Sedang Membaca
Tikar dan Raga di Jawa
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Tikar dan Raga di Jawa

lesehan, tikar

Pada suatu masa, rumah-rumah di desa belum tentu memiliki kursi dan meja di ruang tamu. Kita maklum bila rumah memang tak lengkap dalam ketersediaan benda-benda. Rumah itu berbeda bila dihuni keluarga mapan. Ruang tamu dan serambi biasa diadakan kursi dan meja dengan kepentingan menghormati tamu, bersantai, atau pertunjukan.

Ketiadaan kursi dan meja biasa digantikan dengan tikar. Dulu, orang-orang bertamu atau membuat percakapan di rumah lumrah duduk bersama di atas tikar. Raga mereka berada di bawah untuk bersandar, bersila, atau selonjor. Di lagu legendaris berbahasa Jawa, tikar atau “kloso” menandakan adab bertamu dan kebersamaan. Konon, orang-orang di atas tikar mengerti terjadi persaingan “raga” dan “peradaban” saat kursi dan meja makin menjelaskan modernitas di Nusantara.

Kini, tikar masih ada meski digunakan dalam lakon warung makan lesehan. Tikar turut mengesahkan angkringan. Agenda kumpulan warga kadang masih mementingkan tikar. Di tatapan mata, tikar itu digelar. Pada saat tak digunakan, tikar itu dalam nasib dilipat atau digulung. Tikar-tikar dibuat dengan pelbagai bahan. Orang-orang lama merindu tikar-tikar dibuat dari tanaman, bukan plastik.

Tikar “tersimpan” dalam puisi. Orang-orang merindu tikar bisa membaca (lagi) puisi gubahan Bakdi Soemanto (1984) berjudul “Tikar”. Puisi itu dokumentasi saat terbaca dalam jarak waktu lama. Bakdi Soemanto sodorkan tokoh, peristiwa, tempat, benda, dan suasana: Mungkin kita ini tikar/ Di sana orang duduk/ di situ orang jongkok/ di sini orang sujud/ di sana orang tidur/ di situ orang tengkurab/ Mungkin kita ini tikar/ bisa digulung tiba-tiba/ tanpa alasan bernalar/ hanya, ah, bosan, misalnya.

Ia tak sekadar “menetapkan” tikar itu benda atau alas digelar di atas tanah atau lantai. Tikar “memuat” keragaman adegan raga dan peristiwa (profan atau sakral). Di atas tikar, manusia menaruh raga untuk beragam kepentingan. Pengertian-pengertian tikar “diberikan” dalam “kesementaraan”. Tikar itu digelar dan digulung. Ingatan-ingatan di atas tikar mungkin disusun menjadi album kenangan.

Baca juga:  Dua Tantangan Pancasila di Era Pasca-Soeharto

Nasib tak pasti. Tikar bisa berakhir. Bakdi Soemanto melanjutkan: Kita mungkin memang tikar/ Seorang bayi pipis di atasnya/ segelas teh tumpah menindihnya/ kartu judi dibanting mewarnanya/ nasib terguling tak dinyana/ Kita siap dibakar/ dan tidak tercatat dalam sejarah. Tikar tak abadi. Rusak dan musnah berlaku untuk tikar. Peristiwa-peristiwa pernah terselenggara di atas tikar diusahakan tetap teringat meski tikar tak selalu ada. Larik terakhir cukup getir berkaitan tikar dan kesanggupan kita memberi arti dan tempat dalam “sejarah”.

Kita memiliki imajinasi berbeda saat membaca puisi berjudul “Rumah” gubahan Darmanto Jatman (1978). Kita agak susah “menemukan” tikar di rumah. Darmanto Jatman mengisahkan: Inilah pendapa rumah kita/ Mandala dengan empat saka guru dan delapan tiang penjuru… Di sinilah kita akan menerima tamu-tamu kita/ Sanak kadang, tangga teparo/ Yang nggaduh sawah, ladang atau raja kita. Kita mengandaikan di pendapa itu ada tatanan kursi dan meja: bukti kehormatan pemilik atau tuan rumah. Pendapa dalam tata kehidupan kaum priyayi. Orang-orang bawah mungkin duduk di lantai. Kita dapat menduga tetap tersedia tikar meski membedakan tata cara raga dalam perjumpaan sosial-kultural.

Tikar seperti milik masa lalu saja. Tahun-tahun berlalu, derajat tikar disaingi karpet. Orang-orang tetap ingin lesehan atau jeda dari duduk di kursi. Mereka ingin karpet dengan selera empuk, indah, hangat, atau mewah. Karpet berbeda perlakuan dan nasib dibandingkan tikar. Kita pun biasa melihat kursi dan meja berada di atas karpet. Rumah memiliki benda dan tata cara berbeda bagi raga-raga penghuni atau tamu.

Baca juga:  Diaspora Santri (5): Muslim di Garis Merah Amerika: Antara Kita dan Blacklivesmatter

Tikar dalam “sejarah” rumah memang tidak mudah mendapat halaman-halaman diceritakan. Tikar belum punah tapi kesanggupan menjadikan cerita atau “menggelar” makna kadang melemah. Bakdi Soemanto sengaja menaruh tikar dalam puisi. Kita membaca album kehidupan dalam larik-larik pendek. Puisi itu dokumentasi tanpa ada janji bakal terus dibaca dan dikenang.

Orang-orang cepat menaruh raga di kursi. Cara duduk menjelaskan kehormatan, kemanjaan, kesehatan, kesopanan, dan keisengan. Kita melihat ruang-ruang dalam rumah makin sesak. Pilihan menggelar tikar jarang terjadi. Di peradaban berbeda, kursi dan meja menjadi kepantasan ketimbang tikar.

Kita tak ingin kehilangan cerita dan pemaknaan tikar berlanjut membaca puisi berjudul “Lagu Tentang Seorang Penabuh Gender” gubahan Linus Suryadi AG (1981). Tikar dalam ingatan manusia dan seni di Jawa. Linus mengisahkan: Ia berleher jenjang dan rambutnya blonde/ Ia tak berkutang dan raganya semampai/ Dengan langkah pelan ia pun siap latihan/ Ia menjalin gending dengan tusuk konde// Lempeng-lempeng gender pun menyapa ruang/ Suara ulem merambat keluar kerongkongan/ Dengan simpuh di tikar ia meramu gumam/ Bau kembang harum menggambar dari dalam.

Kita merasa melihat adegan kalem, lembut, dan indah. Di atas tikar, sosok itu “mempersembahkan” seni. Posisi raga dalam alat musik menentukan capaian estetika. Tikar sebagai alas. Tikar memang tak mencipta seni tapi “terlibatkan” bagi orang melakoni seni. Puisi mengandung tikar itu agak membedakan dari ingatan kita tentang rumah dan peristiwa keseharian. Tikar dihadirkan dalam ingatan seni di Jawa meski tak mengharuskan berperan atau berpengaruh besar. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top