Pengantar: Meski Korona telah menghentikan hampir semua aktivitas kita, tapi ia tak mampu mematikan kreativitas dan inovasi anak-anak muda dalam merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Semangat itulah yang dipegang oleh para relawan Komunitas Generasi Literat, satu komunitas yang didirikan oleh aktivis perempuan Milastri Muzakkar. Alih-alih terhalang Korona, Generasi Literat justru makin tertantang untuk membuat sesuatu yang lebih maju dan relevan dengan situasi terkini, dengan melahirkan kegiatan #MerayakanMerdekaDariRumah. Proyek ini mengajak anak muda dari berbagai daerah untuk menggali kembali dan menuliskan nilai-nilai persatuan dalam kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia, yang sangat penting untuk dipraktekkan di masa pandemi. Karena itu, mereka disebut “Guide (virtual) Indonesia”, yang mengajak para pembaca untuk berwisata ke berbagai daerah, menggali, dan menemukan nilai-nilai persatuan di setiap daerah itu. Generasi Literat memilih cara ini untuk merayakan merdeka dari rumah sebab kegiatan ini memiliki dua kekuatan: anak muda dan kearifan lokal. Keduanya adalah modal besar yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan maju. Untuk itu, mulai Minggu, 16 Agustus 2020 hingga sepuluh hari ke depan, alif.id akan memuat karya para Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat. Dirgahayu Republik Indonesia. Salam literasi.
Di balik kemolekan alam pulau Lombok yang sohor, tersimpan eksotisme kebudayaan lokal suku Sasak Lombok yang beraneka macam. Satu di antaranya tradisi merariq yang sampai kini masih membudaya dan menjadi perdebatan.
Sebagian kalangan memandang tradisi merariq harus tetap dilestarikan sebagai suatu kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai luhur pancasila. Sebagian lain justru menganggap tradisi merariq merupakan warisan kaum penjajah yang syarat nuansa subordinasi dan diskriminasi gender.
Sebelum mengulas perdebatan tersebut, terlebih dahulu perlu dipahami apa dan bagaimana praktik merariq yang sesungguhnya. Sebab, berdasar penelusuran saya—yang notabene orang Sasak tulen- ternyata terdapat segelintir pihak yang mempersepsikan keliru mengenai tradisi ini.
Bahkan, saya pernah mendapati unggahan di Instagram yang menerjemahkannya secara cukup menyesatkan. Entahlah, barangkali itu terjadi karena mereka hanya melakukan riset dari belakang meja; alih-alih turun gunung mencari tahu seluk beluk merariq yang sebenarnya.
Sederhananya, merariq jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia semakna dengan menikah. Istilah lainnya adalah melai’ (melarikan) dari kata dasar pelai (lari), karena memang tradisi menikah ini diawali dengan aksi heroik si calon mempelai pria yang melarikan (membawa lari) calon mempelai wanitanya. Perihal ini sekaligus merepresentasikan keperkasaan calon mempelai pria dalam membebaskan wanitanya dari lindungan orang tua dan keluarganya.
Namun demikian, merariq tidak dapat dipahami sesederhana aksi “menculik” anak gadis orang semata. Karena pada dasarnya merariq adalah sebuah konsep perkawinan adat yang sakral dengan beberapa tahapan prosesi penyertanya.
Tahapan prosesi merariq bagi tiap-tiap tempat di Lombok bisa jadi tidak seragam, baik penyebutan maupun praktik pelaksanaannya. Namun secara umum, tahapan-tahapan tradisi merariq dimulai dari prosesi mbait atau melai’ang, mangan merangkat, pesejati atau mesejati, selabar, bait wali dan penobatan (akad nikah), angkat janji atau bait janji, begawe, sorong serah aji krame, nyongkolan, hingga tahapan pemungkas, yaitu bejango atau bales naen.
