Pada hari-hari bergelimang ide dan tuduhan bertema demokrasi, kita membaca berita agak mengagetkan dari MUI (Majelis Ulama Indonesia). Bermula dari sarasehan, MUI mengusulkan ada peringatan Hari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menggunakan peristiwa bersejarah “Mosi Integral Natsir”, 3 April 1950.
Usulan itu bermisi memperkuat rasa kebangsaan setelah sekian tahun selalu ada perkara-perkara genting di politik Indonesia. Jimly Ashiddiqie selaku Ketua Umum ICMI mengatakan peringatan Hari NKRI bisa meredam isu sering muncul untuk mempertentangkan Islam dengan NKRI (Republika, 2 April 2019).
Usulan di sela-sela perdebatan, persaingan, dan sengketa menuju hari berdemokrasi, 17 April 2019. Kita belum memberi mufakat atau menolak tapi ingin berpikiran lagi tentang Mohammad Natsir.
Sejak muda, ia dikenal sebagai tokoh santun, bersih, toleran, dan konsisten. Ia memberi sumbangan ide berlimpah di pembentukan dan pemajuan Indonesia, sejak masa kolonial sampai rezim Orde Baru. Sikap politik Natsir sering berhadapan dengan penguasa.
Ia pantang mundur memberi kritik pada bentuk-bentuk pengabaian hak-kewajiban dalam berbangsa-bernegara. Pada Soekarno dan Soeharto, ia berani memberi kritik tanpa takut mendapat kecaman atau hukuman. Ia malah ikhlas mendapat cap “musuh” oleh penguasa.
Pada masa muda, perjumpaan Natsir dengan para tokoh agama dan politik kebangsaan memberi bara membentuk Indonesia. Ia perlahan bersuara di pelbagai pertemuan dan menuangkan ide-ide di tulisan. Para penekun sejarah Indonesia bakal menemukan ratusan artikel Natsir, merentang dari masa kolonial sampai Orde Baru.
Ia menjadikan tulisan itu tata cara beradab mengajukan ide atau melakukan bantahan-bantahan atas keamburadulan lakon Indonesia.
Di buku berjudul Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (2011) susunan tim Tempo, kita membaca pribadi mengejutkan berkaitan agama dan Indonesia. Sejak bergerak Jawa, Natsir ada di gerakan kebangsaan. Ia memberi dukungan pada tokoh-tokoh sanggup membesarkan misi-misi menjadi Indonesia.
Pada suatu masa, Natsir mengagumi Soekarno selaku penggerak ide kebangsaan melalui PNI. Kagum diselingi jengkel. Pada seruan-seruan para tokoh PNI bermunculan pemikiran “meremehkan” Islam.
Natsir pun memberi ralat dan melawan kecenderungan para tokoh kebangsaan jika nekat mencela Islam. Sikap itu sempat memunculkan kubu-kubu gerakan bercap nasionalis dan Islam sulit bergandengan gara-gara beda haluan.
Kemarahan Natsir pada Soekarno pernah mereda di misi mengurusi negara baru merdeka. Natsir tampil menjadi Menteri Penerangan untuk menegakkan Indonesia, mengabarkan segala impian Indonesia di tahun-tahun selalu sulit.
Pada masa awal kemerdekaan, Natsir dan Soekarno “mesra”, sebelum berhadapan lagi demi pemikiran bereferensi agama dan negara.
Puncak hubungan bersejarah dua tokoh tenar itu tampak dalam pengajuan mosi oleh Natsir di parlemen agar ada kehendak kembali ke negara kesatuan. Natsir bicara selaku “Ketua Fraksi Masjumi”. Mosi itu menginginkan negara-negara bagian dalam RIS (Republik Indonesia Serikat) membubarkan diri untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tempo menjuluki Natsir adalah “arsitek negara kesatuan”. Pidato Natsir bersejarah, bukti ia memiliki keutamaan sebagai bapak bangsa. Hatta dan Soekarno memberi sambutan membara atas Mosi Integral Natsir. Kita mengutip dari buku garapan Tempo:
“Pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan dalam sidang bersama parlemen dan senat Republik Indonesia Serikat. Dua hari kemudian, saat perayaan ulang tahun kelima proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Kita mendapati mosi itu “puncak” dari pemikiran dan perbuatan Natsir bagi Indonesia. Sejarah itu jarang terpikirkan untuk dimaknai lebih besar dalam pembuatan hari nasional atau peringatan terhormat. Usulan MUI mungkin ingin membuka lagi lembaran-lembaran sejarah paling menentukan agar ketokohan Natsir memungkinkan pelbagai pihak di situasi politik pelik kembali berpokok ke NKRI berlatar abad XXI. Usulan bakal sulit mendapat sambutan secara cepat. Para tokoh elite sedang sibuk mengurusi politik untuk menang-kalah, belum memiliki jeda memikirkan lagi kesejarahan NKRI.
Politik terlalu rumit dan ramai. Kita memilih menghormati Natsir dan sejarah NKRI dengan membuka buku berjudul Agama dan Negara dalam Perspektif Islam (2001), berisi puluhan tulisan-tulisan lawas Natsir, 1931-1987. Penerbitan ulang menginginkan ada pembacaan kritis dan produktif saat Indonesia gampang disulut perdebatan sengit.
Kita mengutip tulisan berisi ajakan Natsir (1931) ke para tokoh dari pelbagai golongan di jalan membentuk-memuliakan Indonesia. Natsir agak puitis dengan mengutip Ernst Renan:
“Tali ikatan ini dalam tempatnja jang tak moedah poetoesnja./ Tak poetoes karena warna koelit jang berbeda./ Tak poetoes karena berlainan poelaoe tempat tinggal./ Tak poetoes karena pertikaian paham tentang tjabang dan tjarang./ Tak poetoes karena berlainan keadaan hidoep jang bersoesah senang./ Tak poetoes karena perpisahan njawa dengan badan.” Kata kunci di rangkaian kalimat itu ikatan. Natsir ingin ada ikatan di gerakan kebangsaan.
Natsir pun berseru: “Kalaoe tali ikatan jang matjam ini hendak dipergoenakan oleh pergerakan jang mentjapai kemerdekaan Indonesia, Indonesia jang terpisah-pisah kepoelaoeannja, berlainan tabeat, ketjerdasan, dan bahasa pendoedoeknja, memang soedah semestinja.” Seruan harus melintasi tahun-tahun sampai ke hari bersejarah, 3 April 1950 dan 17 Agustus 1950.
Kita mengerti keinginan MUI memerlukan sokongan dari pelbagai pihak dalam penetapan Hari NKRI. Sambutan atau penolakan bakal tampak setelah hari coblosan. Para capres-cawapres memang berjanji menegakkan NKRI tapi mereka belum sempat merenung panjang untuk mengingat sejarah. Mereka sedang sibuk mengurusi materi-materi besar bertajuk demokrasi, belum sempat membaca (lagi) tulisan-tulisan Natsir, mengantar ke pembentukan dan pemaknaan Indonesia, sejak masa 1930-an sampai 1980-an. Kita mengaku belum sibuk berpolitik berhak di ketekunan membaca Natsir dan NKRI. Begitu.