Sampai hari ini, kisah-kisah Gus Dur berkunjung ke geraja masih jadi perbincangan di kalangan kiai, di mana pun.
Perbincangan banyak terjadi terutama di lingkungan kiai-kiai kampung, di tempat-tempat yang secara sosiologis homogen, di tempat-tempat yang tidak ada perbedaan agama, juga ras atau suku. Mereka sebetulnya “makmum” Gus Dur, tapi juga menyimpan kemusykilan yang tidak sederhana.
Mengapa Gus Dur sering berkunjung ke gereja?
Kira-kira pertanyaan itulah yang sering muncul. Bagi yang beruntung punya akses, pertanyaan itu disampaikan ke Gus Dur langsung. Bagi kiai-kiai yang hanya memiliki teman atau kerabat yang kenal Gus Dur, maka teman atau kerabat tersebut akan menyampaikannya ke Gus Dur. Atau dengan kata lain, melalui perantara, semacam “kurir”.
Tapi, jumlah kiai-kiai atau aktivis NU yang hanya memendam kemusykilan itu, atau maksimal hanya menjadi obrolan di kalangan sendiri, jauh lebih banyak. Lebih banyak lagi kiai-kiai yang diam (sukut), tidak berani bertanya. Jenis ini “segan” dengan Gus Dur, ewuh. Ingat, kharisma Gus Dur, selain karena pribadinya, juga karena bapak dan kakeknya. Dan ini tradisi yang bertahan di kalangan pesantren/NU.
Gus Dur sendiri memahami betul situasi psikologis “umatnya” itu. Maka Gus Dur dengan antusias sering mengemukakan posisi dirinya terkait tenggang rasa, toleransi, dan solidaritas pada non-muslim. Dia bertabayun dalam pelbagai kesempatan, obrolan-obrolan terbatas, seminar, tulisan-tulisan, hingga pengajian atau acara NU, haul kiai atau haflah pesantren, hingga pengajian-pengajian pernikahan.
Para audiens Gus Dur di majlis-majlis umum adalah petani, buruh tani, pedagang kecil, guru-guru agama di musala, nelayan, hingga sopir-sopir angkutan umum, dan lain sebagainya.
Tidak semua juga orang yang menghadiri dan mendengarkan Gus Dur berceramah adalah orang santri yang salat, puasa, tiap Magrib baca Alquran, banyak juga orang “Abangan” yang kalau pipis tidak dibasuh atau tidak mengerti detail mandi junub.
Setidaknya Gus Dur menyampaikan dua hal untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, jawaban normatif ajaran Islam: orang Islam tidak punya alasan berbuat keras kepada kelompok lain yang berbeda keyakinan. Ajaran Alquran dan praktik hidup Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallama (saya tidak menyingkat dengan “saw”. Sengaja, begitulah selawat Gus Dur saat menyebut nama Nabi Muhammad di pengajian umum) meminta kita semua, umat Islam untuk hidup rukun. Perbedaan itu ciptaan Allah taala.
Kedua, Gus Dur menyampaikan konteks keindonesiaan. Semua warga negara punya kedudukan yang sama di Indonesia ini. “Kita semua, harus patuh pada konstitusi,” begitu kira-kira yang sering dikemukakan Gus Dur.
Gus Dur menyampaikan itu dengan sederhana, jernih. Biasanya disertai metafor-metafor yang mudah dipahami masyarakat umum. Tak lupa menyelipkan humor-humor di sana-sini.
Tapi sebetulnya, di luar penjelasan Gus Dur, orang pesantren, agak susah memahami kehidupan dalam perbedaan (agama). Mengapa?
Sebab, mereka hidup di alam pedesaan, komunitas yang homogen, satu golongan (ini tentu simplifikasi). Melihat realitas sosiologis masayarakat santri, sebetulnya nyaris buntu bicara toleransi keagamaan.
Tapi karena watak mereka tidak agresif dan kuatnya kultur komunalisme, jadi bisa diatasi. Selain watak, yang mengasyikkan dalam masyarakat NU, mereka bekerja keras belajar, bekerja keras untuk paham. Penjelasan-penjelasan, apalagi jika ada dalilnya, mudah dicerna.
Satu lagi, kultur orang NU atau masyarakat santri, yang patuh pada tokoh sentral baik level musala, level kampung, level alumni pesantren, level NU. Nah, di sini Gus Dur “memanfaatkan” dengan baik psikologi umatnya. Di sinilah “celah konservatisime” di lingkungan santri/NU, dapat diatasi.
