Sedang Membaca
Pengalaman Batin di Kopdar Perdana “Ngaji Ihya”
Rulli Rachman
Penulis Kolom

Rulli Rachman adalah penggemar kopi, penulis di beberapa media sosial, konsultan strategi perawatan mesin dan sedang mendalami ilmu tasawuf.

Pengalaman Batin di Kopdar Perdana “Ngaji Ihya”

Pengalaman Batin di Kopdar Perdana "Ngaji Ihya"

Acara kopi darat (kopdar) bersama Gus Ulil yang saya ikuti ini sebenarnya sudah lama, setengah tahun yang lalu, tepatnya pada 30 Juli 2017. Akan tetapi saya merasa perlu untuk berbagi pengalaman, terlebih saat itu pertama kalinya saya berjumpa langsung dengan Gus Ulil. 

Semula acara akan dimulai pada pukul 09.00 pagi. Namun rupanya setelah jam 9.00 peserta masih terus berdatangan, termasuk saya. Setelah mengisi daftar hadir, saya menghampiri sebuah stan buku. Disana tersedia buku ‘Kisah-kisah Ajaib Imam Al-Ghazali’ karya Mukti Ali, dan di sana ada Mas Mukti Ali sendiri,  berdiri di sana .

Dia dengan ramah melayani pertanyaan-pertanyaan seputar buku karangannya, lalu membubuhkan tanda tangan. Saya sendiri tertarik untuk membeli buku “Inspirasi Jihad Kaum Jihadis (Telaah Atas Kitab-kitab Jihad)” terbitan Rumah Kita Bersama (KitaB). Buku ini merupakan kumpulan hasil telaah atas kitab-kitab yang diseleksi oleh para peneliti Yayasan Rumah KitaB sebagai referensi yang mengandung gagasan soal jihad.

Harga buku ini 100 ribu rupiah. Buku bagus nih, kayaknya gak ada di toko buku biasa. Demikian alasan yang saya lontarkan kepada istri saya melalui pesan Whatsapp, mengingat awalnya saya berencana untuk membeli bensin mobil saya dengan nominal seratus ribu tersebut.

Dengan menggenggam buku yang baru saja dibeli tersebut, saya dengan pede menghampiri Gus Ulil Abshar Abdalla. Saya memperkenalkan diri seraya memohon kepada beliau untuk menandatangani buku tersebut. Maklum, beliau adalah kontributor utama buku itu.

Sempat ada jeda beberapa detik yang membuat saya terdiam, bingung hendak mengatakan apa. Ya iya lah bingung, apalah saya ini yang cuma penulis di media sosial dibandingkan beliau yang notabene seorang kiai muda dengan intelektualitas tinggi. Saya sampaikan kepada beliau bahwa saya sedang tertarik belajar tasawuf sehingga menyukai bahasan soal Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali.

Setelah berhasil mengajak beliau untuk berfoto bersama (sebagai modal saya untuk pamer di medsos), beliau kembali berbaur dengan pengunjung acara yang lain.

Demikian lah sekelumit pemandangan sebelum acara Kopdar Ngaji Ihya dimulai. Mbak Siti Fadilah, panitia sekaligus MC memberitahukan bahwa acara akan dimulai pada pukul sepuluh dan mempersilahkan kami untuk menikmati terlebih dahulu kopi dan kudapan yang telah disediakan.

Baca juga:  "Pesantren" Perbandingan Mazhab di Gorgon Iran

Acara Kopdar Ngaji Ihya ini awalya inisiatif Gus Ulil beserta karib-karibnya, yang kemudian disambut dengan suka cita oleh para follower acara Ngaji Ihya. Kopdar perdana yang digelar di Omah Btari Sri di Ampera Raya Jakarta Selatan ini rupanya menjadi titik awal terbentuknya semacam komunitas cair pecinta ilmu-ilmu hikmah dan tasawuf,  di berbagai kota. Saya merasa senang bisa ikut kopdar perdana ini. Alhamdulillah …

Ngaji Ihya Daring

Bagi yang belum tahu , ngaji Ihya adalah acara rutin kajian kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali yang diampu oleh Ulil selama bulan Ramadhan 1438 H yang lalu. Ada cerita unik mengenai pelaksanaan Ngaji Ihya ini. Adalah putri Gus Mus, mbak Ienas Tsuroiya yang mendorong suaminya untuk mau tampil secara live saat membahas kitab Ihya.

