Selepas salat Maghrib, dari sudut-sudut kota, masjid-masjid akan berlomba mengkumandangkan kebesaran Tuhan. Diiringi tetabuhan, malam kian semarak. Kumandang pun makin melengking.
Pada hari ini, semua makhluk di muka bumi dan di langit berkumandang, membesarkan Nama Tuhan dan mengecilkan arti kita sebagai makhluk.
Selayaknya sebuah ritual, dari zaman batu sampai sekarang. Memiliki kesyahduan, kekhidmatan, keritmisan, dan kemeriahan. Semuanya menyatu. Antara ucapan syukur dan doa keselamatan.
Menu istimewa yang sudah disiapkan jauh-jauh hari akan keluar pada pagi hari. Sebelum pergi ke tempat salat Ied, biasanya memakan kue-kue tradisional yang lezat, walau sekarang di masyarakat lebih populer kue-kue seperti castangel, putri salju, dan lain sebagainya. Memakan kue merupakan pertanda pembatalan puasa, karena memang pada hari itu diharamkan berpuasa.
Setelah salat Ied, menu utama disajikan. Setiap daerah memiliki menu istimewa masing-masing. Menu tersebut adalah persilangan tradisi yang panjang, juga hasil interaksi antara manusia dan lingkungannya.
Pada umumnya, dan sudah menjadi simbol dari Idul Fitri adalah Opor Ayam dan Ketupat. Dua perpaduan yang tidak hanya disajikan sebagai makanan, tetapi juga penuh dengan simbol-simbol.
Ayam, atau Hayam, adalah simbol dari leluhur. Hewan ini juga menanda datangnya Matahari. Satu isyarat bahwa dalam menu opor ayam kita tidak hanya harus ingat dengan jatidiri tetapi juga siap menyongsong hari-hari ke depan yang cerah dan jaya. Bukankah juga, Idul Fitri disebut juga dalam bahasa agama sebagai Hari Kemenangan?
Ya, kemenangan kita dalam melawan hawa nafsu.
Sedangkan ketupat yang berbahan pelepah kelapa merupakan tradisi semua bangsa dan agama. Agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) atau agama yang dasarnya adalah wahyu sangat menghormati famili dari pohon ini, yakni kurma. Dalam banyak ritus keagamaannya tidak jarang kurma ada di dalamnya.
Dalam konteks Jawa, menu opor ayam dan ketupat adalah bentuk akulturasi budaya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.
Sebelumnya, setiap ada perayaan maupun persembahan dalam tradisi, ayam adalah hewan yang dikarorbankan. Baik untuk menentukan penyakit, hari baik-buruk untuk pertanian, maupun keperluan-keperluan lainnya. Biasanya, ayam yang telah disembelih dibiarkan di tempat acara, sebagai santapan binatang lain atau jasad renik, sampai secara alamiah habis dan tersisa tulang belulang.
Oleh Sunan Kalijaga, ayam tersebut diolah menjadi makanan, yang setelah matang bukan dipersembahkan pada leluhur yang sudah meninggal tetapi disantap oleh manusia yang hidup. Tidak jarang juga, opor ayam diberikan pada para tetangga, tokoh masyarakat, maupun teman, sebagai sharing poverty.
Dengan demikian, menu opor ayam dan Ketupat, tidak saja sajian Idul Adha untuk menghormati dan merayakan Hari Agung, tetapi juga bentuk syukur atau persembahan pada Allah sebagai ekspresi senang telah mengontrol hawa nafsu selama satu bulan.
Ekspresi kemenangan singkatnya dan juga kesiapsiagaan kita dalam menyambut hari-hari berikutnya dengan penuh optimis. Hari cahaya. Hari matahari.
Saya teringat pada kisah Nabi yang membiarkan pembantunya merayakan Hari nan Suci ini dengan tetabuan dan tarian tradisional. Sebagian sahabatnya protes pada Nabi, kenapa di rumah Nabi ada hal-hal yang demikian.
Nabi pun menjawab, “Setiap bangsa memiliki cara sendiri dalam merayakan hari besar, jadi biarkan mereka melakukan kebiasaannya.”
Mari kita nikmati sajian dan persembahan opor ayam dan ketupat di Perayaan Hari Agung nan Suci ini, dengan penuh rasa gembira walau masih ada pandemi…