Sedang Membaca
Menyelami Pemikiran Islam Mazhab Kritis: Al-Jabiri, Arkoun, dan Hassan Hanafi
Mizanul Akrom
Penulis Kolom

Penulis bisa disapa melalui akun medsos Facebook: Mizanul Akrom; Instagram: mizanul_akrom.

Menyelami Pemikiran Islam Mazhab Kritis: Al-Jabiri, Arkoun, dan Hassan Hanafi

Filsafat Islamm

Mencuatnya pemikiran Islam mazhab kritis sebenarnya adalah upaya dari para pemikir muslim dalam melakukan studi kritik atas wacana agama yang dirasa wacana itu bersifat dominan dan cenderung legitimit untuk diubah menjadi wacana agama yang lebih kritis, inklusif, dan toleran. Kritik itu didasarkan pada sebuah asumsi bahwa tidak ada tafsir tunggal atas agama, karenanya harus ada unsur kritik atasnya guna membangun kesadaran kritis terhadap kesadaran relasi antaragama, gender, dan sosial-politik yang meliputi relasi individu, masyarakat, rakyat, penguasa, serta kelompok primordial-ideologis.

Sebenarnya, pemikiran Islam mazhab kritis ini bersandar pada pemikir muslim berhaluan kritis seperti Muhammad Abid al-Jabiri, Mohammed Arkoun, dan Hassan Hanafi. Ketiga pemikir ini dikatakan pionir pemikiran Islam mazhab kritis karena ketiganya berupaya memajukan kembali kegemilangan dunia Islam dengan menjadikan unsur kritik internal sebagai titik tolak untuk menyambut kebangkitan kembali dunia Islam, baik dalam bidang pemikiran maupun ilmu pengetahuan.

Adapun genealogi pemikiran Islam mazhab kritis bermula dari upaya para pemikir muslim berhaluan kritis dalam melakukan identifikasi diri dan respons mereka atas problem-problem kontemporer secara umum, terutama menyangkut turats (warisan pemikiran ulama klasik) berhadapan dengan modernitas.

Dari kedua aspek itu (turats-modernitas) apakah memungkinkan untuk diketemukan pada suatu bangunan relasi ideal; bagaimana bisa hidup sesuai tuntutan teks agama, tetapi tetap menemukan diri secara seimbang dengan perkembangan kemanusiaan, bagaimana bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan tetapi tetap menjadi muslim yang baik, bagaimana menjadi autentik sekaligus modern, bagaimana berubah tetapi tetap berpegang pada asas pokok agama, bagaimana menjaga keseimbangan antara autentisitas dan modernitas sekaligus.

Baca juga:  Siapa Bilang Waktu Itu Uang?

Al-Jabiri, pemikir muslim asal Maroko, melihat turats pada kerangka pemikiran yang lebih filosofis karena menekankan aspek epistemologi, yaitu menggunakan metode kritik dekonstruktif untuk menemukan titik relevansi turats versus modernitas. Secara umum kritik al-Jabiri dilancarkan pada nalar Arab yang pada akhirnya menyatu dalam turats atau kebudayaan.

Dalam kancah intelektual Arab-Islam, karya-karya al-Jabiri menawarkan alternatif pemikiran baru sebab menekankan pembacaan secara tri-dimensional terhadap masa lalu Arab-Islam. Posisi intelektual al-Jabiri dalam persoalan turats ini sering dipuji oleh banyak kalangan pemikir karena dianggap sebagai “pendobrak” nalar Arab-Islam yang terlampau tekstualis-sufistik karenanya kurang adaptif bagi gagasan kemajuan.

Selain al-Jabiri, figur pemikir muslim berhaluan kritis adalah Arkoun, pemikir muslim kelahiran Aljazair. Terdapat titik kembar antara keduanya, karena sama-sama menggunakan metode kritik dekonstruktif dalam memperlakukan turats. Bagi Arkoun, turats itu dibentuk dan dibakukan dalam sejarah, karenanya harus dibaca lewat kerangka sejarah (historisme). Adapun pembacaan Arkoun terhadap teks suci lebih mengapresiasikannya di tengah-tengah perubahan zaman (kontekstual). Pendekatan historis-kontekstual dilancarkan Arkoun untuk mentransformasikan pemaknaan turats agar relevan dengan perkembangan zaman (modernitas).