Biar bisa memberi manfaat kepada yang lain, siapa tau banyak yang berminat Ngaji Ihya juga, demikian bujukan mba Ienas kepada gus Ulil.

Dengan hanya berbekal ponsel untuk merekam, dibantu dengan perangkat tripod yang dibeli melalui tokopedia (belakangan diakui mba Ienas kalau kualitas tripod ini jelek sekali karena pernah jatuh saat siaran), maka berlangsunglah acara live streaming Ngaji Ihya. Video kajian lalu diunggah ke facebook secara live.

Tak disangka, ternyata banyak sekali peminat acara ini. Ini terlihat dari banyaknya komentar yang masuk saat acara ngaji berlangsung. Hal ini pun membuat mba Ienas makin bersemangat walaupun sudah terkantuk-kantuk. Maklum saja karena acara Ngaji Ihya biasa dilaksanakan selepas salat taraweh.

Yang menarik adalah ngaji ini dilaksanakan di kediaman Gus Ulil di Bekasi. Karena memang bukan studio rekaman profesional, maka jangan heran apabila diawal-awal kajian sering terdengar suara kentongan tukang nasi goreng gerobak dorong yang lewat, atau suara gonggongan anjing. Demikian disampaikan oleh mbak Ienas saat diawal acara diminta memberikan testimoni perihal Ngaji Ihya, yang disambut dengan gelak tawa para hadirin.

“Jadi sebelum nasi goreng di Cikeas itu ramai beritanya, sudah ada nasi goreng duluan yang eksis di Jagakarsa…”, demikian kelakar ibu Lies Marcoes-Natsir, direktur Yayasan Rumah KitaB yang juga diberi kesempatan untuk menyampaikan testimoni.

Baca juga:  Ziarah di Kawasan Kota Tua Kairo (3): Kepiluan di balik Madrasah Imam al-Aini

Animo warganet tentang Ngaji Ihya ini  terbilang cukup tinggi. Terbukti bahwa follower Ngaji Ihya sampai ke luar pulau Jawa. Adalah pak Abunawar Basyeban, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya sekaligus advokat yang jauh-jauh datang dari Palembang untuk menghadiri acara kopdar Ngaji Ihya ini. Beliau mengatakan sangat antusias mengikuti acara Ngaji Ihya karena memang beliau tidak nyantri saat kecil, walaupun kakeknya adalah seorang ulama.

Setelah testimoni dari beberapa peserta yang tampil kedepan, Siti Fadilah mengatakan bahwa ada satu lagi testimoni spesial. Ia mengatakan bahwa ternyata ada seorang ulama yang juga setia mengikuti acara Ngaji Ihya. Sang ulama itu tak lain dan tak bukan adalah mertua Ulil sendiri, yakni Gus Mus! Spontan saja kami semua yang hadir menoleh kearah belakang, karena menyangka Gus Mus betul-betul hadir di acara ini.

Saya pun sempat gugup, apa betul Gus Mus ada disini. Saya langsung memikirkan kata-kata yang tepat apabila berkesempatan untuk bertemu dan berjabat tangan dengan beliau. Wajar saja karena saya juga penggemar Gus Mus . Tapi ternyata bukan itu yang terjadi. Testimoni yang dimaksud adalah testimoni yang disampaikan oleh Gus Mus direkam dengan ponsel. Kami para hadirin pun mendengarkan rekaman tersebut, dimana dikatakan bahwa Gus Mus sangat mendukung agar Ngaji Ihya ini dipertahankan.

