Ian Dallas, Seniman-Sufi yang Membangun Komunitas

Ian Dallas Amazon

Syaikh Abdul Qadir lahir pada 1930 di Ayr, Skotlandia, dengan nama Ian Dallas dari sebuah keluarga Highland. Ia tumbuh dan dibesarkan di lingkungan keluarga Eropa pemeluk Kristen. Setelah menamatkan pendidikannya di Royal Academy of Dramatic Arts, London University, Dallas memulai kariernya di bidang seni sebagai seorang penulis drama.

Dia pernah dikontrak oleh jaringan televisi BBC sebagai penulis naskah sejumlah sandiwara dan drama. Tak jarang pula, dia turut bertindak sebagai pemain dalam pertunjukan drama dan sandiwara yang naskahnya dia tulis sendiri. Pada tahun 1963 sebelum memeluk Islam, sempat berakting dalam film Federico Fellini sebagai “Il Partner Della Telepata”.

Setelah masuk Islam, Ian Dallas mengubah namanya menjadi Abdul Qadir, walaupun dalam karyanya yang pertama dia masih memasang nama Ian Dallas. Buku tulisannya itu berjudul; The Book of Strangers , (State Univ of New York Press , 1972) dan diterjemahkan oleh penerbit Pustaka Bandung menjadi Yang Asing Dan Terasing tahun 1991, sebuah novel yang luar biasa.

Dia kemudian bergabung dengan Tarekat Darqawiyah, sebuah gerakan tarekat terkemuka di Maroko yang menisbatkan namanya pada Syekh Muhammad al-Arabi al-Darqawi (1760-1823). Dalam tarekat ini, dia berguru kepada sang pemimpin tarekat, Syekh Muhammad bin al-Habib. Dari sang guru inilah, Abdul Qadir memperoleh gelar As-Sufi. Bersama Syekh al-Habib, dia menjelajahi Maroko dan Aljazair untuk belajar sufisme dari Sidi Hamud bin al-Bashir (ulama Bilda) serta Sidi Fudul al-Huwari as-Sufi (ulama Fes).

Pengalaman spiritual yang dilalui Abdul Qadir selama pengembaraannya di tanah Afrika telah membuka cakrawalanya mengenai ajaran-ajaran Islam, terlebih lagi setelah perjumpaannya dengan seorang mursyid besar dari Meknes, Syekh Muhammad bin al-Habib.

Pada periode tersebut, dia juga banyak menelaah gagasan-gagasan beberapa tokoh besar dari lingkungan peradaban Barat yang telah mengilhaminya semasa muda. Mulai dari pemikiran Baudelaire hingga Nietzsche, berlanjut pada Wagner, Jung, Goethe, dan Heidegger.

Nama Syekh Abdul Qadir as-Sufi dikenal luas di kalangan para pengikut sufisme di wilayah Benua Hitam, Afrika. Dia adalah pemimpin Tarekat Darqawiyah Syadziliyah-Qadiriyah, sebuah aliran tarekat pada era modern yang memuliakan kemiskinan dan asketisme.

Baca juga:  Obituari: Hilman, Sandal Jepit, dan Bis

Dia juga pendiri Murabitun World Movement, sebuah gerakan keagamaan yang bercita-cita menegakkan ajaran Islam secara kaffah. Kendati sosoknya kini dikenal luas sebagai seorang ulama di seantero Afrika, Syekh Abdul Qadir mulanya bukanlah seorang Muslim.

Ketertarikan Dallas terhadap Islam bermula ketika dia melakukan perjalanan ke Maroko. Selama di Maroko, dia banyak berinteraksi dengan komunitas Muslim setempat, terutama dengan kalangan pengikut ajaran sufisme yang memang marak di negara tersebut. Tepatnya, pada tahun 1967, di Kota Fes, Maroko, Dallas memutuskan memeluk Islam di bawah bimbingan Imam Masjid al-Qarawiyyin, Syekh Abdul Karim Daudi.

Setelah kembali ke Eropa dari perjalanan spiritualnya di Maroko, Abdul Qadir menuju ke Benghazi, Libya, bersama Syekh al-Fayturi. Di sini, dia menceburkan diri ke dalam khalwat, sebuah proses spiritual dengan cara menyepi dan mengasingkan diri. Tak lama setelah itu, dia mendeklarasikan kepemimpinannya atas Tarekat Darqawiyah.

Sejak saat itu, Syekh Abdul Qadir memrakarsai pengembangan komunitas-komunitas Muslim di jantung peradaban Barat di Eropa, mendidik kaum Muslim Eropa tentang ajaran agama, mendorong kaum laki-laki ataupun perempuan untuk membina karakter-karakter, serta mengeratkan silaturahim di antara komunitas-komunitas tersebut guna mengemban tugas transformasi Islam.

Apa yang telah dirintis oleh Syekh Abdul Qadir ini telah memberikan hasil yang menggembirakan. Peningkatan jumlah kaum laki laki perempuan di Spanyol, Inggris, Denmark, Italia, dan orang-orang Eropa lain dalam tempo tiga dasawarsa terakhir yang memilih Islam sebagai agama mereka pun terjadi.

Abdalqadir as-Sufi menganjurkan agar mazhab Islam yang asli, tradisi masyarakat Madinah sebagaimana dicatat oleh Malik ibn Anas , karena dia menganggap ini sebagai rumusan primal masyarakat Islam dan kebutuhan untuk pembentukan kembali Islam di zaman sekarang.  Abdalqadir bertanggung jawab atas pendirian Masjid Ihsan di Norwich, Inggris,  Masjid Agung Granada,  dan Masjid Jumu’a di Cape Town. Abdalqadir as-Sufi mengajarkan bahwa terorisme bunuh diri dilarang di bawah hukum Islam, bahwa pola psikologisnya berasal dari nihilisme,  dan bahwa dia “menarik perhatian dari fakta bahwa kapitalisme telah gagal”.