Kesepuluh prosesi merariq ini berkait-kelindan satu dan lainnya, serta menjadi bagian integral tak terpisahkan dari kesakralan tradisinya. Sekurang-kurangnya sakralitas merariq terlihat dari mewujudnya nilai-nilai luhur Pancasila pada setiap prosesi yang telah disebutkan tadi.
Berawal saat calon mempelai pria membawa lari sang kekasihnya itu disebut prosesi mbait atau melai’ang. Dalam menjalankan prosesi ini, bujang Sasak tidak diperkenankan sendirian, tetapi diharuskan mengajak beberapa rekannya guna menghindari fitnah antara dirinya dan kekasihnya itu. Ihwal ini jelas menunjukkan nilai kesopanan, humanisme, dan ketaatan terhadap norma-norma sosial sebagai cercahan dari penghayatan sila kedua Pancasila.
Mangan merangkat merupakan seremoni makan bersama yang dipersiapkan secara gotong-royong oleh setiap lapisan masyarakat dalam rangka menyambut kedatangan sang calon pengantin. Ini sebagai prosesi selanjutnya setelah terune (pemuda) tadi berhasil mbait/melai’ang dan memboyong dedare (gadis) yang hendak ia persunting itu ke rumahnya.
Lumrahnya setibanya di rumah, warga masyarakatnya akan berduyun-duyun datang mengucapkan selamat sembari mereka membawa bahan-bahan untuk dibuat mangan merangkat. Budaya yang sudah kian jarang dijumpai di tengah-tengah masyarakat Sasak Lombok ini, antara lain memuat nilai gotong-royong dan integritas antar-sesama. Terang sekali sikap ini menjadi cerminan dari sila kedua dan ketiga pancasila.
“Mesejati” hingga “Sorong Serah Aji Krame”
Lalu, tahapan selanjutnya disebut dengan pesejati atau mesejati, yaitu prosesi ketika perwakilan keluarga calon mempelai laki-laki bertandang ke rumah orang tua calon mempelai perempuan. Tujuannya untuk memberitahukan ihwal anak gadisnya yang telah dibawa lari dan hendak dinikahi secara sah menurut aturan agama juga hukum negara.
Maka itu, prosesi mesejati bolehlah dipandang sebagai sepenggal refleksi sila pertama yang menjunjung tinggi prinsip ketakwaan dan kepatuhan pada Tuhan. Selain itu, pesejati juga menggambarkan nilai kesopanan yang tersimpan dalam sila kedua Pancasila. Itu terpotret dari tata krama yang berlaku dan diperagakan oleh kedua belah pihak selama rangkaian prosesi ini.
Selain itu, pesejati menggambarkan sila keempat pancasila, karena melaui mesejati atau pesejati inilah kedua keluarga mempelai bermusyawarah. Termasuk, mereka memusyawarahkan tentang penentuan kapan akan dihelatnya selabar sebagai tahapan prosesi adat berikutnya, manakala orang tua si perempuan telah menyetujui anak gadisnya untuk dipersunting.
Pada dasarnya pelaksanaan mesejati dan selabar tidaklah jauh berbeda. Sama-sama mewujud pertemuan antar kedua pihak keluarga calon pengantin berdasarkan tata cara dan krama tertentu, yang merefleksikan nilai kesopanan dari sila kedua dan prinsip permusyawaratan dalam sila keempat.
Bedanya, dalam selabar topik pembicaraannya lebih mengerucut kepada pembahasan mengenai besaran mahar, tanggal berlangsungnya akad nikah, dan pembayaran pisuke. Istilah yang tersebut terakhir ini mudahnya dipahami sebagai seserahan di luar maskawin yang itu harus diberikan oleh pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si perempuan, entah itu berupa uang ataupun benda.
Spesifikasi pisuke ditentukan sesuai permintaan pihak keluarga si perempuan dan wajib dibayarkan sebelum akad nikah. Karena itu, tak jarang pembayaran pisuke ini menjadi pemicu tertunda, bahkan gagalnya akad nikah.