Apa yang diusahakan Arkoun ini, sebenarnya adalah upaya melakukan pengharmonisan turats dengan modernitas. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah dekonstruksi. Baik Arkoun maupun al-Jabiri, keduanya sama-sama bertolak pada kerangka epistemologi yang sama, yaitu pendekatan dekonstruksi, dan nalar Arab-Islam dijadikan tema sentral dari pendekatan itu.

Baca juga:  Toa dan Ketakutan terhadap Anjing Gila

Selanjutnya, pemikir muslim berhaluan kritis-progresif yang menaruh harapan pada turats bisa dijumpai bernama Hassan Hanafi. Dengan idiom populer, Hanafi menamakan proyek pemikirannya al-turats wa al-tajdid; masalah tradisi dan pembaruan. Bagi Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali turats dengan spirit modernitas. Teologi yang dianggap sebagai ilmu fundamental dalam tradisi Islam oleh Hanafi direkonstruksi sesuai perspektif modernitas.

Baginya, ilmu kalam bukan hanya sebagai ideology doctrinal, tetapi juga ideologi revolusi atau revolusi ideologis yang dapat memotivasi kaum muslim untuk beraksi melawan despotisme dan penguasa otoriter. Dalam bentuknya yang beragam, Hanafi menamakan gagasan teologinya dengan nama “Kiri Islam” (Al-Yasar Al-Islami).

Adapun kritik Hanafi terhadap Barat, ia menciptakan pendekatan baru sebagai bentuk perlawanannya terhadap studi Barat. Jika selama ini umat Islam dijadikan objek kajian lewat wacana orientalisme yang diciptakan Barat, Hanafi mewariskan bangunan epistemologi keilmuan Islam baru lewat studi oksidentalisme. Hasilnya, studi oksidentalisme ini memperlihatkan kerangka teoretis yang sistematik dengan tetap melihat pembacaan atas turats Islam yang dielaborasikan dengan pembacaaan atas tradisi Barat sebagai the order.

Ketiga pemikir muslim berhaluan kritis ini, Al-Jabiri, Arkoun, dan Hanafi, dapat disebut sebagai tokoh kunci pemikir Islam mazhab kritis. Sebab kajian pemikiran mereka telah membuka ventilasi baru bagi paradigma maupun tren pemikiran keislaman saat ini, terutama nalar kritiknya terhadap teks-teks keagamaan Islam yang telah mapan.

Baca juga:  Timur Tengah dalam Sastra Indonesia: Menimbang Kontribusi Fudoli Zaini (1/2)

Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa kajian kritis terhadap turats Islam (teks-teks keagamaan) yang sudah mapan sering dianggap blunder dan tabu bagi keagamaan seseorang. Sebab turats, dalam pengertiannya sebagai tafsir agama, bagi sebagian muslim paralel dengan agama. Sedangkan agama sering dipadankan dengan bunyi teks, dan teks sama dengan agama, sehingga mengotak-atik turats sering dianggap mengganggu agama.

Problematika itu muncul karena kegagalan para pembaca teks yang tidak mengaitkannya dengan konteks. Akibatnya, pemikiran keislaman berjalan lambat dan bahkan mengalami kemandegan. Dalam konteks inilah pemikiran Islam mazhab kritis menemukan titik relevansinya. Sebagai bagian dari khazanah pemikiran dan keilmuan Islam, “Pemikiran Islam Mazhab Kritis” dalam setiap kajian pemikirannya selalu mengaitkan antara teks dengan konteks.

Referensi:

Ro’uf, Abdul Mukti. 2018. Kritik Nalar Arab Muhammad ‘Abid Al-Jabiri. Yogyakarta: LKiS.

Meuleman, Johan Hendrik. 2012. Membaca Al-Qur’an Bersama Mohammed Arkoun. Yogyakarta: LKiS.

Shimogaki, Kazuo. 2011. Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: LKiS.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
3
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top