Di dalam tulisan yang berjudul ‘sel terorisme dan bom bunuh diri’ saya telah menjelaskan bahwa ‘keluhan’ adalah salah satu karakter isu yang dihembuskan penggerak sel-sel terorisme. Keluhan-keluhan yang seolah membangunkan kesadaran dan membuat orang terdesak untuk memberikan perhatian dan mengambil tindakan.
Narasi kebencian, ketakutan, kengerian, ketidak adilan, ketidakpastian (dalam isu ekonomi, pendidikan, hukum) adalah narasi-narasi umum yang seringkali muncul. Hal ini disertai dengan tuduhan–tuduhan yang menyudutkan sasaran seperti kelompok agama yang dipandang bersebrangan, lembaga pemerintah, sistem politik negara, dan ideologi negara. Berbagai keluhan-keluhan serupa itu mudah kita temukan di media sosial saat ini.
Tentu, setiap orang memiliki respon yang beragam terhadap narasi-narasi seperti ini. Hal ini sangat tergantung pada persoalan pribadi yang sedang dihadapi. Bagi orang tertentu, respon yang mungkin muncul adalah rasa bersalah yang mendalam. Terutama ketika dikaitkan dengan nilai-nilai agama. Rasa bersalah yang mungkin sebenarnya dipicu oleh dosa di masa lalu, rasa bersalah karena tidak mengikuti ketentuan tertentu seperti kewajiban untuk menghindari syirik dan thogut, menjadi istri yang baik, bekerja di lembaga pemerintah, melakukan bid’ah dan lain sebagainya. Hingga rasa bersalah jika tidak melakukan tindakan apapun. Dan, jika diperhatikan, narasi seperti ini tidak hanya dapat ditemukan di media tanah air, tapi di hampir semua tempat di belahan bumi yang lain. Sudah mengglobal.
Mengingat menjamurnya informasi yang mengandung unsur sentimen yang dapat mendorong munculnya rasa bersalah ini, khususnya bagi mereka yang dikategorikan sebagai ‘lone wolfe’- meskipun saya kurang sepakat karena setidaknya mereka tetap tergabung dalam satu sel teroris yang mungkin mereka tidak sadari minimal bagian dari the drifter yaitu sel mereka yang merupakan anggota sel teroris yang telah mengalami radikalisasi, baik disadari maupun tidak disadari, yang terdiri dari mayoritas individu yang terlibat dalam melakukan ‘plot terrorist’ – adalah hal yang sangat penting jika kita bertanya: adakah hubungan antara rasa bersalah dengan tindakan agresi?
Memahami Rasa Bersalah
Secara umum, guilt atau yang saya terjemahkan sebagai rasa bersalah didefinisikan dengan perspektif yang berbeda oleh para ahli. Jika saya simpulkan, rasa bersalah muncul karena adanya evaluasi terhadap diri yang mendorong adanya keinginan untuk memperbaiki, baik dalam konteks perbaikan diri secara eksternal maupun internal. Oleh karena itu, rasa bersalah dikategorikan oleh Eisenberg (2000) di dalam artikelnya berjudul ‘emotion, regulaton, and moral development’ sebagai bentuk ‘moral emotion’ yaitu suatu bentuk inisiatif berupa tanggung jawab untuk melakukan perbaikan ‘self conscious emotion’ secara sadar. Oleh karena itu adalah hal yang sangat keliru, menurut saya, untuk memandang mereka sebagai orang–orang yang kosong jiwanya.
Rasa bersalah adalah kondisi yang normal yang dialami khususnya oleh mereka yang tengah mengalami perubahan yang drastis dalam hidup seperti peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja, atau remaja ke masa dewasa. Atau seseorang yang memiliki ‘insight’ akibat persoalan hidup seperti kehilangan orang yang disayangi, bencana alam dan peristiwa-peristiwa traumatis yang dapat memicu kesadaran diri seseorang.
Namun demikian, harus digaris bawahi bahwa dalam konteks rasa berasalah, kegelisahan ini bersifat global, berkembang dan bertambah, kronik, dan merupakan bentuk atribusi internal untuk mengambil tindakan sebagai bagian bentuk tanggung jawab (internal attribution of responsibility), hingga menimbulkan frustasi yang didorong oleh kritik diri dan penilaian diri. Frustasi menurut Gordon W. Allport (1979) dalam bukunya ‘the nature of prejudice’ adalah akar utama tindakan agresi.
Dan, dalam kontek rasa bersalah, yang muncul adalah apa yang disebut Simpson, Herman, Lehtman, & Fuller (2016) dalam artikelnya yang berjudul ‘interpersonal transgressions and interest in spiritual activities: the role of narcissism’ sebagai moral transgression sebagai akibat kekecewaan pada kenyataan diri yang bersumber dari perilaku yang dipandang ‘tidak seharusnya’ yang diaktualisasikan dalam bentuk tindakan kekerasan pada orang lain atau pada diri sendiri.
Bagaimana Rasa Bersalah Dapat Dianalisis?
