Teheran, pertengahan musim gugur November 2018. Museum Film Teheran terlihat lebih syahdu dipayungi langit abu-abu. Hujan yang turun sedari pagi seperti enggan berhenti. Di sebuah ruangan galeri, poster-poster film dari masa ke masa seperti memberi kehangatan di tengah cuaca dingin.
Sejarah panjang perfilman Iran terekam apik dalam ruangan museum ini. Tak terbilang jumlahnya para sutradara yang telah melahirkan karya-karya mendunia, begitu juga fim-film yang bernafas religi.
Ingatan saya langsung terbawa pada film “Muhammad Rasulullah” yang dirilis tahun 2015. Sebulan setelah penayangan perdana, film ini masih bertengger di bioskop-bioskop Teheran. Berkali-kali saya gagal nonton, karena tiket selalu terjual habis.
Pernah suatu malam, setelah mengantri cukup panjang, saya harus pulang dengan tangan kosong karena hanya tersisa tiket yang tayang pukul 12 malam. Sementara durasi film hampir 3 jam. Terbayang, bisa-bisa saya tidur di bioskop. Untunglah, beberapa hari kemudian saya mendapat tiket dengan membeli secara online.
Malam itu, saat duduk di teater 10 Koroush, saya menikmati jejak-jejak Nabi yang penyayang.
***
Muhammad kecil tak dapat memejamkan mata, lantaran suara rintihan para budak yang kehausan. Tangan kaki dirantai, sementara pakaian mereka kumal dan tubuh menggigil. Muhammad yang tak kuasa menyaksikan pemandangan itu menghabiskan malamnya dengan mengisi gerabah air dan menuangkannya ke dalam mulut-mulut kering mereka. Dari balik tabir tenda, Aminah, sang bunda, menyaksikan dengan mata berkaca-kaca.
Di bagian lain, terlihat saat Muhammad yang mulai beranjak remaja tengah menggembalakan kambing-kambing di padang sabana. Suara gaduh pertengkaran perempuan dan laki-laki menggelisahkannya. Berjalanlah ia mendekati arah suara.
Ternyata, mereka pasangan suami istri yang sedang meributkan kelahiran bayi perempuan. Si ayah yang merasa itu aib ingin menguburkan bayi hidup-hidup, namun sang Ibu yang susah payah mengandung dan melahirkannya tak rela dengan perbuatan si suami. Muhammad datang menggendong bayi perempuan cantik yang hampir di kubur hidup-hidup. Dengan lemah lembut, ia menunjukkan kepada si ayah betapa cantik bayi perempuannya itu. Ajaib, amarah lelaki itu mulai mereda.
Dua potongan film “Muhammad Rasulullah” (Muhammad: The Messenger of God) ini, seperti mewakili janji Majid Majidi, sang sutradara, untuk menampilkan kehidupan Rasulullah yang welas asih. Bertahun lalu ia merasa terluka oleh penayangan film yang menghina Nabi Muhammad di Denmark. Ia pun tak memenuhi undangan festival film di kota itu, karena penghormatannya kepada baginda Nabi.
Saat itu, ia berjanji untuk membuat film sisi kehidupan Nabi Muhammad yang tak banyak diketahui dunia Barat. Setelah melakukan riset selama tiga tahun melalui berbagai sumber sejarah, baik dari kalangan sunni maupun syiah, serta empat tahun pengambilan gambar, film ini akhirnya bisa dinikmati masyarakat luas.
Film tentang Nabi Muhammad ini termasuk salah satu film relijius dengan kemasan sekelas Hollywood. Di beberapa bagian kita akan melihat perpaduan gambar dan musik yang luar bisa, seperti saat penyerangan pasukan Gajah ke kota Mekkah, saat melukiskan suasana khidmat kelahiran Nabi Muhammad, atau episode menjelang akhir, saat para sahabat berjalan membawa lampu-lampu tempel dengan latar suara wahyu dari langit. Benar-benar membawa emosi kita seolah masuk dan menjadi bagian dari potongan film itu.
Majid Majidi tidak bekerja sendiri, ia menggandeng beberapa sineas internasional yang pernah memenangkan Academy award dan Oscar seperti, Vittorio Storaro dan AR Rahman sebagai sinematografer dan penata musik.
Tempat pengambilan gambar juga dibangun khusus selama hampir satu tahun. Kota Mekkah dan Madinah buatan itu benar-benar terlihat seperti di kawasan jazirah Arabia, padahal lokasinya di wilayah Iran, dekat jalan tol antara Teheran-Qom. Film ini diperkirakan menelan biaya sekitar US$40 juta (Rp560 miliar lebih) sekaligus menjadi film termahal dalam sejarah Iran.
Di sisi lain membuat film dengan latar sejarah Nabi memang tidak mudah. Adegan-adegan dalam film akan dengan mudah tertebak oleh penonton. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi sutradara. Namun, Majid Majidi menyiasatinya dengan membuat alur flashback. Film diawali dengan makar kaum Quraisy yang ingin mendesak Abu Thalib agar berpihak pada mereka dalam peristiwa pemboikotan ekonomi di Syi’ib. Di tengah kegalauan itulah Abu Thalib, yang diperankan oleh Mehdi Pakdel, teringat berbagai mukjizat Nabi sebelum kelahiran hingga masa remaja.
Potongan-potongan kehidupan Nabi Muhammad kecil pun mengalir dalam layar, sejak kehadiran sosok Halimah Sadiyah yang sangat signifikan dalam sejarah sampai ramalan sang pendeta Bukhara Kristen tentang kenabian beliau. Bahkan, berbagai ekspresi kesedihan maupun kebahagiaan Aminah yang sulit kita resapi saat membaca buku sejarah, tergambar secara utuh dalam film ini. Atau bagaimana welas asih yang ditunjukkan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib, bisa kita rasakan secara jelas. Sulit mendeskripsikan potongan-potongan ini kecuali Anda menyaksikannya sendiri.
Dari seluruh bagian film, saya menangkap pesan humanistik menjadi benang merah yang merekatkan episode demi episode. Dan memang begitulah kehidupan nyata Nabi yang kerap disalahpahami oleh media Barat. Sejak kecil ia telah memiliki rasa empati yang dalam agar kelak saat diangkat menjadi Nabi mampu memimpin umat dengan cinta, menjadi pelindung dan rahmat bagi seluruh alam.
***
Di museum film ini, saya kembali mengingat perjuangan para pekerja seni yang berupaya menampilkan nilai-nilai luhur Islam dalam bentuk film.
Sayangnya, tak semua jerih payah mereka ini menuai pujian. Kehadiran film Muhammad Rasulullah sendiri sempat menuai kecaman, terutama dari para ulama konservatif di beberapa negara Arab.
Di antara alasan yang kerap dilontarkan adalah munculnya sosok Nabi Muhammad dalam film itu, dianggap mengurangi kesakralan Nabi. Walaupun sebenarnya, kekhawatiran itu tidak terlalu mendasar, karena meskipun sosok kanak-kanak Nabi ditampilkan, hanya tampak belakang dan samping, sementara bagian muka tetap tidak diperlihatkan.