Nah, guna menghindari kekisruhan di antara kedua belah keluarga dan menjamin tercapainya kesepakatan yang adil dan saling menguntungkan dalam penentuan besaran mahar dan pisuke, maka peran mediasi Kadus atau Kepala Lingkungan (Keliang) dalam hal ini menjadi cukup krusial. Dengan demikian, sila kelima Pancasila pun terpancar jelas dalam prosesi selabar ini.
Setelah pembahasan dalam prosesi selabar mencapai mufakat, prosesi berikutnya adalah bait wali dan akad nikah. Adapun bait wali berarti menjemput wali nikahnya mempelai wanita menuju tempat prosesi akad nikah atau penobatan yang lazim dilakukan menurut syariat Islam.
Masing-masing dari prosesi akad nikah dan bait wali merupakan pengejawantahan dari sila pertama dan sila kedua Pancasila. Sebab, akad nikah berkaitan dengan pengamalan terhadap salah satu ajaran agama, sedang bait wali mengekspresikan penghormatan kepada wali nikah si mempelai perempuan.
Tahapan berikutnya ialah angkat janji atau bait janji, untuk menyepakati hari pelaksanaan ritual sorong serah aji krame dan penyongkolan (nyongkolan), beserta total biaya dan persiapan teknis terkait dengan kedua upacara adat tersebut. Prinsip musyawarah menuju mufakat sebagai spirit sila keempat, juga asas keadilan bagi kedua keluarga mempelai sebagai amanat dari sila kelima, tercakup dalam angkat janji atau bait janji.
Lain lagi begawe, semacam acara syukuran sekaligus perayaan atas momen bahagia pernikahan. Di dalamnya diisi dengan ritual keagamaan Islam, seperti pembacaan zikir dan doa bersama. Di samping itu, begawe dilakukan dengan mengundang kerabat dan handai tolan mempelai laki-laki dan perempuan selaku epen gawe (yang punya acara begawe).
Sementara itu, tetangga dan masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggalnya (disebut banjar) yang membantu persiapan begawe. Ringkasnya, di dalam acara begawe ini tercermin keseluruhan nilai-nilai luhur dari kelima sila Pancasila, selain sila yang keempat.
Adapun urutan merariq yang kedelapan adalah sorong serah aji krame. Sorong berarti dorongan, serah berarti penyerahan, aji berarti tingkat strata sosial, dan krame itu aturan. Jadi, yang dimaksud dengan sorong serah aji krame adalah prosesi serah terima tanggung jawab dari orang tua kepada anaknya untuk membina kehidupan baru berumah tangga, sehingga kedua mempelai mampu berdikari dari orang tua dan keluarga mereka masing-masing.
Upacara sorong serah aji krame ini mengandung nilai ketuhanan pada sila pertama Pancasila. Hal itu terpapar dalam lantunan tembang sorong serah aji krame yang berisikan pujian-pujian kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, selain juga pemanjatan doa bagi kedua pengantin. Selebihnya, dari tata cara pelaksanaannya dan norma-norma yang berlaku dalam upacara ini tertahbiskan keluhuran Pancasila sila kedua.
Tradisi Penyerta Merariq
Selain rangkaian upacara di atas, ada ritual penyerta merariq yang dinamakan nyongkolan atau penyongkolan. Ritualnya berbentuk arak-arakan kedua pengantin dengan disertai iring-iringan para kerabat beserta banjar (warga masyarakat) pengantin laki-laki, dan kelompok penabuh musik tradisional, entah itu kecimol, gendang beleq, ataupun rebana.
Alasan digelarnya nyongkolan di antaranya agar khalayak masyarakat mengetahui pernikahan yang dimaksud, sehingga tidak akan mengundang fitnah di masa yang akan datang. Perwujudan sila pertama Pancasila tampak di sini, pun klop dengan anjuran Rasulullah saw. untuk menyiarkan pernikahan.
