Mendekati lebaran terjadi kontroversi tentang hukum membayar zakat fitrah menggunakan mata uang (qimah). Ada sebagian ulama Indonesia yang secara mutlak tidak membolehkan membayar zakat fitrah menggunakan rupiah. Mereka beralasan mazhab Syafii yang dianut masyarakat Indonesia hanya membolehkah menunaiakn zakat menggunakan bahan makanan pokok.
Ada juga yang mengikuti pandangan Imam ar-Ramli, tokoh Syafiiyyah, yang membolehkan membayar zakat menggunakan mata uang rupiah, dengan bertaklid kepada mazhab Hanafiyyah (Kitab Fatawa halaman 189). Sementara dalam Kitab Nihayatul Muhtaj yang juga hasil karyanya beliau menginginkan harta yang terbaik. Kurma dan anggur adalah bahan konsumsi yang terbaik. Sementara menurut beliau bahwa beras lebih baik daripada gandum.
Dikarenakan hal itu, ada yang menginterpretasikan bahwa jika haris dirupiahkan maka dikonversi dengan kurma. Jadi apabila zakat fitrah menggunakan patokan harga kurma 3,8kg, semisal Rp. 40.000 maka zakat yang dibayarkan kepada panitia zakat menjadi Rp. 152.000.
Pandangan seperti ini tentu “menggelisahkan” ummat karena ada selisih besar antara zakat fitrah memakai beras dengan menggunakan mata uang Rp. 152.000. Di mana uang itu cukup membeli beras lalu digunakan membayar zakat fitrah untuk 4 orang, bahkan ada kelebihannya.
Imam ar-Ramli yang penganut mazhab Syafii pada prinsipnya membolehkan membayar zakat dengan mata uang. Tidak ada keterangan yang jelas apa beliau berpendapat harus mengkonversikan nilai barang bahan makanan pokok yang dikonsumsi Rasulullah Saw. Hanya di sisi lain, dalam mazhab Syafii jenis bahan pokok yang digunakan membayar zakat fitrah dibolehkan menyesuaikan jenis bahan pokok yang dikonsumsi ummat Islam sesuai asal usulnya. Seperti di Indonesia mengeluarkan zakat fitrah berupa beras.
Apabila antara pandangan Imam ar-Ramli dengan pandangan mayoritas mazhab Syafii digabungkan maka berarti boleh mengkonversi harga beras untuk zakat fitrah sesuai takaran. Misalkan takaran zakat fitrah 3,8kg (per-Kg umapamanya Rp. 10.000) apabila dikonveraikan ke rupiah sama dengan Rp. 38.000.
Cara membayar zakat fitrah dengan mengkonversikan nilai barang ke mata uang pada dasarnya sudah diputuskan “hukumnya boleh” dan berlaku di hampir semua negara Islam. Dari data yang saya himpun pada bulan Ramadhan 1442 atau puasa tahun 2021 didapatkan nilai zakat fitrah yang dikonversikan ke mata uang yang berlaku di masing-masing negara Islam.
Berikut ini adalah kisaran kewajiban membayar zakat bagi tiap-tiap muslim di seluruh dunia berdasarkan wilayah teritorial masing-masing negara:
1. Mesir sebesar 15 Pound (Setara Rp. 13.525,2)
2. Uni Emirat Arab 20 Dirham UEA (Setara Rp.77.880)
3. Saudi Arabia sebesar 25 real (setara Rp. 94.178)
4. Yordani sebesar 180 dinar Yordania (setara Rp.35.870)
5. Syiria 3500 Pound Syiria (setara Rp. 32.970)
6. Sudan 135 pound Sudan (setara Rp 45.708)
7. Palestina 9 syekel Israil (setara Rp. 39.044)
8. Libiya 7 dinar Libiya (setara Rp. 21.983,5)
9. Maroko 13 dirham Maroko (setara Rp 20.698,34)
10. Aljazair 120 dinar Aljazair (setara Rp. 12.690)
11. Kuwait 1 Dinar Kuwait (setara Rp. 46.844)
12. Lebanon 6.000 Pound Lebanon (setara Rp. 56,424)
Berdasarkan data ini Aljazair merupakan negara yang menetapkan nominal zakat fitrah terkecil. Hanya Rp. 12.690. Sementara negara yang menetapkan nominal zakat fitrah tertinggi adalah Saudi Arabia Rp. 94.178.
Jadi, kalau ada yang menetapkan kewajiban zakat fitrah sebesar Rp. 150.000, hemat saya, perlu dikaji ulang. Apa tidak berlebihan dan membebani ummat Islam Indonesia?