Kota Hamedan memang kaya dengan situs-situs sejarah dari mulai Persia kuno, Alexander Agung, sampai masa Islam. Begitu juga dengan keragaman etnis dan agama, di kota ini hidup orang Yahudi dan Kristen Armenia yang berdampingan dengan mayoritas Persia Islam. Kota yang berada di kaki gunung Alvand ini tak hanya indah dengan pemandangan kotanya, tetapi juga keberagamannya.
Hari ini, saya menyerahkan nasib kepada Agha Husaini, lelaki paruh baya yang menawarkan diri untuk menjadi guide dadakan saya dengan ikhlas. Oleh karenanya, saya hanya menganggukkan kepala tanpa protes tatkala beliau hendak mengajak saya ke ganjnameh, sebuah prasasti kuno yang sudah berumur ratusan tahun sebelum Masehi. Jarak dari kota cukup dekat yakni sekitar 5 km ke Ganjnameh yang terletak di atas bukit.
Kami pun berangkat dengan menyewa sebuah taksi yang sedang berhenti di pinggir jalan. Perjalanan yang ditempuh tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu kurang dari 20 menit. Mobil berjalan dengan sangat hati-hati karena kita melewati tanjakan yang di pinggirnya jurang terlihat jelas menganga. Kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal walaupun di sisi jalan terpasang pagar pengaman.
Saya melihat banyak orang sudah berkumpul di dekat tebing batu yang tidak terlalu tinggi. Daun-daun di pohon sedang terlahir kembali setelah hibernasi di musim dingin. Salju di lereng nampak sedang mencair terkena sinar mentari di musim semi. Oleh karenanya, jalanan menjadi sedikit basah walaupun hujan tidak turun. Salju yang mencair menyajikan pemandangan yang indah karena tak jauh dari sana saya melihat pemandangan langka dengan hadirnya obshor atau air terjun.
Air terjun yang saya saksikan benar-benar berbeda dengan di Indonesia. Jika di Indonesia, air terjun biasanya berada di hutan yang dipenuhi oleh tumbuhan dengan dominasi warna hijau, maka air terjun di sini dikelilingi oleh batu-batuan dengan posisi pohon yang jarang. Pemandangan itu terlihat seperti oase di tengah daerah yang kering.
Ketika saya sedang menikmati keindahan air terjun, Agha Husaini menepuk pundak saya dan menunjukkan jarinya ke sebuah tebing batu yang sudah dipenuhi banyak orang. “Itu adalah tempat dimana Ganjnameh berada,” beliau menimpali.
Didampingi Agha Husaini, saya berjalan menuju situs bersejarah yang sudah terlihat samar-samar. Jalan yang basah dan aroma jajanan kaki lima turut mengiringi langkah kami berdua. Sampai akhirnya kami tiba tepat di bawah tebing batu yang tulisan kuno di dindingnya terlihat dengan jelas. “Inilah Ganjnameh,” beliau berbisik.
Ganjnameh merupakan dua prasasti di dinding batu yang ditulis dalam tiga bahasa yaitu Persia kuno, Elamite, dan Babilonia atau Akkadia. Prasasti pertama sebelah kiri paling atas ditulis atas perintah raja Darius Agung, sedangkan satunya dibuat atas titah raja Xerxes, putra Darius. Keduanya bertanggal sekitar 5 abad SM. Mereka berdua memimpin kerajaan yang dikenal dengan Achaemenian. Prasasti tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dan Inggris yang ditulis tak jauh dari ganjnameh. Bunyi prasasti yang dibuat oleh Xerxes adalah sebagai berikut:
Tuhan yang Maha Agung adalah Ahura Mazda, Keagungannya di atas Tuhan-Tuhan lain, Ia yang menciptakan bumi, langit, dan manusia, yang menjadikan Xerxes raja, seorang raja yang luar biasa; Saya raja Xerxes yang agung, raja dari semua raja, raja dari negeri-negeri dengan banyak penduduk, raja dari kerajaan besar dengan kekuasaan yang luas, anak dari Darius, penguasa Achaemenian.
Prasasti ini dikaji pertama kali oleh arkeolog Prancis yang bernama Eugene Flandin yang ditemani oleh Pascal Coste pada tahun 1840. Berdasarkan penjelasannnya, prasasti tersebut menjadi penanda bagi pejalan kaki pada masa itu bahwa wilayah ini termasuk ke dalam kekuasaan Achaemenian. Kawasan ini dulunya adalah jalur kuno yang menghubungkan Hamedan sebagai ibukota musim panas Achaemenian dengan kerajaan Babylonia di Mesopotamia atau Irak sekarang.
Raja perlu menulis prasasti ini untuk menunjukkan eksistensi dan mengukuhkan kekuasaannya. Nama Ahura Mazda sebagai Tuhan memberitahu kita bahwa mereka menganut Zoroaster, agama nenek moyang bangsa Persia.
Hari sudah beranjak sore. Kami harus segera turun ke bawah sebelum petang tiba. Hujan rintik-rintik di musim semi mengiringi perpisahan kami dengan ganjnameh. Ganjnameh memberikan pelajaran kepada saya bahwa tulisan adalah warisan abadi yang dapat dinikmati oleh generasi setelah kita.
Darius dan Xerxes raganya sudah meninggalkan dunia sejak sebelum agama Islam dan Kristen lahir, tetapi jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri hingga saat ini. Kebesarannya masih diingat oleh rakyat Persia karena mereka meninggalkan warisan dalam bentuk tulisan.