Ketika terjadi Geger Pacinan yang menumbangkan tahtanya, 1742, Paku Buwono II melarikan diri ke mancanagari timur. Di Madiun, dia diterima salah satu poros terkuat ulama di wilayah ini, RM. Bagus Harun, alias Kiai Ageng Basyariah. Putra bupati Ponorogo ini kemudian mengajak PB II ke gurunya, Kiai Ageng Muhammad Besari, Pengasuh Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo.
Berkat suaka politik ini, di kemudian hari ketika PB II berhasil merebut tahtanya kembali sekaligus memindahkan basis keratonnya, dia menetapkan Tegalsari, Ponorogo; dan Sewulan, Madiun; sebagai tanah perdikan. Kawasan bebas pajak dan dilindungi kerajaan karena lahannya menjadi tempat pendidikan dan kaderisasi ulama.
Hingga saat ini walaupun pesantrennya sudah tidak ada, namun masjidnya tetap lestari sejak dibangun pada 1740 M. Usianya lebih dari dua abad, namun corak bangunan khas Jawa tetap dipertahankan. Atapnya terdiri dari tiga susun, disertai kolam air untuk cuci kaki, gapura yang kokoh hingga pohon sawo yang menjulang rindang. Arsitekturnya juga mirip dengan Masjid Tegalsari Ponorogo, peninggalan Kiai Ageng Muhammad Besari, guru Kiai Ageng Basyariah.
Menilik dua nama Kiai Ageng di atas–yang merupakan guru dan santrinya– secara kultural-politik-keagamaan keduanya menempati posisi istimewa karena jasa dan keilmuannya yang pilih tanding: baik fiqih, tauhid, tasawuf, hingga kanuragan. Saya menduga, di abad ke-18 sebutan Kiai Ageng adalah terjemahan istilah “Syaikhul Akbar” (bukan Imam Besar lho ya). Sebutan sakral dan tidak sembarangan, semacam Hadratussyekh di Nusantara abad XX yang hanya melekat satu sosok saja: KH. M. Hasyim Asy’ari.
Kiai Ageng Basyariah alias RM. Bagus Harun inilah yang menjadi leluhur Gus Dur. Sebab, salah satu keturunan Kiai Basyariah, yaitu Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas dinikahi oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Dari pernikahan ini lahir Kiai Wahid Hasyim, lalu Gus Dur. Di masa remaja dulu, Gus Dur kabarnya pernah tirakatan di masjid Sewulan peninggalan leluhurnya ini.
***
Kiai Muhammad Ilyas, Mertua Kiai Hasyim Asy’ari
Kiai Muhammad Ilyas adalah putra Kiai Rofi’i, penghulu di Magetan. Saudara Kiai Ilyas, yaitu Kiai Hasan Mustaram, adalah Penghulu Naib di Slagreng, Magelang. Kiai Hasan Mustaram memiliki beberapa orang putra, antara lain Raden Ngabehi Mangunharso. Nama terakhir ini punya putra bernama Minhajurrahman Joyosugito. Dia awalnya aktivis Muhammadiyah lalu ganti haluan menjadi pendiri dan penggerak Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Dia punya anak bernama Prof. Wirjawan Joyosugito, yang merupakan bapak dari Gita Wirjawan, menteri perdagangan era SBY.
Kiai Muhammad Ilyas yang dimakamkan di kompleks makam Kiai Ageng Basyariyah, Sewulan, Dagangan, Madiun ini punya beberapa anak. Di antaranya, Nyai Nafiqoh yang diperistri KH. Hasyim Asy’ari, dan melahirkan KH. A. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI dalam beberapa kabinet.
Anak lainnya, Kiai Imam Muhammad Qalyubi, kelak menjadi penghulu Surabaya. Nama terakhir ini punya putra yang juga bernama KH. Muhammad Ilyas, ulama sekaligus birokrat yang kelak menjadi Menteri Agama RI (1955-1959). Setelah itu, Kiai Ilyas menjadi duta besar di Arab Saudi. Kefasihannya dalam berbahasa Arab sangat mengesankan di mata Raja Saud bin Saud bin Abdul Aziz.
Kiai Ilyas berbesanan dengan KH. Saifuddin Zuhri, juga menempati jabatan yang sama (1962-1967). Kelak, di kesempatan lain, menantunya, yaitu KH. Maftuh Basyuni juga menjabat sebagai Menteri Agama RI di Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2009. Selesai? Belum, putra besannya, Lukman Hakim Saifuddin Zuhri juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama.
Hubungannya semakin unik karena di kemudian hari ada tiga Menteri Agama yang saling berbesanan: Kiai Wahid Hasyim menikahkan anaknya, KH. Salahuddin Wahid dengan Nyai Farida binti KH. Saifuddin Zuhri. Lalu Kiai Saifuddin Zuhri menikahkan anaknya, Adib, dengan Yulianti Rasyida binti KH. Muhammad Ilyas. Lalu Wiwik Zakiah, anak Kiai Ilyas lainnya, punya suami KH. Maftuh Basyuni, Menteri Agama. Mbulet dan bingung, kan? Sama hehehe…
Wallahu A’lam.
—
Ziarah ke Sewulan, Dagangan, Madiun, sore ini.