Tharîqah al-Rifâ’iyah masuk ke Indonesia melalui Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Humaidi as-Syafi’i al-Idrusy al-Raniry pada tahun 1658 M/1055 H. Beliau lahir di Randir, yaitu sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat India. Pada tahun 1637-1644 M, beliau diangkat menjadi syaikh Islâm pada kerajaan Aceh, yaitu satu jabatan di bawah Sultan yang bertanggung jawab di dalam masalah-masalah agama.
al-Raniry menerima tharîqah tersebut dari seorang guru yang paling terkenal di Gujarat di Ibu kota India yaitu Abu Hafs Umar bin Abdullah Basyaiban al-Tarimi al-Handrami yang dikenal dengan sebutan Sayyid Umar Alaidrus, beliau mengangkat al-Raniry sebagai khalifahnya. sehingga al-Raniri bertanggungjawab menyebarkan Tharîqah ini di wilayah Melayu-Indonesia. Di Indonesia tharîqah al-Rifa`iyah terkenal dengan permainan Dabus dan tabuhan Rebana yang dikenal di Aceh dengan nama Rapa’i.
Salah satu ciri tharîqah al-Rifa`iyah ialah dzikir yang nyaring dan lantang. Jika para Darwis al-Rifa`iyah berdzikir, maka mereka berdzikir dengan suara yang sangat keras dan meruang-ruang. Karena itu, mereka dikenal dengan sebutan “Darwis yang meraung”. Kadang-kadang mereka disebut juga “Darwis yang menangis” kerena suara-suara ganjil yang mereka hasilkan ketika berdzikir.
Menurut Annemarie Schimmel (ahli barat tentang tashawwuf) dalam bukunya Mistical Dimension of Islâm, para Darwis tharîqah al-Rifa`iyah ini terkenal karena mampu mewujudkan kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti memakan ular yang hidup, menusuk-nusuk dan menikam tubuh dengan benda tajam tanpa terluka, bahkan sampai mencukil mata mereka keluar tanpa merasakan kesakitan dan tidak cacat. Namun semua itu, menurut Maulana Abdur Rahman Jami merupakan sesuatu yang tidak diketahui Syaikh dan rekan-rekanya yang shaleh. Menurut para Darwis tharîqah al-Rifa`iyah, mereka melakukan perbuatan itu untuk mencari perlindungan Tuhan dari godaan iblis, (Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, halaman: 221-223).