Sedang Membaca
Otoritas Kaum Sufi di Masa Dinasti Seljuk
Ulummudin
Penulis Kolom

Mahasiswa Studi al-Qur'an dan Hadis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Otoritas Kaum Sufi di Masa Dinasti Seljuk

Mhaendrasetyawan.blogspot.com

Dinasti Seljuk adalah salah satu dinasti emas era kekhalifahan Islam dimana dunia mistik Islam sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat khususnya di wilayah Khurasan Persia.

Banyak kaum mistik yang otoritasnya diakui saat itu di antaranya Abu Sa’id Abul Khair, Baba Tahir, dan Abu Hasan Kharaqani. Para raja Turki yang menguasai dinasti Seljuk memahami kondisi tersebut. 

Para penakluk Seljuk atas wilayah-wilayah Persia menyadari popularitas kaum mistikus dan menggunakannya untuk keuntungan politik semata. Sultan Tughril (berkuasa 1038-1063) sendiri dan sejumlah menterinya diberitakan telah menjadi pengikut beragam guru sufi. Para raja perang Seljuk telah menaruh penghormatan yang tinggi kepada para guru mistik ini. 

Para sultan Seljuk akan mencium tangan atau bahkan kaki para sufi di depan umum. Selain itu, mereka juga biasanya menyodorkan kedua tangannya yang dijadikan sebagai pijakan oleh guru sufi yang akan menaiki kuda. Dua tindakan tersebut menjadi  indikasi paling kuat yang menggambarkan kerendahan hati dan kepatuhan para sultan kepada guru sufi.  

Di abad 11 M, kaum mistikus mulai menanamkan peran lebih besar dalam rekonfigurasi politik kekuasaan. Setidaknya, ada empat kisah yang menggambarkan posisi guru sufi di hadapan para sultan.

Pertama, kisah pertemuan sultan Mahmud dengan Syekh Abu Hasan Kharaqani, seorang sufi dari Kharaqan dekat Bastham. Ketika menghadap Abu Hasan, sultan Mahmud berjalan dengan agak menunduk sebagai bentuk sebuah penghormatan. Ia berjalan seperti seorang bawahan yang akan menemui tuannya. 

Baca juga:  Mengenang KH A. Wachid Hasjim: Perjalanan Terakhir Menuju Sumedang, 18 April 1953

Kedua, kisah pertemuan sultan Tughril dengan Baba Tahir, Baba Ja’far, dan Hamsyad Kuhaki. Ketiganya merupakan guru sufi yang dihormati di masanya. Ketika mereka berpapasan di sebuah perjalanan, sultan Tughril dari dinasti Seljuk menghentikan rombongan kerajaannya. Kemudian, ia turun dari kuda, menghampiri mereka dan mencium tangan-tangan mereka. Tindakan tersebut diikuti oleh menteri yang menemaninya, Abu Nasr al-Kunduri. 

Ketiga, kisah antara sultan Tughril, Chaghri Beg, dan Syaikh Abu Sa’id Abul Khair. Sultan Tughril dan saudaranya, Chaghri Beg menemui Syaikh Abu Sa’id di Meyhana. Mereka datang ke khanaqah atau pondok sufi milik Abu Sa’id dan di hadapan seluruh orang yang berkumpul, mereka mencium tangan Abu Sa’id dan meminta berkah darinya. Lalu, Syaikh Abu Sa’id berkata kepada Chagri, “Kami memberimu wilayah Khurasan” dan berbicara kepada Tughril, “Kami memberimu kerajaan Irak.” 

Setelah mendapat restu dan memberikan penghormatan kepada guru sufi tersebut, kedua raja perang Turki itu pergi. Pertemuan tersebut terjadi sebelum mereka mempunyai kekuasaan yang besar di wilayah Khurasan. Terbukti, setelah pertemuan itu, mereka berhasil mengalahkan dinasti Ghaznawi yang berpusat di Ghazni Afghanistan. Mereka pun mengambil alih kekuasaan di wilayah Khurasan. 

Bukan hanya dinasti Ghaznawi, mereka juga mampu menguasai pemerintahan di Baghdad dan menjadikan khalifah layaknya boneka yang tidak mempunyai kekuasaan apapun selain formalitas belaka sebagai seorang khalifah. Apa yang dikatakan Syaikh Abu Sa’id pun terbukti. 

Baca juga:  Sisi Lain Pangeran Diponegoro

Keempat, kisah Abu Mansur Waraqani, seorang menteri sultan Tughril dengan Syaikh Abu Sa’id Abul Khair. Abu Sa’id berencana untuk mengunjungi sang menteri karena mendengar kesalehannya. Mendengar Syaikh Abu Sa’id sebentar lagi datang, dia tetap berdiri dan tidak mau duduk. Ketika diminta duduk, dia menjawab, “Tidaklah dibenarkan bagi seorang guru besar seperti dia untuk berjalan mengunjungi kita, sementara kita dalam keadaan duduk.” Setelah mereka bertemu, Abu Sa’id mengajarkan dia sebuah ayat untuk dibaca ketika berhadapan dengan sultan Tughril. 

Keempat kisah tersebut menggambarkan relasi yang terbangun antara kaum mistikus Persia dengan pembesar-pembesar kerajaan dari dinasti Seljuk. Kaum mistikus mempunyai kedudukan istimewa ketika berhadapan dengan kekuasaan politik. Otoritas mereka mampu mengubah kebijakan politik para raja. 

Pihak kerajaan menyadari bahwa mereka memerlukan dukungan dan legitimasi dari guru sufi karena mereka memiliki popularitas dan pengikut yang sangat banyak. Hubungan yang baik dengan kaum mistikus akan memudahkan jalan mereka untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga situasi politik menjadi stabil. Oleh karena itu, tak dapat dipungkiri bahwa otoritas kaum mistik era Seljuk berada di atas kekuasaan politik.    

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top