Sedang Membaca
Mbah Abdullah Sajad: Cahaya Islam di Semarang Timur
Abdullah Faiz
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Salaf Apik Kaliwungu dan sekarang Kuliah di UIN Semarang.

Mbah Abdullah Sajad: Cahaya Islam di Semarang Timur

Mbah Abdullah Sajad: Cahaya Islam di Semarang Timur

Dakwah persebaran Islam di sepanjang pantura Kota Semarang tidak bisa dilepaskan dengan kiprah dan kontribusi Mbah Kiai Sholeh Darat. Seorang ulama yang dilahirkan di Mayong Jepara ini menjadi icon peradaban Islam di kota lumpia.

Banyak ulama-ulama terkemuka di Nusantara yang pernah ngangsu kaweruh dengan beliau, sekaliber Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Ahmad Dahlan, RA Kartini, Kiai Munawwir Krapyak, Kiai Idris Jamsaren Solo dan kiai-kiai lainya. Kiai Sholeh pada awalnya mengaji kepada KH. Syafi’i di pesantren Dondong Mangkang daerah perbatasan antara Semarang dan Kaliwungu Kendal.

Pertemuan KH. Syafi’i dengan Kiai Sholeh Darat bisa dilacak dengan pertemanan ayahnya yaitu Kiai Umar yang sama-sama menjadi pejuang kemerdekaan bersama Pangeran Diponegoro. Setelah menimba ilmu dari berbagai tempat akhirnya ia mendirikan pesantren di daerah Darat Semarang. Sebuah lokasi daratan dekat dengan pantai utara. Namun seiring berkembangnya zaman bukti-bukti bangunannya sudah banyak diubah. Sementara waktu berdirinya juga masih belum ditemukan bukti otentik menurut perkiraan adalah pada tahun 1880 M. Dengan demikian, bisa kita bayangkan bahwa Kiai Sholeh Darat memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Nusantara khususnya di Jawa Tengah pada masanya (Abad 19).

Diantara rentetan murid-muridnya yang mentereng ada yang menjadi santri kinasih (kesayangan), yaitu Kiai Abdullah Sajad, seorang ulama yang secara khusus diamanati untuk menyebarkan Islam di daerah Semarang Timur. Dalam buku “Dakwah Islam Abad 19 Cahaya Islam Dari Semarang” karya Kiai Anasom yang diterbitkan belum lama ini, ia menyebutkan bahwa Kiai Abdullah Sajad atau Mbah Sajad setelah mengakhiri nyantri di Darat ia pergi ke daerah Sendangguwo yang sekarang masuk ke daerah Tembalang.

Baca juga:  Ulama Banjar (161): KH. Ahmad Supian

Sendangguwo adalah desa yang cukup tua, dilihat dari susunan katanya tersusun dari “Sendang” dan “Guwo”. Dalam tradisi Jawa, sendang sering diartikan sebagai tempat yang dikeramatkan dan sering diartikan tempat peristirahatan para leluhur. Sementara guwo dalam bahasa Jawa adalah gua.

Biasanya, gua juga dikeramatkan karena banyak mengandung unsur mistis, misalnya tempat pertapaan para leluhur dan tempat pertemuan leluhur dengan makhluk mistis. Sehingga gua menjadi tempat pemujaan dan peziarahan karena menjadi petilasan atau tempat pertapaan orang-orang terdahulu. Dan keberadaan sendang dan guo sampai sekarang masih ada, keterangan dalam buku nya Kiai Anasom sendang tersebut berada di sebelah utara Masjid Mbah Sajad sementara gua berada sekitar 500 meter sebelah barat masjid.

Masyarakat Sendangguwo era Mbah Sajad masih sangat primitif dan banyak yang belum memeluk agama Islam. Bahkan yang sudah beragama Islam pun masih banyak yang melakukan ritual-ritual kemusyrikan. Kedatangan Mbah Sajad tidak mulus-mulus saja ia pasti mendapatkan banyak cobaan dan tantangan namun dengan usaha dan tirakat Mbah Sajad, Sendangguwo menjadi daerah yang memiliki nafas Islam yang kuat dan menelurkan generasi-generasi Islam untuk masa depan. Hal ini ditandai dengan banyaknya madrasah dan pesantren yang sekarang berkembang di daerah tersebut.

Baca juga:  Ulama Banjar (121): KH. Badaruddin

Para peneliti sejarah peradaban Islam, dalam proses penggalian data biasanya memulai dengan tempat-tempat peninggalan yang berkaitan dengan tempat mengajar dan ibadahnya. Para wali dan ulama di Jawa dalam hal media dakwahnya pasti ditandai dengan masjid, pesantren dan tempat menyepi (pertapaan), dan seringnya tempat terakhirnya (makam) tidak jauh dari tempat ibadahnya. Misalnya Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan sunan-sunan yang lainya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum karena masjid dan pesantren menjadi rukun utama dalam penyebaran ajaran agama.

Kembali pada Mbah Sajad, dalam instrumen dakwahnya ia mendirikan masjid yang sekarang dikenal dengan Masjid As-Sajad. Dalam penamaan masjid ini sepertinya berawal dari sebutan dari masyarakat sekitar saja karena susunan namanya dinisbatkan kepada Mbah Sajad. Bisa jadi Mbah Sajad tidak terlalu melihat formalitas dalam penamaan, ia hanya fokus dalam pengembangan dan penyebaran agama Islam saja. Selain mendirikan masjid, Mbah Sajad juga mendirikan pondok pesantren yang berdiri di depan masjid.

Sementara catatan berdirinya masjid ataupun pesantren tidak ditemukan tahun yang jelas kapan berdirinya namun bisa dipastikan masjid dan pesantrennya sudah berumur lebih dari satu abad. Hal ini mengingat tahun meninggalnya Mbah Sajad diperkirakan pada tahun 1918 M. Sepeninggal Mbah Sajad kendali pesantren diteruskan oleh putranya yaitu KH. Muhammad Dimyati sampai wafatnya pada tahun 1955 M. Di dalam masjid tersebut terdapat jadwal sholat yang dibuat pada tahun 1318 Hijriyah yang berarti bertepatan pada tahun 1900 M. Jadwal sholat tersebut sampai sekarang masih bertengger dengan baik. Di jadwal tersebut terdapat tulisan:

Baca juga:  Hikayat Walisongo (3): Sunan Giri, Pelopor Pendidikan Pesantren dan Inspirator Moderasi

Nahmadullah Wa aunihi fi lailatis sabti naslakhu rabiutsani sanah 1318 hijriyah al muwafiq 25 Agustus sanah (tidak jelas) miladiyah ala yadil abdi jalil Ahmad Dahlan Darat Samarani.

Catatan ini semacam prasasti yang menerangkan bahwa jadwal ini tertulis pada tahun 1318 H oleh Kiai Ahmad Dahlan Darat Semarang. Dalam bukunya Kiai Anashom, Kiai Ahmad Dahlan adalah menantu Kiai Sholeh Darat yang berasal dari Tremas Pacitan. Ia menikah dengan Zahroh putri Kiai Sholeh dari istri Raden Siti Aminah.

Tempat peristirahatan terakhir Mbah Sajad tidak terlalu jauh dari lokasi pesantren nya. Kondisi makamnya sangat bersih dan sudah menjadi tempat peziarahan di Semarang dan sekitarnya.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top