Sedang Membaca
Zaldy Armendaris, Komikus yang Misterius Itu
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Zaldy Armendaris, Komikus yang Misterius Itu

Whatsapp Image 2020 06 03 At 10.19.15 Am

Zaldy Armendaris adalah seorang komikus yang cukup misterius karena tidak ada data yang utuh untuk meneropong hidupnya. Zaldy tidak pernah melakukan wawancara meskipun banyak fans, khususnya perempuan, yang sangat ingin berkenalan dengannya.

Zaldy muak sorotan publik. Dia tak pernah menikah dan meninggal dunia pada 2000 silam. Informasi ihwal kehidupan Zaldy kita dapatkan dari sumber resmi pemerintah kota Jakarta, jakarta.go.id yang menyatakan Zaldy lahir titimangsa 21 Januari 1942 dan wafat di Jakarta pada 19 September 2000.

Zaldy masyhur sebagai salah satu komikus papan atas bersama Jan Mintaraga dan Sim dalam genre komik roman era 1960-an hingga 1980-an di Indonesia. Di antara kolektor komik, Zaldy dianggap paling detail dalam menyajikan gambar dari panel ke panel, baik dari segi latarnya maupun tokoh-tokohnya. Selain itu, kekhasan lainnya adalah komik Zaldy ternyata memuat pelbagai elemen urbanitas di Jakarta pada 1970-an. 

Elemen-elemen visual itu mencitrakan kesejarahan dalam fesyen dan mode yang terang benderang sebagai representasi dari urbanitas Jakarta. Imaji “kebarat-baratan” di dalam komik-komik Zaldy ternyata menyimpan adanya suatu “kegalauan” mendalam terkait peralihan dari Demokrasi Terpimpin Soekarno, yang berhaluan kekiri-kirian, ke zaman Suharto, yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi pengaruh dan investasi Barat.

Walaupun demikian, posisi komik-komik Zaldy periode 1960-an sampai 1980-an memperlihatkan adanya suatu ikhtiar apropriasi terhadap perubahan zaman dan ideologi. Representasi generasi muda yang menetap di kota–dalam kontras dengan mereka yang berada di desa–terlihat melalui adegan-adegan dan fesyen. Selain itu, konteks kesejarahan yang berkelindan dengan identitas Zaldy sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa pun merupakan elemen yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam upaya pemafhuman terhadap representasi urbanitas dalam komik-komiknya. 

Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam “Dunia Komik Zaldy”, Jurnal Kalam No. 16 (2000: 98-119), Zaldy merupakan antitesis “Barat” dari komikus Jan Mintaraga yang menggambar dengan mengikuti gaya komik-komik Amerika. Seturut dengan hal ihwal ini, Lilawati Kurnia (2016) berpendapat bahwa pada komik-komik Zaldy lebih condong mengambil unsur dari film-film Hongkong lewat penggambaran fesyen dan detail riasan wajah tokoh-tokoh perempuan Zaldy.

Komik Zaldy–yang rata-rata berisi enam puluhan halaman itu–melukiskan romantika kehidupan anak muda pada periode 1960-an sampai awal 1980-an. Akan tetapi, lebih dari itu, ternyata terdapat sebuah ruang yang mengungkapkan semangat zaman serta ideologi di balik kebijakan ruang yang diambil oleh Gubernur Ali Sadikin. 

Contohnya, kebijakan menjadikan Jakarta sebagai kota metropolitan, seperti dapat ditemui gambarannya di dalam komik Zaldy, Di Ujung Pelangi (1972), yang memuat gambar latar night club “Blue Ocean”, sebuah tempat hiburan malam tersohor pada masa itu.

Baca juga:  Minoritas yang Terpinggirkan

Gaya hidup yang sepintas tampak kebarat-baratan ini tidak mengacu pada Amerika seperti dalam komik-komik Jan Mintaraga, yang sangat terpengaruh oleh komik Amerika. Sebaliknya, hal ihwal ini dapat dibaca sebagai awal masuknya budaya Barat atau kapitalisme yang disebut sebagai modernitas saat itu. Modernitas inilah yang diinginkan oleh Presiden Suharto, dengan dibukanya kran-kran masuknya modal asing, terutama yang berasal dari Barat, sehingga tersebar pula segala macam unsur budaya Barat. 

