Sedang Membaca
Pertanian dalam Islam
Fikri Mahzumi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Pertanian dalam Islam

Ada artikel menarik ditulis oleh Dr. Ahmad Abdul Hamid berjudul Juhud al-Muslimin al- Awa’il li al-Raqiyyi bi al-Zira’ah, arti bebasnya kira-kira Upaya Muslim Awal dalam Kampanye Pertanian. Mari disimak baik-baik.

Ketika merumuskan landasan teologis tentang pertanian dalam Islam, penulis artikel di atas menyuguhkan beberapa kutipan dari ayat Alquran dan hadis. Di antaranya QS. Yasin [36]:33, QS. al-Nahl [16]:10-11, dan QS. al-An’am [6]:99. Dari ayat-ayat yang disebutkan dapat dipahami bahwa Islam memberi perhatian khusus terhadap agrikultur. Sisi lain yang menarik dari penutup ayat yang dikutip tadi terletak pada akhiran yang bernada menggugah, ayat pertama dipungkasi dengan, Tidakkah kalian bersyukur, ayat kedua ditutup dengan, Tidakkah kalian berpikir, dan ayat ketiga diakhiri, Tidakkah kalian beriman. Ini menyiratkan bahwa pesan yang sedang disampaikan agar mendapat perhatian yang besar.

Kalau ditertibkan berdasarkan urutan surah, akan ketemu begini narasinya: Kita dituntut meyakini bahwa Allah yang telah menyediakan irigasi alami berupa air hujan. Karenanya kehidupan ini berlangsung, lalu terjalinlah rantai makanan pada makhluk hidup. Proses ini perlu dipikirkan oleh manusia, maka lahirlah ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuannya agar keyakinan manusia semakin kuat akan kuasa Allah yang tak terhingga. Di antara tanaman yang tumbuh di bumi, ada yang tumbuh dengan sendirinya, dan ada juga yang butuh campur tangan manusia untuk menanam dan merawat baru bisa dinikmati hasilnya. Ini disebut pertanian.

Baca juga:  Petani Sikep Pahlawanku

Bercocok tanam atau pertanian juga menjadi anjuran Nabi, karena bernilai jariyah bagi pelakunya. Dalam suatu hadis riwayat al-Bukhari (2152) dan Ahmad (12038) disebutkan, “Tidak lah seorang muslim yang berkebun dan bertani, lalu ada burung, manusia atau hewan yang memakan darinyaa, kecuali bernilai sedekah bagi muslim tersebut.” Hadis lain riwayat Ahmad (12512) juga menyebutkan, “Kalaupun kiamat datang, lalu di tangan seorang muslim tergenggam sebatang tunas tanaman, maka hendaklah ia menanamnya selagi sempat, karena demikian itu terhitung pahala baginya.”

Penegasan Alquran dan amanat Nabi melalui hadisnya menunjukkan bahwa pertanian amat penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Kebutuhan atas makanan adalah hal yang primer yang tak terbantah. Ukuran kemakmuran suatu bangsa juga dinilai atas pemenuhan terhadap kebutuhan dasar warganya, dan yang paling utama ialah pangan. Tidak mungkin sebuah bangsa yang masih terdapat kelaparan atau kekurangan bahan makanan disebut makmur meskipun telah mencapai kemajuan dalam pembangunan di berbagai bidang.

Inilah yang harusnya dijiwai oleh segenap muslim, bahwa pertanian selain berdimensi duniawi, ada jaminan bahwasanya juga berdampak ukhrawi karena ada kemanfaatan yang bernilai jariyah dan terhitung pahala. Dikisahkan, para sahabat Nabi merupakan orang-orang yang sangat perduli dengan perihal cocok tanam. Kurang sibuk apa coba sahabat-sahabat Nabi seperti Utsman bin Affan, Abu Darda, Abdurrahman bin Auf dan banyak sahabat yang lain, tapi mereka ini masih menyempatkan waktu berkebun sebagamana diriwayatkan dalam banyak atsar, salah satunya termaktub dalam al-Taratib al-Idariyyah karya Abdul Hayyi al-Kattani, suatu kali Abu Hurairah ditanya tentang integritas (muru’ah), beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berkebun.” Ayo coba bandingkan dengan kita yang sudah tidak mau lagi berladang dan bertani.

Baca juga:  Santri dan Konservasi Lingkungan (4): Fikih Bi’ah: Ikhtiar Merumuskan Cara Pandang Fikih Soal Lingkungan

Sejarah pertanian di zaman Islam awal itu ibarat hamparan padang hijau yang menyejahterakan umat manusia. Capaian kemajuannya direkam dengan baik oleh Jasier Abu Safieh dalam Gleanings from the Islamic Contribution in Agriculture. Dalam pengantar tulisannya, terungkap bahwa pertanian Islam ditemukan akarnya dalam Alquran dan hadis. Upaya-upaya serius dalam bidang ini telah meninggalkan cetak biru ilmu agrikutur, sistem irigasi, perawatan sungai, kebijakan reforma agraria yang memberi hak milik bagi siapapun yang telah menghidupkan lahan tersebut, telah dikenal dan diimplementasikan sejak dulu di Islam.

Setidaknya ada beberapa bukti literatur yang menegaskan kemajuan bidang pertanian di tangan muslim, kitab al-filahah karya Ibn ‘Awwam yang diterjemah ke dalam bahasa Spanyol oleh  Joseph Antonio Banqueri (Madrid: Imprenta Real, 1802), kitab ini dinilai berkontribusi besar bagi perkembangan agronomi. Ada lagi al-Mukhassas karya Ibn Sidah yang membantu kemajuan pertanian dari sisi kebahasaan karena menjadi sumber rujukan bagi ilmu anatomi tanaman. Zohor Idrisi telah memetakan literatur karya ilmuan muslim dalam bidang pertanian dalam The Muslim Agricaltural Revolution. (RM)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top