Cerminan sila kedua tampak dari animo kerabat dan banjar ikut serta dalam nyongkolan. Apalagi, siapapun boleh ikut nyongkolan tanpa ada batasan dan kriteria khusus yang bersifat diskriminatif. Ini sekaligus sebagai refleksi atas sila terakhir Pancasila.
Bejango
Tahapan panjang merariq ditutup dengan bejango atau sebutan lainnya, bales naen, balas ones nae, atau napak tilas. Bejango adalah tahapan ketika mempelai laki-laki bersama istri dan rombongan keluarga besarnya berkunjung ke rumah mertuanya. Ini pada biasanya dilakukan selang sehari atau beberapa hari selepas akad nikah dan nyongkolan, dengan membawa hadiah berupa aneka panganan khas Sasak dan lain sebagainya.
Sebetulnya spiritnya sama dengan upacara begawe dan nyongkolan, yaitu demi lebih mempererat jalinan silaturahim antara kedua keluarga mempelai. Dalam pada itu, ajang bejango menegaskan penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama dan ketiga.
Objektifikasi Perempuan
Memang penjelasan tentang nilai-nilai adiluhung Pancasila dalam tahapan-tahapan merariq ini tampak menabalkan tradisi itu sebagai budaya yang pancasilais. Namun, tak dapat dipungkiri pula, merariq di sisi lain juga menunjukkan objektifikasi perempuan sekaligus superioritas laki-laki atas perempuan.
Asumsi ini diperkuat dengan fakta sejarah yang menyebut budaya merariq bukanlah budaya asli suku Sasak Lombok. Tetapi, ia merupakan enkulturasi penjajah yang dahulu lama menguasai tanah Lombok.
Fakta sejarah mengenai hal ini telah dibuktikan dengan temuan para ahli, antara lain Clifford James Geertz dan mantan istrinya, Hildred Geertz, serta James Boon, seperti ditulis oleh John Ryan Bartholomew dalam Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak.
Kendati ada pula yang mengklaim merariq sebagai tradisi genuine leluhur suku Sasak Lombok, yang telah eksis jauh sebelum terjadinya kolonialisasi di pulau yang berbatasan dengan Bali ini.
Terlepas dari selisih sejarah mengenai asal muasal tradisi merariq, yang jelas tradisi ini menyisakan dampak negatif terhadap peri kehidupan masyarakat Sasak Lombok, khususnya bagi kaum perempuan. Selain pasifnya peran perempuan, tindakan komersialisasi terhadap mereka terpapar jelas di sepanjang prosesi merariq.
Satu contoh, proses tawar-menawar pisuke dalam prosesi selabar—sebagaimana telah saya singgung sedikit pada bagian sebelumnya. Jelas sekali perempuan laiknya barang komoditi, karena semakin tinggi strata pendidikan atau status sosialnya, maka semakin tinggi pula harga tawar pisuke-nya.
Sementara itu, Muslihun Muslim dalam bukunya, Tradisi Merariq: Analisis Hukum Islam dan Gender terhadap Adat Perkawinan Sasak, menuliskan sembilan bentuk superioritas suami atas isterinya sebagai dampak dari tradisi merariq. Satu di antaranya adalah tingginya angka kawin-cerai di Lombok.
Pro-kontra menyangkut budaya merariq ini kelihatannya akan terus berlangsung dinamis. Begitu pula dengan masyarakat Sasak Lombok yang juga tetap terpolarisasi secara diametral.
Kalangan masyarakat yang pro akan bersikukuh melestarikannya, sementara kubu yang kontra akan konsisten menghapusnya, atau paling tidak memodifikasi ulang tradisi ini sehingga lebih humanis dan tanpa nuansa diskriminasi gender.
Saya, dalam konteks ini berprinsip, al-muhafazhotu bil-qodimish sholih wal akhdzu bil-jadidil ashlah (melestarikan tradisi lama “yang baik”, dan bersikap terbuka terhadap tradisi baru yang “lebih baik”). (SI)
Wallahu a’lam bish shawab.