Sedang Membaca
Pedro Paramo, Realisme Magis, dan Soal Agama Amerika Latin
Muhammad Aswar
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mukim di Yogyakarta.

Pedro Paramo, Realisme Magis, dan Soal Agama Amerika Latin

Novel Pedro Paramo (karangan Jual Rulfo, terbit pertama kali pada 1955) diawali dengan kedatangan Juan Preciado ke Comala. Tak jauh dari sana, terdapat peternakan Media Luna milik Pedro Paramo. Ia datang untuk memenuhi amanat terakhir ibunya sebelum mati, menemui Pedro Paramo yang tak lain adalah ayahnya sendiri.

Preciado tak menemukan apa-apa. Pedro Paramo telah mati sebelum ia tiba. Dia hanya menemukan kota mati dengan penduduk yang aneh. Dari rangkaian peristiwa menakjubkan, Preciado akhirnya menyadari bahwa penduduk yang ia temui semuanya telah mati.

Tidak berhenti di situ. Preciado juga telah mati bahkan sebelum cerita dimulai. Tokoh-tokoh yang ia temui adalah memori-memori asing yang memiliki keterkaitan dengan Pedro Paramo, ibunya serta Comala. 

Memori itu memantul dari dalam dirinya, menjelaskan perihal kejatuhan kota Comala beserta Pedro Paramo sebagai patron. Alur bergerak dalam arus waktu yang tak linier: kadang berada di Comala yang didatangi Preciado, kadang pula berada di waktu lampau yang dihuni memori-memori yang berkelebat dalam diri Preciado.

Cerita ditutup dengan peristiwa kematian Pedro Paramo setelah rangkaian pemberontakan. Seluruh penduduk Comala tewas. Yang tersisa hanya arwah-arwah yang tak bisa masuk surga namun enggan masuk neraka lantaran Pastor Renteria menolak pertaubatan mereka. 

Baca juga:  Kematian tanpa Tangisan

Realisme dalam Lintasan Peristiwa

Pedro Paramo ditulis setelah rangkaian sejarah yang mengubah tatanan Meksiko. Dimulai dari pemberontakan sporadis terhadap struktur quasi-feodal yang dijalankan gereja dan presiden diktator Porifio Diaz. Pemberontakan ini dijadikan latar kota imajiner Comala ciptaan Rulfo. 

Pemberontakan diinisiasi oleh kaum borjuis pribumi (kelas menengah). Mereka menuntut pemberlakuan Hukum Reformasi yang dijanjikan Diaz pada 1850. Salah satu tujuan hukum tersebut adalah mengalihkan kepemilikan properti gereja menjadi milik negara. Mereka mencegah hasil bumi Meksiko mengalir deras ke Roma, beserta pajak rutin kepada gereja. 

Puncaknya adalah Revolusi Meksiko yang berlangsung pada 1910.  Meski Diaz menang dalam pemilihan presiden, namun Franciso Madero yang mewakili kelas menengah dalam pemilihan, menyuarakan reformasi yang didukung oleh sipil dan militer. Pada 20 November terjadi perang berdarah antara pendukung Diaz dan Madero. Diaz akhirnya mengundurkan diri dan diganti Madero pada Mei 1911.

Kondisi Meksiko tak kunjung membaik pasca revolusi meski dengan sistem ekonomi liberal. Para klerus dan pastor menjadi kelompok yang paling dirugikan dengan pengalihan tanah ke masyarakat. Gereja yang masih menjadi sentral terus mengumpulkan massa untuk memberontak. Madero hanya menjabat selama dua tahun setelah terbunuh pada 1913.

Hampir satu dekade pemerintahan negara tak berfungsi, sehingga tatanan diambil alih oleh penguasa-penguasa lokal. Pada awal tahun 1925, Plutarco Elias Calles yang baru menjabat presiden, mulai memberlakukan hukum baru dan meredam dominasi gereja. Ia mendepak banyak pastor asing dari Meksiko. Beberapa gedung milik gereja disita. Uskup Agung dipenjara setelah secara terang-terangan menentang negara.

Baca juga:  Satu Tuhan, Beda Agama: antara Al-Hallaj dan Gus Dur

Juli 1926, para uskup Meksiko menghentikan pelayanan ibadat di gereja. Aksi ini menyulut api pemberontakan Cristeros yang tragis. Ribuan orang Katholik yang dikompori oleh para pastor berperang atas nama agama sambil mengusung patung Perawan Guadalupe. Meski tak semua pastor mendukung kelompok Cristeros, namun konflik ini betul-betul telah terjadi atas nama agama. Setidaknya 70.000 ribu orang terbunuh dalam perang yang berlangsung selama tiga tahun.

Magis Sebagai Perlawanan

Rangkaian peristiwa tersebut membekas dalam kehidupan Juan Rulfo. Rulfo muda lebih sering menutup pintu kamar lantaran takut tertembak. Ia mengalami trauma mendalam terhadap agama setelah ayah dan pamannya terbunuh dalam Perang Cristeros. 

Perang tersebut menjadi latar utama Pedro Paramo yang menewaskan Pedro Paramo beserta seluruh penduduk Comala. Di samping itu, keberadaan gereja yang diwakili Pastor Renteria, sering memantik pertikaian kecil di Comala yang berujung pada nasib mereka setelah mati: penduduk Comala ditakdirkan menjadi penghuni neraka. 

Perlawanan Juan Rulfo terhadap dominasi gereja mirip dengan Things Fall Apart karya Chinua Achebe. Okonkwo mati gantung diri setelah tak mampu melawan gereja sebagai bentuk baru kolonialisme. Dengan agama, Afrika ditundukkan tanpa pertumpahan darah.

Rulfo  memaparkan kehidupan Dunia Ketiga setelah keberadaan gereja. Para uskup dan pastor menjelma tuan tanah, menjalankan kehidupan quasi-feodal. Masyarakat diperkenalkan surga yang diperuntukkan bagi orang-orang yang tunduk pada gereja, bagi mereka yang mendiamkan kolonialisme. 

Baca juga:  Facebook dan Kematian

Arwah-arwah yang menolak dilemparkan ke neraka adalah bentuk perlawanan ideologis bagi api penyucian. “Di sinilah surga kami,” kata Eduvigas dalam salah satu dialognya, menunjuk arwah-arwah yang mendiami Comala. 

Perlawanan magis dari realisme magis adalah perlawanan yang tidak terhenti di dunia. Lewat agama, kolonialisme menjajah Dunia Ketiga, bahkan setelah kematian. Juan Rulfo menghidupkan arwah-arwah di dunia ini sebagai jalan pembebasan dari kolonialisme dalam bentuk surga dan neraka.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top