Diskursus mengenai wacana moderasi beragama semakin menemui puncaknya ketika banyak akademisi atau aktivis mulai menarasikan konsep beragama secara moderat dengan baik. Hal ini tentunya kabar baik bagi penduduk muslim Indonesia. Menjalani hidup di negeri ini berarti siap untuk menghadapi beragam budaya, suku dan agama. Artinya siap berinteraksi dengan orang yang berbeda dari keyakinan sampai bahasa yang digunakan sehari-hari. Oleh karena itu sering sekali terjadi konflik baik antara agama maupun internal agama sendiri.
Berawal dari situ terasa sangat perlu bersikap tengah-tengah (Tawassut). Namun menerapkan sikap ini tidak semudah membalikan telapak tangan, sangat berat untuk direalisasikan, sebab dari situ akan timbul tuduhan ketidak cakapan dan lemah pendirian. Hal ini sejalan dengan persepsi mantan Mentri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang pernah mengatakan bahwa konteks beragama di Indonesia dengan istilah moderat sering kali disalahpahami sebagai sikap yang kurang serius dan terlalu akrab dengan keyakinan-keyakinan semua agama.
Melalui berbagai metodologi dan pendapat para ulama terjadi dialektika dan perdebatan panjang mengenai kasus demikian. Padahal di lain tempat moderat kerap diartikan sebagai perintah agama dalam Al-Qur’an untuk bersikap tengah-tengah (wasat) dan berbuat baik terhadap orang lain apapun agamanya.
Kehadiran buku ”Berislam Secara Moderat: Ajaran dan Praktik Moderasi Beragama dalam Islam” karya Khoirul Anwar yang belum lama terbit ini, merupakan oase ditengah pemahaman moderasi beragama yang masih carut-marut. Sekaligus berusaha mendesain ulang konsep moderasi beragama dalam segala aspek agama dan kehidupan sehari-hari.
Tiga Golongan Berbeda dalam Menyikapi Sumber Agama
Sikap moderat (tawassuth), adalah sikap tengah-tengah (mediasi) yang tidak mengandung keberpihakan terhadap ekstrimisme kanan (radikalisme) atau ekstrimisme kiri (liberalisme). Al-Quran menerangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 143 untuk menjadi umat penengah. Artinya dialektika Islam moderat sebenarnya tidak jauh untuk membentengi paham-paham yang berlebihan dan semberono. Penulis menjelaskan bahwa beragama secara moderat artinya menjalankan aktifitas keagamaan sesuai dengan porsinya. Artinya tidak sembarangan dalam memahami agama dan tidak berlebihan. (hlm.83)
Menjadi muslim tidak menjamin arif dalam beragama, yang membedakan arif atau tidak adalah ketika bijak dalam mengambil sumber agama. Menyikapi pengambilan sumber agama dapat ditemukan tiga golongan yang berbeda-beda. Pertama, kelompok yang menganggap Al-Qur’an dan Hadist sudah basi dan tidak relevan untuk era sekarang sehingga kedua sumber tersebut dianggap tidak mampu menjawab segala persoalan yang terjadi. Kedua, kelompok yang memandang Al-Qur’an dan Hadis harus diamalkan secara tekstual sebab kedua sumber tersebut turun dari waktu dan kondisi tertentu. Oleh karena itu segala aktifitas harus disamakan pada jaman itu. (hlm.78-79)
Kelompok ketiga terbilang moderat dari kedua kelompok diatas, yaitu memadukan antara wahyu dalam Al-Qur’an dan akal dalam Hadist. Kelompok ini memandang kedua sumber tersebut sangatlah penting meskipun usianya sudah kuno, namun tidak lantas meninggalkan akan tetapi mengembangkan dan menggali lebih dalam lagi melalui ilmu tafsir dan lainya agar bisa menjawab semua persoalan umat yang terjadi sekarang ini. Pandangan semacam ini cukup moderat daripada kedua kelompok sebelumnya. Sebab kelompok pertama lebih mengedepankan soal akal pikiran sedangkan kelompok yang kedua cenderung kolot.
Meminjam istilah yang digunakan penulis, moderat diartikan sebagai paham jalan tengah antara meninggalkan teks dan mengagungkan akal jatuk ke dalam kesembronoan (tafrit) dan meninggalkan akal jatuh pada sikap berlebihan (ifraat). Sampai di sini kiranya perlu mengkaji ilmu-ilmu alat yang mengantarkan memahami sumber agama yang benar. Misalnya mendalami ilmu tafsir, mustholah hadist, ulumul qur’an dan lainya. Disamping ilmu-ilmu itu juga perlu mengkaji sosiologi, tarikh dan antropologi agar dapat memahami ajaran islam dengan baik dan benar. (hlm.80-83)
Tiga Prinsip Dasar Moderasi Beragama
Buku setebal 320 halaman ini terdiri dari tujuh bab induk yang membahas sikap moderat dari berbagai aspek. Tentunya pembahasan dari bab satu ke bab yang lainya saling berkaitan, misalnya di bab satu membahas soal dasar, definisi, dan ruang lingkup praktik moderasi beragama kemudian disusul bab-bab selanjutnya yang membahas soal moderasi dalam syari’ah, akidah, budaya, akhlak dan dakwah. Menariknya penulis dapat mengkelompokkan macam-macam sikap moderasi tersebut sehingga pembaca dapat mengambil dengan baik dan mengetahui peta perbedaanya. Kebanyakan orang sekarang cenderung sulit membedakan antara permasalahan syari’ah, akidah, akhlak dan fiqih. terkadang semuanya bisa tercampur dalam satu bahasan.