Gus Mus mengatakan bahwa memang antusiasme orang-orang saat ini untuk mengaji sangat tinggi karena tak semua orang berkesempatan nyantri. Ngaji Ihya menjadi salah satu alternatif kajian dalam era kekinian saat ini. Ngaji-lah yang benar, kepada ahlinya. Bukan kepada mbah Google. Itu kata-kata yang disampaikan Gus Mus.

Penyakit hati dan obatnya

Setelah testimoni, acara dilanjutkan dengan sesi inti yakni ngaji kitab Ihya Ulumuddin. Ulil menyampaikan bahwa fokus bahasan Ngaji Ihya adalah pada Bab 3 dan 4 kitab Ihya, yakni soal penyakit-penyakit hati yang merusak (destruktif) berikut obat penawarnya. Beliau mengatakan bahwa dua pokok bahasan ini dirasa sangat tepat dan relevan pada masa kini.

Gus Ulil menambahkan bahwa faktanya, proses Islamisasi di Jawa itu dimulai dari kaidah keagamaan yang disampaikan oleh ulama-ulama tarekat. Selanjutnya beliau menukil beberapa kaidah yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali. Salah satunya dikatakan bahwa “ilmu dunia (rasional) itu diibaratkan nutrisi, sedangkan ilmu syariah (keagamaan) itu diibaratkan obat”.

Baca juga:  Berislam sebagai Pelajar Minoritas di Negeri Kincir Angin

Ulil juga menyampaikan beberapa ketertarikannya perihal kitab Ihya Ulumuddin tersebut. Ia mengatakan bahwa sejatinya kitab Ihya ini adalah otokritik terhadap Imam Ghazali muda. Memang pada sejarahnya Imam Ghazali saat muda adalah penganut mazhab Syafii dan pernah mendebat keras mazhab Hanafi, sampai-sampai ia dipanggil oleh Raja yang berkuasa untuk menjelaskan keberatannya perihal mazhab tersebut.

Acara selanjutnya disambung dengan sesi diskusi dan pertanyaan yang dimoderasi oleh bu Lies Marcoes-Natsir. Ada beberapa pertanyaan dari peserta. Yang menarik adalah beberapa orang menanyakan kenapa Gus Ulil, salah satu pentolan JIL sekarang seakan-akan berpindah haluan, jadi lebih nyufi. Apakah memang ada perubahan atau pergeseran pandangan pada dirinya. Hal ini dijawab oleh beliau bahwa memang mungkin saja hal itu terjadi pada dirinya. Dikatakan bahwa Imam Ghazali menyusun kitab Ihya pada usia 50 tahun sebelum pada akhirnya tutup usia 3 tahun kemudian. Gus Ulil mengatakan bahwa ia pun sekarang sudah berusia 50 tahun namun belum ada satupun kitab yang ia tulis. Apakah ini ada hubungannya dengan perubahan dirinya yang lebih terlihat sufistik? Wallahualam…

Sebagai penutup, acara dilanjutkan dengan foto bersama lalu disambung dengan makan siang. Kami semua yang hadir pun dengan lahap menyantap hidangan yang terdiri dari nasi goreng, suwir ayam kecap, daging balado, ikan goreng tepung, sop dan tumis sayuran.

Demikian cerita saya soal acara Kopdar Ngaji Ihya bersama Ulil Abshar Abdalla. Mungkin banyak orang yang berpandangan miring soal Gus Ulil, apalagi karena beliau dikenal sebagai tokoh JIL. Tapi itu tak menyurutkan semangat saya untuk terus mengikuti Ngaji Ihya yang diampu beliau.

Saya ingat bahwa pada zaman kuliah, saya mempelajari ilmu termodinamika dengan membaca buku karya Moran-Shapiro. Lalu di dunia kerja saya membaca buku tentang Reliability karya John Moubray, semacam kitab kuningnya ilmu strategi perawatan mesin. Tapi saya tak pernah menanyakan apa agama mereka. Jadi, apa salahnya kita menimba ilmu pada liberalis?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top