Saya masih ingat betul nasihat ibu ketika dilepas untuk kuliah ke luar kota: selalu berpikir kritis, dan jangan mengikuti organisasi yang terlalu tertutup dalam pengkaderan anggota. Awalnya, saya tak terlalu ingin tahu mengapa ibu saya berpesan seperti itu. Saya pikir, itu hanya bagian dari kekhawatiran orangtua pada anaknya. Hingga suatu hari, sembari ditemani hangatnya teh manis, ibu berbagi kisah tentang apa yang dialami oleh adik kandung koleganya di kantor.
Sama seperti pegawai laki-laki lainnya, Nono begitu ia akrab dipanggil, menjalani hari-hari dengan bekerja dari Senin sampai Jumat dalam seminggu. Ayah dua anak ini sesekali mengikuti kegiatan pengajian yang tak jauh dari rumahnya di pinggiran kota di Provinsi Jawa Timur. Namun kehidupannya mulai berubah ketika ia berjumpa seorang aktivis organisasi radikal yang mencecarnya dengan berbagai pernyataan mengenai jati dirinya, “apakah Anda yakin sudah menjadi muslim sejati?”
Ditanya seperti itu, Nono mengiyakan dengan gamang. Keraguannya ternyata segera ditangkap, dan ditimpali dengan berbagai dalil asal kutip oleh si aktivis. Katanya, seorang muslim sejati tidak hanya bisa dinilai dari identitas islam yang tertulis di KTP. Memeluk dan memperjuangkan Islam tidak bisa dilakukan dengan merealisasikan rukun iman serta islam semata. Itu baru dasar, dan sangat sepele. Jihad memerangi orang yang tak menyetujui hukum Allah lah yang paling utama. Melalui diskusi yang intens, Nono pun segera terbius untuk melanjutkan obrolan dengan laki-laki berpenampilan rapi tersebut. Tanpa menaruh curiga, mereka pun bertukar kontak dan berjanji akan berjumpa lagi di lain hari.
Perjumpaan kedua mereka dimanfaatkan dengan baik oleh si aktivis radikal. Ia mengajak Nono membuka Al Quran dan menjejali pertanyaan yang membuat Nono kembali ragu akan apa yang diperbuatnya selama ini. Gaya bicaranya yang terstruktur dan meyakinkan bak menghipnotis Nono untuk mendobrak ajaran yang ia yakini. Dulu, ia berpikir bahwa ia telah beribadah dengan baik layaknya muslim lainnya. Tapi, sejak pertemuan itu, ia justru merasa bahwa dirinya bergelimang dosa dan belum memberikan yang terbaik bagi agamanya.
Tanpa pernah diberikan ruang untuk bertanya, Nono hanya mengangguk-angguk setuju atas apa yang ia dengar. Melihat Nono yang dapat diyakinkan dengan mudah, si aktivis kembali meracuninya dengan konsep jihad yang salah kaprah. Dengan mengutip ayat secara serampangan dari At Taubah ayat 5: “… maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kamu jumpai mereka…” dan surat Al Anfal ayat 60:
وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْۚ لَا تَعْلَمُوْنَهُمْۚ اَللّٰهُ يَعْلَمُهُمْۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).”
Si aktivis tadi terus menerus meyakinkan bahwa mayoritas muslim di Indonesia sejatinya berada di jalan yang sesat karena terlalu sering mengabaikan pesan-pesan jihad dalam Al Quran. Namun, lanjutnya, ia menganjurkan agar Nono tak perlu khawatir. Ia menilai bahwa Nono masih bisa bertaubat dan kembali ke jalan yang lebih diridhoiNya. Diliputi rasa bersalah, Nono pun bertanya apa yang bisa ia lakukan untuk mengganti kekeliruannya dalam menjalankan nilai-nilai Islam. Melihat umpannya termakan dengan efektif, aktivis gerakan radikal tersebut kembali mengajak Nono untuk semakin intens mempelajari Islam dengan benar. Tak lagi berjumpa di tempat umum, dalam pertemuan selanjutnya Nono diajak ngaji di rumah aktivis yang jauh dari keramaian. Perlahan-lahan, ia diyakinkan bahwa menegakkan hukum Islam tidaklah semudah membalikkan tangan, perlu banyak tenaga dan biaya. Sebagai langkah awal, Nono dilihat bisa berkontribusi lebih di bidang finansial. Untuk tenaga, kata si aktivis, ia tak perlu risau, itu nanti bisa menyesuaikan.
Tanpa banyak bertanya, Nono langsung menyanggupi. Ia berpikir bahwa ia telah memilih jalan surga dengan mendonasikan pendapatannya. Bahkan, jika sewaktu-waktu si aktivis mendadak perlu uang, tanpa ba-bi-bu, Nono akan langsung mentransfer uang gajinya. Pernah, sang istri menanyakan kemana uang tunjangannya yang berkurang drastis semenjak Nono ‘berhijrah’, Nono sontak menceramahi istrinya. Ia menuduh istrinya belum mengenal agama dengan baik. Ia lalu berujar panjang lebar bahwa keluarga mereka perlu lebih berdedikasi untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Tak berani melawan suaminya, istri Nono hanya diam seribu bahasa. Meski berat, ia tak ingin rumah tangganya berkonflik hebat. Tapi, semakin hari jumlah donasi yang diminta oleh organisasi radikal tadi semakin meningkat. Bahkan Nono tak ragu untuk menjual perabot rumah mereka yang kemudian memunculkan kecurigaan orangtua Nono.
Dicurigai oleh orangtuanya, bukannya sadar bahwa ia telah diperalat, Nono justru beradu mulut dan menuduh ibunya sesat. Ia pun memutus komunikasi dan berikar bahwa ia berharap ibunya segera bertaubat serta mengikuti jejaknya.
Keras kepala Nono ternyata berbuah pahit. Usai memutuskan tali silaturahim dengan keluarga dan tak lagi bekerja karena menganggap bahwa status gajinya haram, ia dan sekeluarganya bertahan hidup dengan menggandaikan apa yang mereka miliki di rumah. Hingga di satu titik, ia tak lagi punya apa-apa untuk dijual, sedangkan keluarganya perlu uang untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di kondisi terpojok itulah, sang istri akhirnya mampu menyadarkan Nono bahwa apa yang ia yakini adalah ajaran sesat. Alih-alih memberikan keberkahan, ia justru menyengsarakan keluarga dan bahkan menjadi anak durhaka. Sembari terisak menyesal karena mereka tak lagi punya apa-apa, Nono memandangi rumah mereka yang kini jauh lebih lengang. Disentakkan oleh kenyataan, Nono tak habis pikir bahwa keputusannya berbuah bencana. Amarahnya pada negara yang ia anggap thaghut, termasuk pada ibunya yang tak setuju terhadapnya hanya menyisakan derita. Kondisinya ibarat nasihat dari Ali bin Abi Thalib, “kemarahan dimulai dengan kegilaan, dan berakhir dengan penyesalan.”