
Kita menghormati Quraish Shihah sebagai ahli tafsir dan penulis buku-buku bermutu. Ia bukan penggubah puisi tapi mengerti sastra. Kita tak perlu menantikan Quraish Shihab menerbitkan buku puisi diniatkan berdakwah atau membahas kitab suci. Di Indonesia, kita memiliki pujangga-pujangga mahir menggubah puisi, tak lupa mengungkap kitab suci atau perkitaban, dari masa ke masa. Kita kadang membaca puisi memang mengenai kitab suci atau ada singgungan berkaitan kitab (buku) sampai ke masalah-masalah religius.
Pada 28 April 1980, Darwis Khudori menggubah puisi berjudul “Kitab”. Orang-orang kadang menggunakan sebutan “kitab” dan “buku” bergantian. Ada pihak menganggap derajat “kitab” lebih tinggi ketimbang “buku”. Orang ingin agamis menganggap kitan haruslah suci. Kitab cuma untuk bacaan berkaitan agama, terbedakan dari buku-buku sebagai hasil cetakan. Sejak sekolah, kita pun dibiasakan menerima sebutan “kitab suci”, bukan “buku suci”. Penamaan masih mungkin diterima adalah “buku agama” atau “buku spiritualitas.” Sebutan-sebutan kadang membingungkan dan “meragukan” bagi orang-orang menginginkan ketetapan.
Darwis Khudori menulis: Kitab itu senantiasa terbuka/ dan aku boleh membacanya kapan saja/ Leluhurku tak mengajariku membaca/ hanya berkata bahwa aku akan sanggup membaca pada saatnya. Di negeri-negeri Arab dan Nusantara, bocah-bocah memiliki misi mengerti diri dan dunia. Pada pertambahan usia dan pengalaman perlahan bakal sampai penguasaan membaca. Biografi para intelektual dan ulaman kondang di pelbagai negeri biasa diawali masa bocah tekun membaca kitab suci dan khatam khazanah keilmuan. Mereka hidup dengan membaca setiap hari, merampungkan kitab demi kitab berkaitan agama, matematika, astronomi, sastra, dan lain-lain. Di puisi gubahan Darwish Khudori tak ada pemberian kejutan. Pengakuan saja bahwa orang bisa membaca kitab tertentukan nasib berwaktu.
Diri menjadi pembaca sampai pada “saat”. Kitab pun memiliki keterbacaan secara berbeda. Kita menduga Darwis Khudori tak sedang mengisahkan kitab suci tapi kitab terpahami sebagai bacaan. Pada babak tertentu, kitab mewujud sebagai kitab tergelar di kehidupan, memuat pula masalah agama. Kita membaca: Aku tak pernah menyangka/ kitab itu akan meluas dan melebar/ Dan aku sanggup membacanya kapan saja/ sambil berjalan-jalan di atasnya. Kitab itu tergelar. Membaca adalah memandang, meresapi, atau mengalami. Hidup dan kitab tak lagi sederhana. Tafsiran-tafsiran diperlukan dengan keinginan benar tapi ralat-ralat kadang datang bersusulan.
Kemauan membaca dan membaca sampai titik pelampauan. Darwis Khudori mengisahkan: Sekarang kitab itu sudah hilang/ karena besarnya/ Dan aku sanggup membacanya/ tanpa membuka mata. Sosok dalam puisi mengalami keparipurnaan. Ia membaca tanpa membuka mata. Kita tergelar telah berubah wujud dan penerimaan bagi pembaca. Kitab “meluas dan melebar” telah masuk dalam diri, menginginkan cara baca tak seperti saat semua tergelar. Rampung membaca puisi, kitab dan kita justru terpikirkan. Kita belum menjadi pembaca tanpa membuka mata. Begitu.