Hampir semua tokoh penting dalam komik Zaldy adalah perempuan. Dapat dikatakan bahwa tokoh perempuanlah yang menggerakkan kisah. Hanya beberapa komiknya saja yang lebih memberikan peran penting para tokoh lelaki. Perempuan juga memegang peranan dalam konstelasi asmara segitiga nan cukup rumit. Cinta segitiga yang melibatkan satu pria dan dua perempuan.

Lilawati Kurnia dalam bukunya, Kota Urban Jakarta dalam Komik Karya Zaldy (2016), meneroka bahwa perempuan dalam komik-komik Zaldy bukanlah perempuan yang tidak berpendidikan atau pengangguran, melainkan mereka adalah perempuan yang belajar di universitas (Winda dalam Tiada Bintang di Langit, 1967), menjadi guru (Letty dalam Awan Kelabu, 1971), menjadi sekretaris (Irma dalam Sonata di Malam Sunyi, 1978), menjadi pragawati (Sinthia dalam Sinthia, 1969), menjadi pramuniaga (Fanny dalam Cinta Pertama, 1976-7), tetapi juga menjadi hostes (Anita dalam Interlute, 1980).

Perempuan di dalam komik Zaldy bekerja demi kehidupannya dan keluarganya. Walaupun lahir sebagai anak orang kaya, mereka tetap berusaha membiayai hidupnya sendiri (Gelombang Hidup Remadja, Sinthia, Melati di Musim Semi, dan Bintang-Bintang di Langit Suram). Peran perempuan di dalam komik Zaldy juga tidak bisa lepas dari lingkup ruang sosial yang memang ada di dalam kehidupan pada saat itu, sehingga gambaran perempuan yang menjadi “ibu” dipanggungkan melalui fesyen. Sang ibu diberikan feysen tradisional seperti memakai kain dan kebaya, bersanggul ala Jawa dan tubuhnya yang sudah tak langsing.

Bagaimana menyikapi perubahan dalam peran dan juga kedudukan perempuan pasca Orde Baru (Orba) lahir? Julia Suryakusuma dalam karyanya, Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (2011), mendedahkan mengenai hubungan antara perempuan dan negara dengan menguraikan dua pemikiran, yakni housewifization dan Ibuism yang melukiskan bagaimana peran perempuan dikonstruksi dalam masyarakat kapitalisme di satu pihak dan masyarakat feodal di lain pihak. Perbedaan yang mencolok ini, menurut Suryakusuma di satu pihak housewifization mereduksi perempuan hanya menjadi peran biologisnya saja.

Baca juga:  Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih

Suryakusuma menjelaskan bahwa campuran dari kedua ideologi ini telah menjadi ideologi negara pada masa Orba dan telah mendominasi segala penjuru kehidupan, bahkan masuk ke dalam ranah pribadi perempuan, yaitu dengan menentukan peran dan posisi perempuan di dalam masyarakat. 

Ibuisme yang dimaksudkan Suryakusuma ialah bagaimana perempuan dikonstruksi menjadi pendamping suami yang efektif. Perempuan dikonstruksi menjadi pelengkap bagi suami meskipun terlihat laiknya mempunyai peran dalam berbagai kelompok maupun ormas partai yang sangat menonjol, tetapi peran perempuan tetaplah dibatasi negara.

Rakyat Indonesia yang pernah mengalami dan hidup di era Orba tentu masih mengingat bagaimana Tien Suharto, Ibu Negara kala itu menjadi suri teladan bagi perempuan lainnya. Ia selalu tersenyum manis mendampingi Pak Harto ke mana pun, tanpa pernah memberikan komentar ataupun memberikan pernyataan yang mandiri. Penjelasan Suryakusuma ini menegaskan bagaimana ideologi Orba mengkonstruksi perempuan dengan memberikan label anyar tetapi isi yang sama dengan ideologi fosil: Patriarki.

Apakah gambaran seperti ini juga kita temui pada perempuan dalam komik Zaldy? Keluarga menjadi topik yang utama dalam komik Zaldy, meskipun penggambaran muda-mudi yang bebas dan hedonistis, tapi gambaran-gambaran ini dipertentangkan dengan adanya suatu keinginan membina keluarga. Bahkan dalam panel-panel yang menggambarkan cinta romansa yang menggebu-gebu tetap diselipkan atau terdapat keinginan akan suatu kebahagiaan dalam keluarga. Keluarga merupakan suatu jaminan akan kehangatan, kebersamaan dan cinta yang tak kunjung pupus. 

