Pekan kemarin majalah mahasiswa Arena, UIN Sunana Kalijaga Jogjakarta, sedang merayakan ulang tahun ke-43. Usia yang tidak muda bagi institusi kemahasiswaan. Mereka telah melewati banyak generasi dan suasana politik bangsa ini. Mereka patut merayakannya dengan gembira.
Salah satu kegiatan mereka adalah memamerkan foto lawas. Saya ikut menikmati pameran foto-foto lawas, dari tahun 1970an hingga 1990an, dari jarak jauh, yakni melalui unggahan foto-foto Cak Rozaki (Dr. Abdur Rozaki) di Facebook. Cak Rozaki begitu bergairah mengunggah foto-foto tersebut hingga mengunggah foto dirinya (pura-pura) tertidur di bangku karena mengaku kelelahan.
Foto-foto lama dokumentasi majalah Arena memang layak dibuka untuk umum. Bukan cuma untuk nostalgia foto-foto itu, tapi juga dokumen penting yang menggambarkan situasi mahasiswa era itu. Foto-foto, yang diunggah Cak Rozaki, mulai merekam cara berpakaian berikut gaya rambutnya, suasana kesederhanaan dan kebersamaan, ada mesin ketik dan sepeda onthel, tampak kegiatan jurnalisme dan kemahasiswaan yang mereka lakukan. Tentu saja, tidak ketinggalan, foto-foto yang merekam kondisi kesewenang-wenangan era itu.
Cak Rozaki mengunggah tiga lembar foto berjudul “Demonstran Bersimbah Darah”. Foto pertama terlihat tidak kurang dari 25 mahasiswa yang berdemonstrasi, seorang di antaranya sedang berorasi. Dua foto lainnya menunjukkan resiko demo zaman itu, antara lain, dipukuli.
“Pada pameran arsip di ulang tahun MM Slilit Arena ke-43, saya diingatkan dua foto demonstran berikut ini, yakni Mas Gatot Indroyono dan Arifan Syafe’i yang bersimbah darah dan dilarikan ke rumah sakit. Peristiwanya seingatku, keduanya luka dipukul oleh preman rektorat sebagai bentuk teror atas aksi-aksi keduanya. Untuk kepastian peristiwanya, barangkali keduanya bisa memberi testimoni lebih lanjut,” tulis Cak Rozaki di Facebook.
Postingan tersebut memberi kabar pada kita semua bahwa tindakan represif, militerisme, kekerasan, tertutup, bukan saja milik negara dan tentaranya, tapi juga dilakukan (telah menjadi budaya) oleh pihak sipil, intelektual, akademisi, berikut institusi pendidikannya.
Yang menarik perhatian saya lagi –yang tersirat dari postingan Cak Rozaki– adalah sosok-sosok dalam foto-foto tersebut. Mereka adalah anak-anak santri, Nahdliyin, mahasiswa-mahasiswa yang sebelumnya dikader, dididik, oleh ulama di pesantren.Imam Aziz, Burhan, Ahmad Suaedy, Sastro al-Ngatawi, Nurul Huda, Hairus Salim, Hidayatut Thayibah, Mukhotib MD, Abdur Rozaki, dan lain sebagainya adalah para alumni pesantren. Hingga hari ini, mereka tetap masih “kluyuran” di pesantren, dan semuanya menjadi tokoh-tokoh kunci di bidang dan posisinya masing-masing.
Mereka adalah anak-anak santri yang begitu mencintai ilmu pesantren, komunitas pesantren, dan tradisi pesantren, sambil membuka diri, keluar dari “khittahnya” sebagai santri, baik dari segi pergaulan, ilmu, tradisi hingga profesinya.
Alhamdulillah, saya sempat menikmati kunjungan kawan-kawan majalah Arena ini ke pesantren Krapyak sekitar tahun 1997/1998. Waktu itu saya menjadi santri di sana. Kru majalah tersebut, para santri itu, ada almarhum Gareng, Sunu, Ichwan, Faqih, Nur Isma, Ismahfudi, dan lain-lain datang ke pesantren untuk mengenalkan dan melatih dunia jurnalisme kepada para santri.
Bagi para santri, seperti saya ini, kedatangan mereka sangat bermanfaat, mereka menambah pengetahuan dan memancing imajinasi para santri untuk memikirkan dunia lain, di luar “khittah” sebagai santri. Hal-hal kecil yang turut mereka bawa ke pesantren, seperti celana jins robek, rambut gondrong, urakan, dan humor yang tidak ada di pesantren, juga ikut “menggoyang” kemapanan para santri yang lugu-lugu seperti saya.
Sebab kedatangan mereka itu, saya yang waktu kuliah di UIN Suka aktifnya di majala Advokasia, juga merasa menjadi bagian dari majalah Arena, karena silsilah keilmuan dan imajinasi jurnalistiknya dari mereka. Selamat ulang tahun Arena.