Tak banyak yang diketahui bagaimana masa kecil Kiai As’ad Syamsul Arifin dijalani. Dalam banyak buku sejarah beliau, kehidupan masa kecil Pahlawan Nasional itu lumrahnya seperti anak para kiai pada umumnya, mengaji, mondok dari satu pesantren ke pesantren lain, belajar hingga ke Mekkah dan lain sebagainya.
Kehidupan seperti bagaimana interaksi beliau dengan teman-temannya, bagaimana ia bermain bersama teman sepantarannya praktis tak ditemukan dalam manaqib Kiai As’ad. Padahal sebagaimana anak kecil di usianya, ia tentu bisa hidup bermain bersama dengan teman-temannya.
Itulah masa yang oleh oleh Kiai As’ad sendiri disebut dengan “caretana lanceng kona”, terjemahnya, “Kisah anak zaman dulu.
Kisah anak muda zaman dulu atau dalam bahasa Kiai As’ad “caretana lanceng kona”, penulis tahu dari Gus Sholeh Zubair, ia dari abahnya, Kiai Zubairi al-Muayyadl, Silo Jember. Beliau berkisah bahwa ketika mondok di Pesantren Asembagus Situbondo, Kiai As’ad sering mengumpulkan santri. Mereka dikumpulkan untuk diberi pencerahan banyak hal, mulai dari soal NU, Negara, Ekonomi, Politik hingga romantika-romantika masa muda Kiai As’ad. Nah, melalui forum itu, Kiai Zubair dan banyak alumni senior tahu perjalan Kiai As’ad.
Dalam catatan, Kiai As’ad hidup di zaman kolonialisme dan imprelisme. Banyak sekali etape hidupnya yang bertemu langsung dengan para penjajah. Ritme kehidupan yang keras dan menantang seperti itu membuat beliau tampil sebagai anak muda yang pemberani sekaligus “sakti”. Itu makin dikuatkan dengan kultur dimana beliau hidup; Madura. Sebagai contoh, ada beberapa kisah yang bisa ditayangkan sebagai bukti beliau adalah tipikal anak muda yang berani sekaligus sakti.
Pertama, Dalam keyakinan masyarakat Madura, peninggalan leluhur, apalagi memang diketahui sebagai sosok yang saleh, bisa dijadikan jimat. Kiai As’ad Syamsul Arifin secara garis keturunan memiliki leluhur yang sangat saleh, pejuang dan banyak memberi kemanfaatan. Dan beliau memiliki peninggalan berupa lidi milik leluhurnya. Banyak orang yang ingin untuk memiliki lidi tersebut, tak terkecuali para penjajah.
Suatu pagi di sebuah pasar di Madura Kiai As’ad sedang membawa lidi itu, ketika asyik berjalan di tengah pasar ada seorang kompeni atau Belanda atau Londo yang mengganggu Kiai As’ad. Londo itu memaksa untuk mengambil lidi yang dipegang Kiai As’ad. Walau dipertahankan dengan susah payah akhirnya lidi itu berhasil diambil paksa.
Setelah bersitegang cukup lama, kesabaran Kiai As’ad muda sudah habis. Dengan nada keras, ia membentak dan menampar londo dan mengambil lidi itu. Masyarakat se antero pasar geger dan kaget bukan main. Hal ini Bukan hanya karena Kiai As’ad berhasil mengambil benda warisan leluhurnya namun Kiai As’ad minggallkan londo itu bungkam seolah-olah ia tak bisa bicara dan ia berdiri mematung, badannya tak bisa digerakkan. Pejabat se-Kwedanan Madura kaget bukan alang kepalang, semuanya mencari sosok anak muda yang sempat bersitegang di Pasar tadi pagi. Sementara itu Kiai As’ad hilang dari peredaran. Tak tahu dimana sekarang ia berada.
Melihat kondisi yang sedemikian genting, tak ada cara lain kecuali mendatangi ayahanda Kiai As’ad, Yaitu Raden Ibrahim atau yang dikenal dengan Kiai Syamsul Arifin. Seperti mengemis, londo-londo Belanda memohon agar Kiai Syamsul membujuk putra tersayangnya untuk “mencabut” “karma” kepada londo yang sedang mematung itu.
