Tahun 1990-an adalah masa awal terjadinya sebuah gerakan literasi media, yang mengupas masalah dari dampak negatif televisi untuk anak-anak. Dimana peran ibu sangat dibutuhkan untuk pengawasan, dan preventif agar informasi yang diterima anak tidak menyimpang. Tidak hanya peran ibu saja, namun kaum perempuan milenial lah yang harus berkolaborasi saat ini untuk memberikan kontribusi positif selanjutnya kepada masyarakat umum. Dapat dilihat dari artikel Jurnal Ilmu Komunikasi MEDIAKOM yang berjudul “Gerakan dan Pendidikan Literasi Media Kritis di Indonesia (Studi Terhadap Yayasan Pengembangan Media Anak)”, karya Muhammad Syukri, Anang Sujoko, dan Reza Safitri, Vol. 2, No. 2, Tahun 2019.
Sejarah pun telah mencatat, peran para perempuan dulu yang memiliki kiprah besar dalam pembangunan Negara Indonesia yang sampai saat ini masih terasa. Peran tersebut berupa gerakan emansipasi wanita, kesadaran nasional, dan kesetaraan gender. Berikut ini penjelasan ketiga gerakan tersebut.
Pertama, emansipasi wanita. Emansipasi wanita adalah sebuah gerakan yang berfungsi untuk mendobrak doktrin adat, tradisi dan budaya kolot yang sudah tidak kondusif. Dalam konteks ini, terlihat dari sebuah gerakan yang diberikan Kartini bahwa para perempuan harus berpendidikan. Pada abad XX ini juga menjadi sebuah gerakan revolusif pertama untuk para perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan.
Kedua, hubungan kesadaran nasional di antara para perempuan. Dari dampak emansipasi menumbuhkan semangat jiwa nasional, dan para perempuan banyak yang mengenyam pendidikan. Di antara mereka ada yang berkiprah dalam kegiatan kebangsaan, dan aktif memberikan kontribusi untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya berbangsa dan bernegara.
Dan ketiga, kesetaraan gender. Gerakan ini muncul setelah terjadinya kemerdekaan, yang menuntut semua orang bisa terlibat dalam mengisi pembangunan untuk kemerdekaan. Yang mengharuskan para perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki. Dengan demikian, ketiga gerakan ini perlu diapresiasi positif bahwa perempuan pun bisa berkontribusi untuk kemajuan bangsanya. Dapat dilihat dari buku yang berjudul “Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia: 1928-1998”, karya Mutiah Amini, UGM Press, April, Tahun 2021.
Berkaitan dengan zaman sekarang, teknologi semakin canggih yang memberikan dampak positif dan negatif kepada masyarakat. Dampak positif tersebut berupa partisipasi perempuan dalam menyebarkan informasi positif kepada khalayak ramai, yang sering kita sebut dengan literasi digital.
Topik gender dan literasi digital sudah lama adanya, dan menghangat seiring perkembangan zaman. Yang bisa kita lihat dari banyaknya masalah sosial dan bias gender di lapangan yaitu kemiskinan, kekerasan seksual dan lain sebagainya, yang sampai saat ini masalah tersebut belum terselesaikan dengan baik. Berdasarkan hal tersebut, penulis melansir informasi yang disampaikan Women’s Right Online bahwa tercatat kebiasan dan kemiskinan yang cukup ekstrem terhadap pemberdayaan digital di Indonesia dalam wilayah miskin urban 10 kota. Dan perempuan memiliki kecenderungan 50% tidak dapat terhubung dengan daring dibandingkan laki-laki. Kemudian sekitar 30-50% cenderung tidak menggunakan internet sebagai sarana pemberdayaan ekonomi dan politik. Dapat dilihat dari artikel Jurnal Studi Gender dan Anak (SETARA), yang berjudul “Narasi Perempuan dan Literasi Digital di Era Revolusi Industri 4.0”, karya Dedi Wahyudi dan Novita Kurniasih, Vol. 3, No. 1, 27 Juni 2021.
Lantas, gerakan seperti apa yang harus para perempuan lakukan dalam pembangunan literasi digital nasional?
Sebelum kepada gerakan perempuan itu sendiri, alangkah baiknya kita memahami definisi dari literasi tersebut. Literasi adalah kegiatan untuk membaca, memahami, dan memaknai teks. Namun, seiring perkembangan zaman yang semakin maju, akhirnya tercetuslah sebuah nama lanjutan, yaitu literasi digital. Dapat dilihat dari artikel Jurnal Obsesi, Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, yang berjudul “Al-Quran Literacy for Early Childhood with Storytelling Techniques”, karya Dewi Mulyani, Imam Pamungkas, dan Dinar Nur Inten, Vol. 2, No. 2, Tahun 2018.
Literasi digital menurut Belshaw dalam teorinya adalah kemampuan untuk memahami elemen komunikatif, yang perlu pembacaan isi dalam mencari informasi dari media mana saja yang dikonsumsi. Dapat dilihat dari buku Belshaw tahun 2011, hal. 209. Sedangkan menurut penulis sendiri yang dimaksud literasi digital adalah berselancar di media masa yang ditujukan untuk mencari berbagai informasi apapun dari teknologi yang ada.
Kenapa gerakan perempuan dalam literasi digital nasional perlu dimasifkan? Karena perempuan memiliki tanggung jawab besar dalam menyebarkan informasi yang kredibel, dan bermanfaat. Sehingga terbukti saat ini yang bisa kita lihat, yaitu para perempuan sudah banyak yang berpendidikan, berpartisipasi dalam ruang publik dan lain sebagainya. Contoh lain, yaitu para YouTuber perempuan Indonesia yang menginspirasi, dan memberikan konten pendidikan kepada khalayak ramai, sebut saja di antaranya; Devina Hermawan tentang resep masakan, Sisilism tentang edukasi seks dan kesehatan organ reproduksi, dan Gita Savitri Devi tentang pendidikan.
Tidak hanya itu, kita yang belum bisa membuat konten yang mendidik, dan menginspirasi di YouTube, masih bisa melakukan hal kecil lain, misalnya untuk saya sendiri setelah membaca buku, poin yang didapat disebarkan di status WhatsApp, menulis artikel dan makalah yang di publish di Academia. Kemudian, saya juga mengikuti lomba menulis, mengikuti kajian yang berfokus pada bidang yang diminati, yaitu gender dan lain sebagainya.
Selain itu, masih banyak lagi kontribusi yang bisa perempuan lakukan berupa membuat komunitas baca di daerah masing-masing, mengajar ngaji dengan berbagai metode, menulis, dan lainnya. Dengan seperti ini, saya yakin bahwa perempuan Indonesia bisa lebih berkembang, dan bermanfaat untuk bangsanya. Dengan meleknya perempuan kepada literasi digital nasional memungkinkan untuk tidak tertinggal, dan bisa berdaya saing untuk menghilangkan bias gender di masyarakat.