
“Alloh heula, Alloh heula,” kata seorang ibu mengingatkan anaknya untuk segera salat. Dalam budaya Sunda dikenal ragam bahasa hormat untuk kanak-kanak. Ini bukan cuma soal bicara lucu atau manis-manisan, tapi cara mendidik yang halus. Salat disebut dengan Alloh. Maksudnya ibadah untuk mengingat Allah. Kata-kata seperti emam untuk makan, acuk untuk baju, atau papang untuk pipis, adalah kosakata lain yang termasuk pada ragam ini.
Tulisan ini bukan soal ragam bahasa anak, melainkan tentang Islam yang dibahasakan dalam artikulasi lokal. Melalui jalur inilah, Islam jadi nilai yang akrab hingga sampai di hati kita. Islam inilah yang menolak diterjemahkan secara harfiah. Salat misalnya, disebut netepan. Konon dari kata netepkeun, mengacu pada makna menetapkan niat. Ada pula istilah lohor untuk zuhur, sebagai istilah yang mengalami penyesuaian sehingga lebih mudah buat diucapkan. Kata-kata lain bermunculan, masigit yang berpadanan dengan masjid, kaol untuk kaul, atau pijah yang maksudnya fidyah.
Belum lagi ada istilah-istilah yang lebih kompleks. Sunda memilih kata abdas yang datang dari bahasa Persia ketimbang wudhu dari bahasa Arab. Termasuk merekonstruksi makna lokal seperti ajengan (ulama), pangeran (Tuhan), hingga kanjeng sebagai sebutan penghormatan yang kerap merangkap dengan nama Nabi Muhammad saw. Mungkin kita jarang berpikir, betapa banyak artefak kebudayaan yang terekam dalam bahasa lahir dari proses ini. Siapa coba yang pertama kepikiran menyebut masjid dengan masigit? Siapa yang menemukan istilah tajug sebagai istilah untuk musala kecil? Atau mengganti shaum dengan puasa, yang terdengar lebih akrab di lidah warga lokal?
Bagi Sunda memilih agama Islam bukan berarti bergantung pada bahasa asing. Kedatangan Islam ke Tanah Sunda termasuk mempengaruhi bahasa ibu penduduknya bukan untuk menyingkirkannya, justru untuk memberikan pengayaan. Islam turut membentuk cita rasa bahasa Sunda yang khas. Sunda mengenal istilah boboran Siam untuk menyebut lebaran, bukan eid mubarak yang baru-baru ini makin populer. Tentu hal ini menarik karena kata bobor sendiri berarti pecah atau buka, biasanya merujuk pada bendungan.
Maka boboran Siam dapat dimaknai sebagai momen “pecahnya” atau “terbukanya” batas puasa setelah sebulan penuh menahan lapar. Sebuah ledakan kegembiraan. Begitupun dengan istilah pergi haji yang dalam bahasa Sunda disebut munggah haji. Kata munggah berasal dari unggah, yang dalam konteks lokal berarti naik, mungkin naik kemuliaannya atau secara harfiah naik ke Tanah Suci. Meskipun sekarang kata unggah jadi terjemahan upload di media sosial, tentu bukan itu maksudnya. Kita tidak sedang meng-unggah diri ke Makkah tapi menaikkan niat dan raga dalam laku ibadah yang agung.
Bahkan kegiatan menunggu buka puasa pun punya istilah khas dalam budaya Sunda, yaitu ngabuburit. Aktivitas ini bukan sekadar menunggu, tapi menjalani waktu senja dengan cara yang ringan, sosial, dan kadang religius. Ada juga istilah godin untuk menyebut orang yang sengaja batal puasa sebelum waktunya, biasanya dilakukan diam-diam dan jadi semacam rahasia umum yang direspons dengan nada geli sekaligus jengkel.
Katanya berasal dari gabungan go (pergi) dan din (agama), seolah-olah menggambarkan seseorang yang “pergi dari agama”, meskipun tentu saja dengan cara yang sangat lokal, lucu, dan tidak selalu bermakna serius. Sementara itu, ungkapan tobat sambel digunakan secara jenaka untuk menggambarkan seseorang yang mengaku bertobat tapi terus mengulangi dosa yang sama. Sudah tahu pedas tapi dimakan keterusan.
Kebudayaan Sunda menyimpan banyak contoh tentang Islam yang tidak sekadar diterjemahkan, tapi diolah dengan logika lokal. Kata-kata Arab seperti tadarus, tahlil, dan rajab mengalami perluasan makna lewat imbuhan-an, yang dalam tata bahasa lokal menandai kegiatan kolektif atau peristiwa budaya. Tadarusan bukan lagi hanya membaca al-Qur’an tapi ritual bersama penuh kehangatan, tahlilan bukan cuma zikir tauhid tapi doa komunal untuk yang wafat, dan rajaban tidak sekadar nama bulan tapi perayaan Isra Mikraj dengan nuansa lokal.
Dari kata-kata ini terselip ibadah dengan dimensi kebersamaan yang cukup kuat. Lain dari itu di ruang ngaji ilmu nahwu dan sharaf, muncul tokoh seperti “Ki Jaed” dan “Ki Umar”. Tokoh fiktif gramatika Arab ini diperlakukan layaknya orang tua atau guru lewat sapaan kehormatan “Ki”. Tentunya hal ini bukan sekadar guyonan santri, tapi cara masyarakat Sunda memanusiakan ilmu,
Semua ini bukan sekadar lokal-lokalan, tapi wujud Islam yang bertumbuh dari tanah sendiri. Islam yang enggak cerewet soal istilah, yang enggak overkorektif pada cara ketik amin yang kudu jadi aamiin. Tapi Islam yang tampil sederhana dan membangun makna yang mendalam. Jadi kalau hari ini kita merasa makin islami karena mulai pakai istilah yang literal atau kebarat-baratan, mungkin kita perlu istirahat sebentar. Coba tengok ke belakang, bukankah leluhur kita sudah lama menjahit Islam ke dalam kain keseharian?
Pribumisasi Islam di tanah Sunda bukan sekadar soal serapan kata, tapi kisah perjumpaan yang estetik. Istilah Arab yang datang seiring dakwah Islam ke Tanah Sunda, seperti pakasaban (pekerjaan), milik (boga), atau abdi (kuring) memang membentuk ragam tutur yang lebih santun seolah menaikkan derajat ucap. Tapi justru kata-kata seperti salamet (wilujeng), sunatan (sepitan), dan waktu (waktos) menjadi bagian dari ragam bahasa akrab.
Di sinilah kekuatan lokalitas Sunda bekerja bahwa bahasa Arab itu biasa-biasa saja, tidak melulu menunjukkan kesalehan. Maka ayo kembali menyelami dan menghidup-hidupi bahasa ibu kita dalam syiar Islam yang membumi. Bahkan bukan sekadar melestarikan, kita juga diajak buat berpartisipasi dalam mencipta konsep dan diksi yang baru, dengan rasa yang tetap berpijak pada tanah tempat kita berdiri.