Baca juga:  Kosmologi Tantra: Memahami Hubungan Erat antara Alam Semesta dan Diri

Dia telah menyatakan bahwa Inggris berada di “ujung penurunan terminal” dan bahwa hanya populasi Muslim Inggris yang dapat “menghidupkan kembali dunia kuno ini”.  Dia telah banyak menulis tentang pentingnya monarki dan pemerintahan pribadi.  Dia juga menganggap cadar (atau niqab) wanita Muslim sebagai tidak Islami,  menggambarkannya sebagai “penghalang jahat wanita”.

Pada tahun 2006, dia mengeluarkan fatwa, menyusul kunjungan dan pidato yang diberikan oleh Paus Benediktus XVI di Jerman. Dalam Fatwa tentang Musyawarah Paus Benediktus XVI di Jerman, dia menyatakan bahwa “menurut saya, Paus Benediktus XVI bersalah karena menghina Rasulullah”. Dia adalah mentor awal sarjana Sufi Amerika, Hamza Yusuf.

Syaikh Abdul Qadir dikenal sangat menganjurkan kesetiaan pada autentisitas ajaran hukum Islam yang terpatri pada norma dan perilaku masyarakat Muslim di Madinah pada masa lampau. Dia menilai, Era Madinah sebagai bentuk dasar masyarakat Islam yang kini diperlukan untuk membangun kembali Islam kontemporer.

Sambil menekankan perlunya pemurnian kembali tradisi awal Madinah, dia juga menyeru orang kepada Islam dengan cara yang jernih dan memikat. Pemikiran-pemikiran tersebut dijelaskan secara panjang lebar dalam bukunya yang berjudul Root Islamic Education.

Untuk merealisasikan gagasan-gagasan pemikirannya ini, pada awal 1980-an, Syekh Abdul Qadir mendirikan sebuah gerakan keagamaan yang bercita-cita menegakkan ajaran Islam secara kaffah yang ia beri nama Murabitun World Movement. Gerakan ini terinspirasi dari nama gerakan Islam yang pernah menghidupkan kembali Andalusia dan membawanya pada puncak keagungan. Dari Andalusia ini, kemudian ajaran Islam menyebar luas ke wilayah-wilayah Eropa lainnya.

Untuk mengembangkan gerakan Murabitun ini, selama bertahun-tahun dengan berbasis di Spanyol, Syekh Abdul Qadir membangun komunitas-komunitas Islam di Granada, Sevilla, Madrid, Galicia, Basque, dan Barcelona. Dia pun membantu membangun komunitas-komunitas Islam di Jerman, Inggris, Italia, dan Denmark.

Di luar Eropa, terdapat komunitas-komunitas yang sangat aktif, di antaranya Afrika Selatan, Nigeria, Meksiko, Amerika Serikat, Australia, Indonesia, Thailand, dan Malaysia.

Gerakan Murabitun yang digagasnya ini terfokus pada upaya menekankan pentingnya zakat sebagai sistem pajak yang kini telah punah akibat dominasi praktik politik dan sistem keuangan non-Islam. Di mata Syekh Abdul Qadir, pemulihan praktik zakat mengharuskan adanya pemberlakuan mata uang syariah yang autentik, yakni mata uang dinar (emas) dan dirham (perak).

Baca juga:  Hasyim Asy'ari: Tebar Harmoni, Tradisikan Literasi, Rangkul Petani

Syarat pokok lainnya bagi pemberlakuan zakat sebagai sistem pajak, menurut Syekh Abdul Qadir, adalah ketetapan hukum perdata menyangkut hal ini. Sebab, zakat seperti yang tertuang dalam ajaran Alquran merupakan aturan yang pernah ada serta praktik yang berlaku dalam sejarah Islam awal, diambil secara resmi (paksa) oleh pemerintah, dan bukan diberikan oleh seseorang secara sukarela sebagai sedekah.

Ada yang begitu mengejutkan, ternyata Syekh Abdul Qadir adalah sahabat dekat musisi Eric Clapton. Dari persahabatan tersebut telah lahir sebuah karya besar sang musisi yaitu lagu dan lirik “Layla” tembang yang monumental itu. Clapton menceritakan mengapa tembang tersebut terlahir adalah dari sebuah buku roman Layla Majnun yang dia baca, bercerita tentang asmara karangan sastrawan Persia abad 12 M asal Azerbaijan bernama Nezami Ganjavi.

Mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Qais yang jatuh cinta kepada Layla. Akan tetapi, ayah Layla tidak menyetujui hubungan asmara mereka berdua dan berusaha menikahkan Layla dengan seorang saudagar kaya.

Secara sekilas kisah ini mirip dengan cerita Romeo dan Juliet karangan William Shakespeare, sehingga beberapa tokoh barat seperti Lord Byron, menyebutnya sebagai “The Romeo and Juliet of the East.”  Akan tetapi, umur cerita ini jauh lebih tua daripada cerita Romeo dan Juliet.

Kisah cerita ini sebenarnya juga bukan karya orisinal dari Nezami sendiri, melainkan Nezami menyadurnya dari beberapa kisah yang berasal dari Tanah Arab. Meski begitu, cerita ini tetaplah masyhur sebagai karangan dari Nezami sendiri karena berjasa mengenalkan kisah ini kepada publik dan menulisnya dalam sebuah buku.

Kisah ini pun kemudian banyak diterjemahkan ke bahasa lain selain bahasa Arab seperti bahasa PersiaTurki, dan India. Eric Clapton mendapatkan buku roman tersebut dari sahabat sufinya, Syaikh Abdul Qadir as-Sufi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top