Namun, bukan keluarga dalam dalam pengertian tradisional, yakni keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dan anak-anak kandungnya, dan mereka semua berdiam dalam sebuah rumah yang ideal karena dilengkapi dengan dekorasi dan kenyamanan pada masa itu.

Menurut Kunia (2016), keluarga yang diketengahkan dalam komik-komik Zaldy justru berbeda. Zaldy menampilkan unsur extended family, keluarga bukan hanya yang batih saja, melainkan juga termasuk di dalamnya pengasuh, paman dan bibi, bahkan putra atau putri teman yang dibesarkan bersama. Bahkan, sering pula ditemui perempuan sebagai single mother, membesarkan anaknya tanpa pernikahan, suatu hal ihwal yang tidak mungkin diizinkan dalam ideologi patriarki ala Orba.

Selain itu, pembaca juga dihadapkan pada fakta yang membombardir di masa-masa awal kapitalisme masuk ke ruang-ruang dalam kota urban Jakarta, yaitu adanya perempuan liyan di dalam rumah tangga itu. Cerita yang dibangun sering menggambarkan keretakan dalam kenyamanan keluarga kelas menengah yang setimbang, karena ternyata cinta yang tak kunjung padam justru dibagikan kepada orang lain yang bukan keluarga itu.

Baca juga:  Sajak Perspektif Al-Ghazali (4): Musik Penggelora Rindu

Dalam Diambang Fajar (1980), kita temui Ivan, seorang anak yang berasal dari keluarga retak ini, broken home. Kepedihan hati sering kita lihat dikompensasi dengan pelbagai cara, termasuk dengan gaya hidup hedonistis. Tidak jarang, tokoh perempuan dalam kisah yang dramatis ini adalah anak dari istri atau perempuan simpanan, tetapi mereka ini meskipun digambarkan hanya sebagai perempuan penghibur atau hostess, namun merupakan tokoh-tokoh yang menjadikan kisah berjalan seru dan dramatis. Para tokoh perempuan ini divisualisasikan dengan paripurna oleh Zaldy sebagai wanita muda yang cantik-bohai dan tentu saja seksi, namun kesempurnaan tersebut hanya fisik belaka, karena mereka mereka dapat dikatakan generasi retak tak sempurna.

Ketidaksempurnaan yang digambarkan dalam komik-komik Zaldy, khususnya pada para tokoh perempuan dikompensasi dalam pelbagai gerakan yang telah membuat cerita bergulir dengan baik, meskipun jalan kisah itu bernada melankolis, tetapi gelombang yang menjadikan cerita mendapatkan puncaknya dalam narasi yang berasal dari para tokoh perempuan ini. Setiap cerita romansa yang melibatkan seorang laki-laki dan perempuan, kerangka kisah dibangun atas perkembangan dari tokoh-tokoh perempuannya, sehingga plot melankolia yang mendasari narasi romansa berkait-kelindan dengan erat.

Plot melankolia dalam komik Zaldy terbangun karena narasi perihal tokoh perempuan yang merajut benang-benang kisah menjadi satu. Tokoh-tokoh perempuan di dalam komik Zaldy di satu pihak menadaburkan perubahan ideologi yang melanda sebuah kota urban seperti Jakarta, sehingga di setiap sendi kehidupan terjadi perombakan baik itu gaya hidup dan terutama sudut pandang terhadap cerita. 

Di lain pihak, perubahan ideologi ini yang kemudian mengakibatkan peran perempuan pada permasalahan yang di luar konteks hidup tradisional. Meskipun begitu, kesempatan untuk dapat berperan di luar peran-peran tradisional telah memperlihatkan kesanggupan para perempuan untuk beradaptasi dan sekaligus menggunakan kesempatan ini untuk berkiprah di luar peran tradisionalnya.

Kalakian, dalam komik Zaldy memang hanyalah sebuah episode dalam lalu waktu kebudayaan Indonesia, tetapi episode mana pun yang terkubur dalam sejarah, justru semakin perlu dibongkar dengan cahaya kritik, karena hanya dengan begitu hari ini ke depan kita mendapatkan perspektif baru. 

Dengan cara itu, tumpukan komik berdebu di sebuah kios apak bisa lebih bermakna.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top