Sekian banyak praktik keagamaan tersebut hendak mengambil jalan yang moderat. Sehingga tidak ada wawasan ekstimis dan keleluasaan akal dalam beragama tanpa melihat warisan dari peletak syari’at. Penulis menyebutkan ada tiga prinsip untuk bersikap moderat. Pertama adalah kemanusiaan atau humanisme yaitu memiliki arti rasa peduli dan kasih sayang terhadap sesame manusia tanpa memandang agama, suku, ras, warna kulit dan budaya. (hlm.50)
Nabi Muhammad Saw juga pernah melakukan penghormatan terhadap jenazah seorang Yahudi. Diinformasikan melalui sebuah hadist Nabi Saw sedang bercengkrama bersama para sahabatnya kemudian ada rombongan pelayat yahudi melewatinya lantas Nabi Saw berdiri untuk menghormatinya. Meskipun ada salah satu sahabat yang bertanya dengan perilakunya, namun Nabi Saw tetap menjawab bahwa ia adalah manusia seperti kita yang berhak untuk dihormati (hlm.20-21)
Kedua, Persaudaraan. Melihat kemuliaan manusia dalam prinsip yang pertama maka mewujudkan persaudaraan antar umat manusia menjadi kemudahan. Artinya dengan kesadaran persaudaraan maka moderasi beragama akan terlaksana dengan baik. Kemudian yang ketiga adalah keadilan. Adil yang dimaksud adalah mampu memberlakukan manusia apapun agamanya, suku, dan jenisnya secara setara tidak ada yang superior. (hlm.26)
Moderat dalam Semua Aspek Keagamaan
Khoirul Anwar dalam bukunya banyak mengutip hadist dan pemikiran para ulama baik klasik maupun kontemporer sehingga gaya bahasa dan alur gagasanya sangat kaya. Misalnya pembahasan di bab tiga soal moderasi hubungan agama dan budaya, ia mengkaji keberislaman masa kini. Sekarang ini banyak kelompok yang meneriakan selogan “Pemurnian Islam” atau Pemurnian Tauhid” mereka menduga praktik keberislaman sekarang ini jauh dari praktik beragama Nabi Muhammad Saw dalam arti islam murni tanpa dicampuri dengan budaya setempat. Tentunya sasaran dari kelompok ini adalah kaum nahdliyyin yang mengamalkan ritual keagamaan hasil kompromi para walisongo dengan masyarakat setempat. (hlm.90)
Khoirul Anwar mengutip pemikiran Ahmad Amin (1954 M) dalam karyanya Fajr al-Islam yang mengilustrasikan beberapa kebudayaan wilayah yang ditaklukkan oleh pasukan Islam. Menurutnya budaya Persia dan Romawi sudah bercampur dengan budaya Arab. Begitupun undang-undang, kebijakan hukum, sosial, ekonomi dan politiknya. Semua prihal yang berkaitan dengan aktifitas manusia sudah tentunya mengikuti kondisi dan situasi keberadaanya. Meskipun agama bukanlah budaya itu sendiri namun keduanya itu sulit dipisahkan. (hlm.103-104)
Agama yang kita amalkan setiap hari ini merupakan pesan tuhan melalui wahyu yang diberikan kepada utusanya. Maka ketika pesan tersebut disampaikan oleh utusan yang berwujud manusia kepada umatnya akan membentuk sebagai budaya. Seperti kosa kata, bahasa dan praktik keagamaan yang erat kaitanya dengan kebudayaan setempat. Artinya kedatangan islam saja sudah membudaya namun bukan berarti Islam adalah bagian dari budaya Arab melainkan kedatangan Islam memodifikasi praktik kebudayaan masyarakat Arab yang kurang manusiawi. Misalnya memarjinalkan kaum perempuan dan sebagainya. (hlm.97)
Selain mengkaji moderasi beragama dalam hubungan budaya juga ada moderasi beragama dalam syari’at, akhlak, dakwah dan akidah. Narasi yang disampaikan sangat lugas dan tegas. Beberapa kasus konflik keagamaan yang populer dilingkungan kita kerapkali dikaji dalam buku ini secara mendalam. Sistematika pembahasanya mengkomparasikan pendapat ekstim kanan dan kiri kemudian disimpulkan dengan pemahaman yang bersifat moderat. Misalnya kasus moderasi beragama dalam akidah seperti takfir dan bid’ah penulis menyampaikan cara pandang ulama wahabi dan Lajnah Fatwa Saudi Arabia kemudian mengutip pendapatnya Izzuddin Abdissalam yang membagi bid’ah menjadi lima macam dan diakhiri dengan ulama moderat Sayyid Alawi Al-Maliki. (hlm.153)
Kemudian moderasi dalam syari’ah menyoal kebijakan Khulafa’ Rasyidin ketika memimpin umat islam pada masanya banyak sekali perbedaan antara Abu Bakar dan Umar misalnya persoal zakat. Pada masa Abu Bakar banyak orang Islam tidak membayar zakat akhirnya ia berpendapat untuk memerangi orang tersebut karena keluar dari Islam. Berbeda dengan Umar bin Khattab melainkan ia melarang untuk membunuh orang selama ia masih mengucapkan kalimat syahadat. Sekilas perbedaan tesebut tersirat dari dasar hukum yang sama namun untuk menerapkan sesuai porsi kemaslahatanya berbeda. (hlm.197-200).
Judul Buku: Berislam Secara Moderat
Pengarang: Khoirul Anwar
Penerbit: Lawwana
Tebal: 328 halaman
ISBN: 978-623-94829-9-2