Sedang Membaca
Perempuan Arab Saudi dalam Novel Badriyah el Bisr

Perempuan Arab Saudi dalam Novel Badriyah el Bisr

Perempuan Arab Saudi dalam Novel Badriyah el Bisr

Selama beberapa dekade, perempuan Arab Saudi seringkali menjadi korban budaya patriarki. Laki-laki seringkali mendapatkan nilai ‘lebih’ dan ‘utama’ dalam sudut pandang masyarakat di sana. Adapun beberapa faktor yang mendasari budaya tersebut adalah penafsiran agama yang cenderung misoginis, kefanatikan terhadap tradisi yang selalu mengunggulkan gender laki-laki, juga diperkuat dengan sistem pemerintahan monarki yang membatasi suara masyarakatnya, termasuk perempuan.

Di Arab Saudi, perempuan sangat dekat dengan pelabelan tabu.Segala hal yang berhubungan dengan mereka selalu diatur dan ditundukkan. Hal ini tidak terlepas dari awal pembentukan berdirinya negara tersebut yang merupakan perpaduan antara politik dan agama.

Budaya patriarki yang ada di Arab Saudi nyatanya mampu mempengaruhi berbagai bidang, termasuk dalam karya sastra (red: novel) yang ditulis oleh laki-laki Arab Saudi seringkali hanya menjadikan perempuan negerinya sebagai subjek semata, seperti novel Al Qārūrah karya Yousef Al-Mohaimeed (2004), ataupun Saqfu al Kifāyah karya Mohammed Hasan Alwan (2002). Kedudukan perempuan dalam novel-novel tersebut diposisikan sebagai sosok yang tidak memiliki kemandirian dan seolah hanya memiliki tugas utama, yaitu sebatas melayani laki-laki.

Berangkat dari fakta yang ada, menjadikan perempuan-perempuan Arab Saudi juga turut berusaha untuk mencitrakan diri mereka sebagai ‘perempuan’ melalui novel yang mereka tulis. Tentu saja usaha mereka tidak mudah, Huda Bakheet Al Matrafi dalam penelitiannya yang diterbitkan pada tahun 2021, mendapati bahwa generasi awal novelis perempuan Arab Saudi (1950-an) bahkan tidak berani menuliskan namanya dengan gamblang, seperti Samira Khassogi yang menggunakan nama samaran Samirah Anak Jazirah Arab dalam novelnya “Wada’tu Âmâlî”.

Baca juga:  Melindungi Perempuan (4): Waspadai Pelecehan Seksual yang Dinormalisasikan

Seiring berjalannya waktu, semangat dakwah feminis Samira Khassogi pun berhasil mengilhami generasi setelahnya. Hingga sampai pada puncak di mana para novelis perempuan Arab Saudi tidak lagi peduli dengan norma patriarkis yang serba tabu saat perempuan mencoba untuk bereksistensi. Mereka memiliki keberanian penuh untuk mengkritik kondisi sosial yang ada dengan membuat alur cerita keberpihakan pada kaum perempuan, dengan membubuhkan semangat kesetaraan, semangat keadilan, dan semangat perjuangan dalam melawan ketidakberdayaan.

Salah satu novelis yang mengangkat isu perempuan Arab Saudi dengan berani adalah Badriyah el Bisr dalam beberapa novelnya, salah satunya adalah dalam novel Gharamiyyât Syâri’ Al- A’sya. Novel ini menceritakan empat perempuan Arab Saudi yang berjuang untuk mengekspresikan kebebasan dari  jeratan budaya patriarki yang mereka alami. Melalui keempat tokoh perempuan yang ada, yaitu Azizah, Wadha, Muznah dan Atwa, Badriyah berhasil mencitrakan perempuan Arab Saudi yang memiliki kemandirian dan keberanian untuk melawan penindasan.

Beberapa budaya patriarki yang diangkat Badriyah dalam novelnya tersebut adalah pembatasan ekspresi perempuan dalam ruang sosial, pemaksaan pernikahan dini, pembebanan ruang domestik, pelarangan pernikahan antarnegara, dan juga pembatasan hak dalam ruang publik. Berhadapan dengan budaya tersebut, Badriyah menggambarkan Azizah sebagai perempuan Arab Saudi yang memiliki keterbukaan atas budaya luar negeri, dalam hal ini adalah budaya perempuan Mesir yang ia dapati dari film Mesir yang selalu ditontonnya. Bagi Azizah, menjadi perempuan Mesir adalah istimewa. Mereka dengan leluasa keluar tanpa aturan perwalian yang mengikat, berbincang dengan pemuda yang ditemuinya, serta duduk di bis sendirian tanpa harus diawasi dengan pandangan yang memarginalkan.

Baca juga:  3 Perempuan Penulis Kitab

Terkait sosok Wadha, Badriyah mencitrakan perempuan Arab Saudi yang berhasil menabrak tradisi sosialnya, dengan banyak berdiskusi dengan para laki-laki di desanya.  Meskipun ia adalah korban pemaksaan pernikahan dini oleh kedua orang tuanya, dan ketidakbertanggung-jawaban suaminya yang menjadikan dirinya berada dalam kemiskinan, namun, ia berhasil keluar dari  tersebut dengan memberanikan diri untuk memulai kembali menata hidupnya untuk tidak menggantungkan dan menyandarkan diri pada laki-laki. Ia memulai hidupnya yang madniri dengan berjualan kardus bekas hingga susu kambing dan telur ayam, dan menjadikan dirinya menjadi saudagar kaya secara perlahan.

Atwa yang sedari kecil mendapatkan penindasan sang ayah dengan penambahan beban domestik dan pembatasan ruang publik, berhasil memberontak dan kabur dari cengkeraman ayahnya dan memulai hidupnya dengan menjadi asisten seorang saudagar perempuan kaya di pasar. Ia juga lebih memilih untuk belajar berdagang ketimpang mempelajari urusan rumah tangga yang diajarkan kepadanya. Adapun yang terakhir adalah Muznah, yaitu anak gadis Wadha. Kisah cintanya kepada Rasyid, seorang Palestina, sangat ditentang oleh keluarganya dengan dalih bahwa menikah dengan orang luar Arab Saudi adalah aib. Namun, Muznah dengan berani menentantang hal tersebut dan mempertahankan pilihannya, meski ia harus hengkang dari rumahnya.

Berangkat dari apa yang dituliskan Badriyah untuk mencitrakan perempuan Arab Saudi dari sudut pandangnya, karakter-karakter perempuan yang diumunculkan berhasil menjadi wacana tersendiri bagi kita pembaca sastra dan budaya perempuan di sana. Menjadikan refleksi bahwa kesadaran atas penindasan oleh budaya patriarkis Arab Saudi, sudah mulai dimunculkan sejak pertengahan abad kedua puluh. Novel Gharâmiyyât Syâri’ Al-A’syâ  yang secara resmi diterbitkan pada tahun 2013 tersebut, setidaknya mampu menjadi jejak tambahan bagi referensi perjuangan dan semangat feminisme di Arab Saudi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top