Agama pada mulanya ada sebagai solusi. Ia dianggap sebagai alternatif dari kerusakan dan keterpurukan. Melalui wahyu dan nabi, agama mengajak manusia kembali kepada fitrahnya. Islam pun demikian halnya. Ia hadir sebagai sebuah jalan dari sistem yang jahiliah. Jahiliah disini tak hanya dimaksudkan sebagai terpuruk, menindas dan rusak. Jahiliah juga dimaknai sebagai mundur kebelakang dan bodoh. Islam sebagai sebuah agama memang diharapkan mampu menjadi jalan penerang dari persoalan kemanusiaan.
Gus Dur pernah menulis perihal tantangan agama menghadapi soal kemanusiaan ini dalam tulisan yang diterbitkan oleh LP3ES tahun 1986. “Mampukah kaum muslimin merumuskan kembali sendi-sendi keimanan mereka untuk memberikan legitimasi keagamaan yang penuh kepada keadilan sosial dalam artian yang struktural?; adakah kesediaan mereka untuk menerima konsekuensi terjauh dari perubahan mendasar dalam orientasi kehidupan mereka itu (termasuk penghancuran elite-keagamaan yang berwatak kolaboratif dalam hubungannya dengan super-struktur lain?); dapatkah diterima perubahan mendasar dalam tatanan moralitas masyarakat?.” Lebih lanjut ia menuliskan : “jawaban islam” itu harus bermula dari hal-hal esensial seperti perumusan kembali kedudukan manusia dalam kosmologi islam.”
Islam, pada akhirnya tak hanya sekadar mendiamkan umatnya, tapi juga menuntut. Ahmad Syafii Maarif dalam buku Islam Multidimensional (1986) menulis : “Setelah menjadi muslim, maka muslim ditugaskan untuk mengontrol, menguasai serta mengarahkan sejarah—dan bukan menjadi umat yang dipermainkan sejarah, yaitu umat yang sekadar melempem dalam kehidupan yang penuh persaingan ini, melainkan muslim yang berkualitas tinggi yang memberikan arah moral kepada perjalanan sejarah umat manusia.” Masalah-masalah agama, termasuk di dalamnya agama Islam tak bisa dilepaskan dari perilaku umatnya. Umat islam ikut menentukan apakah islam di kemudian hari menjadi solusi dari persoalan kemanusiaan atau sebaliknya. Soekarno di bukunya Di Bawah Bendera Revolusi menulis : “Bukan Islam, melainkan yang memeluknjalah jang salah!”.
Era sekarang, islam dan agama-agama yang lain memiliki musuh yang membahayakan. Agama di era sekarang dihadapkan pada musuh-musuhnya. Musuh-musuh itu bukan antar pemeluk agama, tapi pada diri umat agama itu. Musuh agama menurut Dr. Frans Dahler (1970) ada tiga hal. Agama menurutnya, akan mencemaskan terutama dalam tiga bentuk yaitu ; fanatisme, takhayul, dan fatalisme. Ketiga hal inilah yang menjadi musuh agama. Dalam praktiknya, ketiga penyakit ini telah terbukti memberikan dampak yang cukup mengerikan bagi berlangsunnya kehidupan agama yang damai dan harmonis.
Fanatisme dalam tensi tertentu mengarah pada dominasi politik dan cita-cita mendirikan negara agama. Sikap fanatisme agama ini mengakibatkan orang menjadi tertutup, eksklusif dan memandang agamanya sendiri paling benar. Ia tak menghiraukan pandangan agama lain, apalagi melihat ada hal yang benar dari ajaran agama lain. Di Indonesia sendiri, sampai saat ini muncul kelompok yang hendak mendirikan negara agama. Jaringan kelompok yang hendak mendirikan negara agama ini kemudian menjelma dalam bentuk tindakan kekerasan seperti terorisme. Mereka menganggap simbol-simbol negara sebagai musuh yang harus dihancurkan. Fanatisme memiliki bahaya yang lain diantaranya adalah takfirisme. Fanatik yang berlebihan kepada agama tertentu akan membuat kita mudah mengkafirkan orang lain, menyalahkan orang yang beda pandangan, dan beda agama dengan kita. Inilah musuh yang harus diwaspadai.
Musuh kedua adalah takhayul. Takhayul diartikan sebagai “sikap egoistis manusia, dimana ia mengabdikan Tuhan, atau kekuasaan adikodrati untuk kepentingannya sendiri. Tuhan harus melayani kepentingan manusia!.” Orang yang memiliki sikap takhayul memaksakan Tuhan untuk melakukan sesuatu baginya. Takhayul merusak iman sejati, ia memboroskan uang dan kesehatan. Orang yang memiliki sikap takhayul, tak percaya sepenuhnya kekuatan Tuhan, dan anti terhadap rasionalisme, dan condong pada animisme. Meski era sekarang sudah era modern, akan tetapi masih banyak orang yang masih percaya pada makhluk-makhluk halus memiliki kekuatan melebihi Tuhan.
Musuh agama yang ketiga adalah fatalism. Sikap fatalis mempunyai pandangan tentang Tuhan yang picik dan paham yang tidak realistis tentang dunia. Tuhan seolah-olah menakdirkan segala nasib buruk. Fatalisme di Indonesia yang bercokol di belakang topeng agama melumpuhkan daya tekun, kekuatan untuk melawan rintangan-rintangan, dan menghambat pembangunan nasional di segala bidang (Dahler, Franz, 1970 : 10).
Ketiga sikap inilah yang menjadi kendala dan masalah yang menghampiri kita dalam kehidupan beragama kita. Sikap fanatik, takhayul maupun fatalis akan membunuh agama perlahan. Agama jadi kehilangan kesakralannya. Dengan demikian, ketiga sifat itu telah mengakibatkan pada kemunduran agama. Lebih jauh lagi, ketiga sifat ini menghancurkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan dalam kehidupan dan kerukunan antar umat beragama.