Sedang Membaca
Nota Agraria Karya Ari Sumitro: Kritik Sosial dalam Balutan Estetika dan Filosofi
Eko Yudi Prasetyo
Penulis Kolom

Penikmat sastra, pemuja keindahan.

Nota Agraria Karya Ari Sumitro: Kritik Sosial dalam Balutan Estetika dan Filosofi

Nota Agraria Karya Ari Sumitro: Kritik Sosial dalam Balutan Estetika dan Filosofi

Jakarta, 22 Desember 2024 – Gedung Stovia, Jakarta Pusat, menjadi saksi malam terakhir pertunjukan teater eksperimental bertajuk Nota Agraria. Karya ini diciptakan oleh Ari Sumitro, seorang aktor sekaligus konseptor dari Lab Teater Ciputat (LTC), sebagai bagian dari program Un-Loading hasil kolaborasi LTC dengan Museum Kebangkitan Nasional (Muskitnas). Dengan pendekatan unik berupa lecture performance yang dikombinasikan dengan elemen wayang beber, Nota Agraria mengupas tuntas persoalan mendalam tentang tanah, manusia, dan kekuasaan. Pertunjukan ini tidak hanya menawarkan pengalaman artistik yang segar, tetapi juga menyampaikan kritik sosial yang relevan dengan isu-isu terkini di Indonesia, terutama soal agraria dan monopoli tanah.

Narasi Filosofis yang Menggugah

Nota Agraria memulai kisahnya dengan adegan keseharian manusia urban. Bunyi token listrik habis, suara alarm yang membangunkan, dan rutinitas tak berujung menggambarkan bagaimana kebutuhan ekonomi terus menggerus manusia modern. Sang aktor kemudian berganti peran menjadi dalang, memulai perjalanan filosofis tentang sejarah manusia sejak teori big bang hingga evolusi spesies homo sapiens, sebelum membawa penonton pada inti persoalan: konflik agraria.

Dalam narasinya, Ari Sumitro menguraikan sejarah penguasaan tanah dari masa prasejarah hingga era modern, menyinggung praktik monopoli, eksploitasi, dan kebijakan-kebijakan rezim yang sering kali lebih menguntungkan segelintir elit daripada masyarakat luas. Kritik ini disampaikan melalui adegan-adegan simbolis yang menghantui, seperti aktor utama yang berulang kali ditampar oleh dua aktor pendukung setiap kali menyuarakan kritik.

Pendekatan filsafat dalam Nota Agraria mengingatkan pada pandangan Michel Foucault, yang menulis bahwa “kekuasaan selalu bersifat represif, tetapi sekaligus produktif.” Dalam konteks pertunjukan ini, kekuasaan tidak hanya menciptakan ketimpangan tetapi juga membungkam perlawanan. Adegan akhir yang memperlihatkan mulut aktor dibungkam dengan lakban dan wajahnya ditutupi plastik perak menyampaikan pesan tajam tentang kebebasan bersuara yang kerap terancam oleh sistem yang mempertahankan status quo.

Baca juga:  Dangdut dan Lagu Arab: Fenomena Syiiran dan Latar Musik di Media Sosial

Salah satu kekuatan utama dari Nota Agraria adalah keberaniannya menggabungkan unsur tradisional dan teknologi modern. Penggunaan dua layar—satu untuk video mapping dan satu lagi berlapis plastik perak—menciptakan ilusi visual yang dinamis. Adegan di mana miniatur petani menggergaji kakinya sendiri menjadi simbol visual atas waktu yang menghantui, menggambarkan pengorbanan manusia kecil dalam pertarungan agraria yang tiada akhir.

Musik dalam pertunjukan ini juga memegang peran sentral. Gabungan elemen Plantasiamodular synthesis, dan bunyi etnik gamelan menciptakan suasana surrealistik yang memperdalam pengalaman emosional penonton. Simbol-simbol sederhana, seperti kipas angin yang dirakit menjadi simbol waktu, kain putih yang meneteskan cairan merah, dan elemen hitam-putih pada kostum serta properti, memperkuat pesan moral dan filosofis pertunjukan.

Penggunaan teknologi modern seperti narasi berbasis AI menambahkan dimensi futuristik sekaligus relevansi pada dunia yang semakin dikendalikan oleh sistem. Elemen ini mengundang refleksi bahwa meskipun manusia terus maju secara teknologi, persoalan agraria tetap menjadi masalah yang belum terselesaikan.