Menurut Caprara, Barbaranelli, Pastorelli, Cermak & Rosza (2001) dalam artikelnya yang berjudul ‘facing guilt: role of negative affectivity, need for reparation, and fear of punishment in leading to prosocial behaviour and aggression’, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu pendekatan psikologis dan pendekatan hukum.
Pada pendekatan psikologis, analisis dapat dilakukan dengan menekankan pada komponen subjektif yang menjadi akar rasa bersalah seperti keyakinan, perasaan dan berbagai konsekuensi yang langsung berpengaruh pada kesejahteraan subjektif individu dan ketertarikan personal individu itu sendiri.
Nah, terkait dengan media, tak sulit saat ini menemukan berbagai informasi yang dengan mudah mengaduk aduk sistem keyakinan seseorang. Seperti glorifikasi pelaku bom, narasi yang mengerikan tentang akhir zaman, peringatan mendesak atas kebangkitan PKI, atau berbagai publikasi mengenai berbagai hal yang mungkin muncul sebagai akibat jika ‘kita’ tidak mengambil tindakan sedari sekarang. Situasi ‘urgent’ yang mendorong rasa bersalah bergerak ke level yang lebih jauh lagi.
Sedangkan dalam perspektif hukum analisis fokus pada berbagai tindakan pelanggaran yang dilakukan yang dapat langsung menimbulkan rasa bersalah sehingga memunculkan pembeda antara pendosa dan bukan pendosa, antara yang nista dan yang suci tanpa noda. Tentu, dalam hal ini sumber hukum yang digunakan menjadi penting untuk dibicarakan dan ditelusuri lebih jauh.
Dalam konteks hukum ini, rasa bersalah dilihat sebagai fakta dan bentuk yang objektif: hitam dan putih. Informasi seperti ini pun mudah kita temukan. Bahkan dapat menjadi bagian dari pembicaraan sehari hari di atas meja makan di dalam keluarga. Dalam surat yang ditinggalkan oleh pelaku bom, kita dapat temukan sumber hukum yang mereka gunakan sebagai indikator, misalnya pelarangan untuk menabung di bank konvesional, tidak boleh mengikuti pemilu, dan melarang demokrasi. Ini adalah informasi penting yang dapat ditelusuri.
Oleh karena itu menurut Eisenberg (2000) dalam perspeketif psikodinamik, rasa bersalah merupakan bentuk superego yang merespon terhadap dorongan diri yang tidak dapat diterima khususya secara moral. Kondisi ini mendorong munculnya tekanan psikologis yang berbepengaruh terhadap kemampuan diri dalam melakukan ‘adjustment’: menerima lalu melakukan penyesuaian. Hal ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan situasi psiko-sosial individu itu sendiri.
Terutama, apakah karakter pribadi dan sosial mendukung atau tidak dalam membantu seseorang dalam menyelesaikan kegelisahannya? Bisa dibayangkan jika setiap hari informasi yang didapat di WA group, publikas di Telegram, dan media lainnya lebih besar dibanding jumlah interaksi secara sosial dengan keluarga dan lingkungan sosialnya, maka yang akan muncul adalah sistem nilai yang terasing dari lingkunganya sendiri.
Media dan Kebenaran ‘Absurd’
Saya teringat sebuah ekperimen yang dilakukan oleh seorang ahli psikologi sosial, Robert Zajonc yang kemudian dikenal sebagai ‘the mere exposure effect’. Zajonc membuktikan bahwa kebenaran tidak selalu terletak pada isi informasi yang diberikan, tetapi terletak pada frekuensi informasi itu dimunculkan. Dalam risetnya Zajonc menemukan bahwa mereka yang tidak paham huruf Cina sekalipun jika terlalu sering terpapar informasi huruf tertentu, mereka akan berpendapat bahwa huruf yang sering muncullah yang memiliki makna yang positif dibanding yang jarang diperlihatkan. Artinya, kebohongan pun jika ditampilkan terus menerus akan menjadi ‘kebenaran’ (dalam tanda kutip).
Dari penjelasan ini tampak bahwa, rasa bersalah dapat dimunculkan bahkan diciptakan di dalam media sehingga dapat mendorong seseorang melakukan tindakan agresif ketika dia menemukan media dari rasa frustasi yang dialami dengan memunculkan satu target yang dipandang bertanggung jawab atas kegelisahannya. Seperti yang dijelaskan oleh Allport (1979) di dalam bukunya ‘the nature of prejudice’ bahwa karakter aktualisasi frustasi tidak selalu ‘direct’ terhadap objek tapi dia akan menyasar objek- objek yang dianggap berhubungan dengan objek sasarannya.
Bisa dibayangkan, jika sumber kegelisahan itu adalah objek yang sulit dijangkau, berapa banyak kemungkinan akan terjadi sebagai pengganti sasaran kemarahan? Mengerikan bukan? Oleh karena itu melawan wacana-wacana negatif masif yang menggunakan unsur agama menjadi sangat penting untuk dilakukan.