Sedang Membaca
Ulil Abshar Abdalla, Joram van Klaveren, dan Ruard Ganzevoort Sampaikan Kuliah Umum di Vrije Amsterdam
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Ulil Abshar Abdalla, Joram van Klaveren, dan Ruard Ganzevoort Sampaikan Kuliah Umum di Vrije Amsterdam

Img 20220609 Wa0029

Konferensi internasional dua tahunan ketiga dengan tema “Reimagining Religion and Values in Time of (Societal) Crisis” yang digelar oleh PCI NU Belanda pada 8 Juni 2022 di Aula Universitas Vrije Amsterdam berlangsung sesuai harapan.

Tiga pembicara yaitu Joram van Klaveren (politisi dan penulis buku Apostate: From Christianity to Islam in Times of Secularisation and Terror), Ulil Abshar Abdalla (Ketua Lakpesdam PBNU), dan Ruard Ganzevoort (Dekan Fakultas Agama dan Teologi Universitas Vrije Amsterdam), menyampaikan paparan yang ditanggapi dengan antusias oleh peserta konferensi melalui sejumlah tanggapan dan pertanyaan sehingga berlangsung interaktif.

Van Klaveren menyampaikan paparan berjudul “In Times of Nothingness” dan mengawali dengan sebuah pernyataan mengenai betapa agama bisa menjadi sangat indah namun juga dapat menjadi sangat berbahaya. Ia kemudian membahas pula mengenai pandemi dan konsumerisme yang membahagiakan setelah pandemi.

Img 20220609 Wa0028
Joram van Klaveren

Menurut van Klaveren, agama selalu memperbincangkan tiga hal yaitu Tuhan, keluarga, dan masyarakat. Agama apa pun selalu menawarkan solusi mengenai persoalan seputar itu dan selalu begitu di mana-mana.

“Apakah agama bisa memuaskan diri sendiri maupun memuaskan masyarakat. Apakah kita mencintai kemanusiaan atau mencintai diri sendiri. Selalu ada pertanyaan tentang nilai-nilai, bagaimana kita bisa memaknainya. Masih banyak pertanyaan lain. Semoga masih ada harapan bahwa ada di antara bani adam yang menjadi jembatan untuk kita semua,” tutur van Klaveren.

Baca juga:  Perang Tabuk, Covid-19, dan Percepatan Zakat

Adapun Ulil menyampaikan paparan “Resilience from Within: Crisis and Its Beneficial Spectrum”. Ia mengelaborasi perdebatan yang terjadi di Indonesia dalam menyikapi pandemi Covid-19. Perdebatan tersebut dilakukan oleh dua kelompok yakni kelompok sains dan kelompok agama.

Ulil mengatakan bahwa para pengikut dua kelompok tersebut memang berbeda tipe dan seolah-olah berseberangan. Mereka sama-sama menyakinkan orang-orang dalam mempertahankan pandangan mereka dengan berbagai argumen yang masuk akal mengenai pandemi.

Debat tersebut dipicu oleh pertanyaan: apakah agama saja cukup untuk mengatasi pandemi atau sebaliknya apakah hanya sains yang berperan dalam memecahkan persoalan pandemi ini?

Kelompok sains beranggapan bahwa ulama dan para pengikutnya cenderung skeptis menyikapi ukuran, kebijakan, dan rekomendasi yang disarankan para ilmuwan. Faktanya, ada muslim yang menolak memakai masker saat salat di masjid.

“Cara terbaik adalah mengambil jalan tengah, bahwa agama memiliki kapasitas yang mampu mejadi sandaran umat beragama untuk bertahan hidup, kokoh, dan kuat. Agama memberi harapan umat untuk tetap bertahan dalam kondisi sulit. Jadi, kaitan antara agama, sains, dan pandemi tidak dapat dipandang secara linier,” kata Ulil.

Muslim di Indonesia mungkin mengikuti jejak Ibnu Rusyd atau Averroes, filsuf muslim yang hidup pada abad ke-12 yang berpendapat bahwa agama dan filsafat (filsafat alam atau sains) saling terkait satu sama lain yang disebut ittisal (hubungan korelatif).

Baca juga:  5 Jenis Wabah di Zaman Awal Islam, Salah Satunya Terjadi Saat Ramadan

Perdebatan antara agama dan sains tersebut juga mengikuti jejak intelektual muslim seperti Imam al-Ghazali (meninggal 1111 M) dan Ibnu Rushd (meninggal 1198 M).

20220608 110106
Ruard Ganzevoort (Dekan Fakultas Agama dan Teologi Universitas Vrije Amsterdam)

Adapun Ganzevoort tidak hanya memperbincangkan mengenai krisis sosial terkait pandemi dan berbagai tantangan substansial, namun juga membahas mengenai hubungan Indonesia dan Belanda serta ketegangan yang muncul selama berabad-abad hingga saat ini.

“Jika bicara mengenai masa krisis di dalam masyarakat seperti tema konferensi, ada banyak saat krisis yang berbeda yang terjadi, tidak hanya terkait pandemi. Banyak tantangan substansial yan tidak semudah itu diselesaikan. Ada krisis terkait perubahan ikllim, ada konflik di antara masyarakat kita selama masa pandemi. Selalu ada tensi,” kata  Ruard Ganzevoort.

Pada masa pandemi, negara-negara besar di Eropa bahkan kehilangan kekuatan, kekuasaan, dominasi, bahkan arogansi dan berubah menjadi kepiluan.

Bahwa memang benar kini kita perlu untuk reimagine, mengangankan kembali bagaimana seharusnya Belanda dan juga Indonesia yang saling berbagi sejarah masa lalu tersebut dapat mengisi masa depan yang lebih baik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top