Menjaga kiblat pertama orang Islam, merebut kembali Masjidil Aqsa. Kira-kira begitu kalimat yang tertulis di baliho besar, di daerah Cawang, Jakarta Timur. Baliho itu dipasang tinggi-tinggi dengan niat menggalang solidaritas orang Indonesia untuk Palestina.
Jika kita melintas jalan tol ke arah Priok, entah dari Bogor atau dari Bekasi, maka di sisi kiri jalan kita akan melihat baliho yang dipasang sebuah lembaga kemanusiaan yang memungut dana publik itu.
Tiba-tiba saja saya ingat satu hadis. “Anda dilarang berhasrat atau ngoyo ingin melakukan perjalanan, kecuali di tiga masjid. Masjidil Aqsa, Masjidil Haram, dan masjid saya.” Itu hadis Nabi. Nabi yang mengatakan itu, sehingga maksud “Masjid saya” adalah masjid Nabawi.
Oleh karena saya ingat hadis penting tersebut, yang mungkin saya baca sekitar tahun 1998, saya suka sekali membaca baliho tersebut. Tidak main-main, baliho dapat memunculkan ingatan yang begitu lama.
Namun di sisi lain, baliho tersebut juga memunculkan pertanyaan, “Apakah kita membela Palestina semata-mata karena masjid suci al-Aqsa?”
Pertanyaan itu saya ajukan karena saya menilai bahwa pembelaan semacam itu hanya menciutkan visi keislaman yang sudah sedemikian jembar, maju, beradab seperti yang telah diperjuangkan Nabi Muhammad sepanjang hayatnya.
Kita ketahui bersama bahwa tugas Muhammad sebagai Rasulullah adalah menebar rahmat bagi semesta alam, wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘almin.
Muhammad tidak hanya membawa misi ketauhidan, tapi juga kemanusiaan, karena memang ketauhidan dan kemanusiaan tidak dapat dipisahkan. Sejarah Arab sebelum kenabian misalnya, kita tahu, begitu menghina perempuan.
Bayi perempuan dinistakan, bahkan dikubur hidup-hidup. Perempuan dewasa dikumpulkan, dikawin secara bersama-sama tanpa norma apapun. Tidak hanya itu, perempuan dapat diwariskan, sebagaimana bejana. Budak-budak perempuan dapat dijadikan tempat untuk melampiaskan hawa nafsu. Nabi Agung Muhammad Melawan kebiadaban dan ketidakperadaban itu. Sang Nabi sangat sukses menata pola hubungan laki-laki dan perempuan.
Nabi Muhammad, dengan kasih sayang, juga menata masyarakat dengan nilai-nilai yang lebih beradab dan adil, dari sebelumnya penuh penindasan, kotor, dan kafir, oleh karena disebut Jahiliyah. Semasa Nabi, tidak boleh di Arab ada penindasan, saling memangsa antar sesama. Perbedaan-perbedaan dihormati. Suku yang kuat, diatur oleh Nabi untuk melindungi suku yang lemah.
Itu contoh kecil saja bahwa agenda Islam begitu luas. Bahkan 15 tahun sebelum masa kenabian, Muhammad sudah dijuluki “al-Amin”, yang terpercaya. Ini semacam “nobel pedamaian” yang bukan main-main, ini menyangkut reputasi sosial, bukan bagi-bagi gelar atau kehormatan karena ada agenda terselubung. Oleh sebab itu, Nabi begitu mantap, percaya diri dalam menjalankan misi kenabiannya. Beliau misalnya, tidak ngambek bila ada satu dua orang yang keluar lagi dari Islam, meninggalkan keyakinan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasulullah” (murtad).
“Masih banyak hal yang lebih penting dari sekedar ngurusi orang murtad,” kira-kira seperti itu dalam bahasa kita. Ya, Muhammad tidak ngambek atas sikap para pecundang, bahkan murtad sekalipun dibebaskan, kecuali secara politik mencederai dan melawan.
Sikap seperti Nabi juga saya tangkap begitu kuat ada pada Muhammadiyah atau NU. Mereka menjadi Muhammadiyah atau NU tidak semata-mata tugas keislaman ataupun berhenti pada kemuhammadiyahan ataupun kenuan saja.
Ambil contoh Buya Ahmad Syafii Maarif di Muhammadiyah atau Kiai Ahmad Mustofa Bisri di NU. Kedua tokoh ini terus bekerja. Buya Syafii yang sudah 82 tahun dan Gus Mus 73 tahun tidak berdiam diri di rumah menikmati hari tua.
Keduanya rela pergi jauh ratusan kilometer demi satu hal yang sangat pokok dalam hidup ini. Apa itu?
Tiada lain untuk kepentingan dan kemaslahatan yang lebih luas, bukan saja kepentingan NU dan Muhammadiyah, wong keduanya sudah tidak tertulis sebagai pimpinan ormas. Dan memang, NU serta Muhammadiyah juga punya visi luas, tidak tersekat batas, ada visi kebangsaan, ada visi misi rahmatan lil alamin di kedua ormas Islam terbesar ini.
Begitu juga ketika kita bersolidaritas, misi keislamaan harus dijalankan secara utuh. Dalam contoh mendukung Palestina, ya bukan saja tujuan kita masjid suci Al-Aqsa. Naif sekali jika kita hanya tempat secuil itu. Bukan sedang mengecilkan makna Al-Aqsa, tapi jika niat kita adalah kemerdekaan negerinya, Palestinanya, maka banyak kepentingannya lebih luas lagi, bukan saja ukhuwah islamiyah (persaudaraan keislaman), tapi ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Kalau tanah air Palestina merdeka dengan sepenuhnya, ya akan ikut merdeka pula masjidnya, merdeka pula manusianya, yang bukan hanya Islam, tapi penganut agama lain juga.
Kita sebagai muslim harus meluaskan pandangan, memperbanyak spektrum, agar rahmat Islam menjangkau banyak kepentingan, lintas agama, lintas ras, lintas politik, lintas bangsa, dan seterusnya.
Saya tidak tahu bagaimana latar belakang isi baliho seperti saya gambarkan di awal tulisan ini. Ajakan solidaritas yang sempit seperti itu jelas berlainan dengan spirit Islam, dengan elan vital kenabian, dengan perjuangan Muhammad sang nabi agung. Ingat, simbol Islam tidak hanya masjid, tapi juga manusia dan tanah airnya.