Dalam konteks Indonesia saat ini, Nota Agraria menjadi panggung untuk merenungkan kembali persoalan agraria yang terus menjadi momok. Dari praktik juragan tanah di pedesaan hingga kebijakan investor asing yang leluasa mengeksploitasi sumber daya, pertunjukan ini membuka mata penonton tentang betapa dalamnya persoalan tanah mengakar dalam kehidupan masyarakat.

Baca juga:  Mengulik Historiografi Hari Musik Nasional (2): Negara Belum Sepenuhnya Hadir

Persoalan agraria tidak hanya menjadi isu nasional tetapi juga bagian dari diskusi global. Karl Marx dalam teorinya tentang kapitalisme menyebutkan bahwa modal selalu berusaha menguasai alat produksi. Dalam kasus Indonesia, tanah adalah alat produksi yang menjadi rebutan antara pemodal besar dan rakyat kecil. Nota Agraria menunjukkan bahwa sejarah terus berulang, di mana mereka yang berada di bawah selalu menjadi korban eksploitasi oleh sistem yang dirancang untuk menguntungkan segelintir orang.

Isu ini juga berkaitan erat dengan konsep keberlanjutan (sustainability). Simbol balon yang meletus dalam pertunjukan ini menjadi pengingat akan krisis ekologi akibat perampasan lahan dan eksploitasi berlebihan. Pesan ini menyoroti pentingnya menjaga hubungan manusia dengan alam, khususnya tanah sebagai sumber kehidupan.

Dimensi Islam dalam Kritik Agraria

Perspektif filosofis dalam Nota Agraria juga dapat diperkaya dengan pandangan dari filsafat Islam. Dalam Islam, tanah dipandang sebagai amanah dari Allah yang harus dijaga dan dimanfaatkan secara adil. Ibnu Khaldun, seorang filsuf Islam terkenal, menulis bahwa ketimpangan dalam distribusi sumber daya, termasuk tanah, akan membawa kehancuran sebuah peradaban. Prinsip ini selaras dengan pesan moral Nota Agraria yang menyerukan keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah.

Konsep khalifah dalam Islam mengajarkan bahwa manusia adalah pemimpin di bumi yang bertanggung jawab untuk memelihara dan mengelola sumber daya alam dengan bijaksana. Pertunjukan ini seolah mengingatkan penonton untuk kembali kepada prinsip-prinsip tersebut dalam menghadapi tantangan agraria.

Baca juga:  “Taksu Ubud” Geliat Seniman dan Budayawan Ubud di Masa Pandemi

Lebih dari sekadar pertunjukan seni, Nota Agraria adalah undangan untuk merenungkan hubungan kita dengan tanah sebagai sumber kehidupan. Pertunjukan ini seakan bertanya kepada penonton: Apakah kita, sebagai individu maupun bangsa, mampu keluar dari siklus penguasaan dan eksploitasi yang telah berlangsung sejak zaman nenek moyang.

Heraclitus, filsuf Yunani kuno, pernah mengatakan, “Segalanya mengalir, tidak ada yang tetap.” Dalam konteks Nota Agraria, arus perubahan ini dihadirkan dalam narasi simbolis, namun dengan pertanyaan mendasar: Apakah kita benar-benar belajar dari sejarah, atau justru membiarkannya terus terulang tanpa perubahan berarti?

Apresiasi dan Harapan

Nota Agraria mendapat sambutan meriah dari penonton yang hadir. Keberanian Ari Sumitro dan Lab Teater Ciputat dalam mengangkat isu sensitif menunjukkan bahwa seni dapat menjadi medium yang ampuh untuk menyuarakan kritik sosial. Harapannya, karya seperti ini dapat menjadi pemantik diskusi yang lebih luas tentang agraria dan kebijakan tanah di Indonesia, sekaligus menginspirasi seniman lain untuk berani mengeksplorasi isu-isu penting bagi Masyarakat.

Seiring berakhirnya Nota Agraria, kita diingatkan kembali bahwa seni, seperti tanah, adalah milik semua orang. Dari tanah yang sama, kita semua berasal, dan keadilan terhadap tanah adalah keadilan bagi kehidupan itu sendiri. Dalam dunia yang semakin maju, Nota Agraria mengingatkan kita untuk tidak melupakan akar permasalahan yang telah membentuk sejarah panjang manusia: hubungan kita dengan tanah, kekuasaan, dan tanggung jawab moral terhadap keduanya.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top