Gus Dur dengan ceramahnya di mana-mana, tanpa henti selama puluhan tahun yang kemudian diteruskan oleh pengurus NU di daerah-daerah, membuat orang di kampung-kampung bisa “membayangkan keragaman”, “membayangkan liyan”, “membayangkam keindonesiaan” yang demikian besar dan rumit ini.
Kekuatan kiai-kiai kharismatik dan mubalig-mubalig yang bekerja tujuh hari dalam sepekan, tidak punya hari libur, sangat membantu kerja-kerja Gus Dur mensyiarkan hidup rukun dalam perbedaan keyakinan dan multikultur.
Almarhum Kiai Hasyim Muzadi dalam sebuah kesempatan di Australia mengaku menjadi “juru bicara” Gus Dur untuk masalah-masalah yang sulit-sulit: toleransi.
Kiai Hasyim sering ditanya, bahkan dimarah oleh kiai: buat Gus Dur ke gereja? Lantas Kiai Hasyim menyampaikan unek-unek para kiai itu pada Gus Dur.
“Saya ke gereja itu kan untuk mengajar, memberi penjelasan, bukan menjadi murid,” begitu kira-kira Gus Dur menjawab, seperti disampaikan Kiai Hasyim. Dari kisah Kiai Hasyim Muzadi, kita bisa memahami betapa susahnya menjelaskan ide-ide Gus Dur.
Saat remaja saya juga pernah mendengar seorang penceramah kondang dari Cirebon mengatakan dengan lantang, waktu itu sedang hangat tentang Arswendo Atmowiloto. Sang penceramah mengatakan di depan jemaahnya, kira-kira demikian:
“Saya juga tidak mengerti alasan Gus Dur seperti membela wartawan Katolik (Arswendo maksudnya) itu. Tapi mari kita percaya pada Gus Dur. Tidak mungkin putra Kiai Wahid Hasyim dan cucuk pendiri NU mengacaukan semangat keislaman kita. Mari, tenang saja. Biar itu diurus kiai-kiai di atas.”
Satu contoh lagi. Kiai Ali Maksum Krapyak, cerita Kiai A. Bukhori Masroeri, juga sering ditanya kiai-kiai lain kenapa Gus Dur sering ceramah di gereja, atau berteman dengan non-muslim.
“Kalau Durahman gak ceramah di geraja, Alquran gak didengerin orang-orang Kristen,” begitu kira-kira jawab Kiai Ali Maksum.
Jawaban Kiai Ali Maksum ini satu “metode” dan satu “misi” dengan Kiai Hasyim Muzadi. kiai Hasyim mengatakan bahwa Gus Dur datang ke gereja sebagai guru, bukan murid. Sementara Kiai Ali menilai bahwa Gus Dur sedang syiar, dakwah.
Bahasa Kiai Ali dan Kiai Hasyim berbeda, tapi misinya sama: memperlihatkan keunggulan Islam.
Namun baik “tafsir” Kiai Ali Maksum ataupun Kiai Hasyim Muzadi, tidak ada nada merendahkan atau mencemooh. Di sini, Zakir Naik ataupun ustaz-ustaz yang baru atau sedang senang-senangnya naik panggung harus belajar ada kiai-kiai NU.
Dengan pengetahuan, argumen, dan pengalamannya masing, kiai-kiai berupaya keras bersepakat dengan ide-ide Gus Dur, dengan toleransi, dengan kerukunan. Sering kali argumen-argumen yang dibangun sedapatnya. Kata orang Jawa, sak kecekele.
Argumentasi kerukunan dengan “syiar keislaman”, seperti yang diceritakan Kiai Ali Maksum dan Kiai Hasyim Muzadi, dapat dinilai “bermasalah” bagi orang lain. Tapi bagi kiai-kiai, ini dahsyat, prestasi, dan keberanian.
Akhirul kalam, betapa kerasnya kiai-kiai NU mendorong kehidupan harmoni, menjalankan hidup dengan toleransi penuh di tengah keragaman negeri ini. Dan kerja-kerja itu tidak boleh berhenti, harus terus diupayakan, diikhtiarkan, kerja keras, dan dibutuh banyak orang terlibat. Sehari saja berhenti kerja-kerja begini, wasalam Indonesia.
Saya termasuk bagian orang -orang yang tidak paham atau belum paham akan ide-ide Gus Dur, khusus nya tentang toleransi. Membaca tulisan ini sedikit banyak bisa membantu memahami ide tersebut.