Mendapat kabar itu, Kiai Syamsul Kaget karena ia tak tahu menahu kasus di pasar tadi pagi. Setelah mendengar pengaduan itu, Kiai Syamsul mencari anak pertamanya dan meminta agar londo tadi “dilepaskan” kembali. Akhirnya londo tersebut dimaafkan dan ia bisa beraktivitas kembali.
Kisah kedua penulis terima dari Kiai Muhyiddin Abd. Shomad, pengasuh Pesantren Nurul Islam sekaligus Rais Syuriyah PCNU Jember ketika acara Haul Majemuk untuk Keluarga Besar Pesantren Asembagus Situbondo bulan Januari yang lalu. Beliau berkisah, salah satunya tentang “kesaktian” Kiai As’ad di masa muda. Ceritanya, dulu di daerah Pamekasan Madura, tempat leluhur Kiai As’ad ada seorang ustaz. Ustaz baru tersebut menjadi sorotan banyak mata karena ia kerap menyalahkan tradisi dan prilaku keagamaan masyarakat Madura, seperti tahlilan, maulidan, ziarah kubur dan lain sebagainya.
Sebenarnya ada beberapa tokoh yang sudah memberi counter jawaban, akan tetapi secara tampilan ustaz muda itu lebih menyakinkan di hadapan orang awam. Dakwahnya yang terus menyalahkan ritus keagamaan masyarakat Madura berjalan tanpa kendala sedikitpun. Akhirnya, banyak masyarakat mengadukan hal itu kepada Kiai As’ad Muda. Masyarakat meminta Kiai As’ad untuk menghentikan dakwah ustaz muda, Kiai As’ad pun berkenan untuk dipertemukan dengan sang ustaz untuk “debat” terbuka.
Info “debat terbuka” antara Kiai As’ad muda dan ustaz beredar dengan cepat. Orang-orang penuh antusias hendak melihat momen bersejarah itu. Hingga waktu yang dijadwalkan tiba, masyarakat berbondong-bondong membawa lampu petromak ke sebuah Mesjid. Jam sudah sekian larut, seisi mesjid sudah dipenuhi banyak orang. Hanya saja, Kiai As’ad, sosok yang dielu-elukan tak kunjung datang. Publik cukup was-was.
Suasana hening berubah menjadi gegap gempita ketika sosok Kiai As’ad muda muncul di pintu utama. Setiap derap langkahnya terus menjadi perhatian banyak pasang mata. Ketika sudah di depan sang ustaz, tanpa salam, tanpa basa-basi, Kiai As’ad langsung bertanya dengan nada yang keras, “Arapa oreng amolod mak esalaaki? Arapa oreng atahlil mak esalaaki? Been sapa?” bahasa Madura terjemahnya, “Kenapa orang bermaulid disalahkan?, kenapa orang bertahlil disalahkan? Kamu siapa?” kiai As’ad mengucapkan itu sembari menampar ustaz tersebut. Dan diikuti dengan ucapan maaf sang ustaz dan berjani untuk mengikuti Kiai As’ad.
Di akhir cerita, Kiai Muhyiddin Abd. Shomad menambahkan bahwa kisah tersebut menunjukkan karamah, kharisma dan kesaktian Kiai As’ad. Kiai As’ad mampu membuat orang diam tanpa kata, terpengaruh dengan kharisma yang dimilikinya. Kata beliau, “ini tidak untuk ditiru, karena tak sembarang orang bisa melakukannya”.
Itulah Kisah masa muda Kiai As’ad yang sarat dengan perjuangan, nilai empati, keberanian dan penuh kharisma. Kharisma itu terus melekat pada diri Kiai As’ad sampai akhir hayatnya, hingga sosok penguasa Orde Baru, Soeharto menaruh rasa hormat yang amat tinggi pada Kiai As’ad Syamsul Arifin dan menjadikannya sebagai guru spritual. Dalam sebuah keterangan, Presiden Soeharto berhasil “dikalahkan” Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Btw, memang ada bacaan dan amalan yang salah satu manfaatnya bisa membuat lawan bicara down dan dia akan membebek pada kita. Jika Anda ingin tahu, silakan berkunjung ke Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus Situbondo.