Sedang Membaca
Berpuasa, Jangan Minta Dihormati
M. Faisol Fatawi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Humaniora UIN Malang. Pegiat literasi di Kota Malang. Menerjemah banyak buku dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Menyelesaikan program doktoral di bidang Pemikiran Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan disertasi tentang "Naratologi al-Qur'an".

Berpuasa, Jangan Minta Dihormati

Ibadah puasa adalah ibadah spesial jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya yang ada dalam Islam. Jika seseorang melakukan ibadah salat misalnya, maka pahala ibadah itu akan kembali kepada yang bersangkutan. Ketika seseorang melaksanakan zakat misalnya, maka pahala zakat itu kembali kepada orang yang berzakat.

Namun hal seperti itu tidak berlaku untuk ibadah puasa. Puasa itu hanya untuk dan milik Allah. Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan bahwa “semua amal ibadah anak Adam kembali kepadanya kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Aku (Allah) yang membalasnya.”

Secara lahiriyah, seseorang yang berpuasa tidak mudah atau bahkan sulit dideteksi kalau ia sedang menjalankan puasa. Artinya, puasa sebagai amal ibadah tidak bisa dilihat proses dan aktifitasnya kecuali orang yang sedang puasa itu sendiri.

Berbeda dengan seseorang yang salat, teman atau orang di sekelilingnya pasti bisa melihat aktifitas ibadah ini. Demikian pula dengan orang yang melaksanakan sedekah, aktifitasnya juga bisa dilihat setidaknya oleh orang yang diberi sedekah.

Keistimewaan ibadah puasa seperti itu mengisyaratkan kepada kita bahwa puasa sebenarnya menekankan pada aspek mental-personal yang tidak dapat dijangkau oleh penglihatan atau pendengaran. Secara mental, puasa membangun komitmen hubungan antara Allah dan hamba-Nya.

Selama proses berpuasa, seseorang harus menahan diri (imsak) untuk tidak makan-minum atau melalukan hubungan badan (rafats) dalam waktu yang telah ditentukan. Aktifitas menahan diri ini bersifat sangat rahasia. Hanya ada dalam diri dan tidak perlu ditampakkan.

Dalam berpuasa komiten yang rahasia antara Allah dengan hamba ini harus dijaga. Maka, sesunguhnya yang paling tahu bahwa seseorang berpuasa itu adalah dirinya sendiri. Harus ada kejujuran untuk menjalin komitmen dalam berpuasa.

Namun demikian, bisa saja seseorang yang berpuasa keluar dari komitmen itu. Misalnya, dia tetap berpuasa, tidak makan-minum dan melakukan rafats, tetapi melakukan maksiat atau hal-hal yang dapat mencederai nilai puasa seperti melakukan riya, sum’ah, namimah dan lain-lain. Berpuasa seperti ini tentunya tidak sempurna, bahkan mencederai komitmen.

Baca juga:  Politik, Neurosains, dan Kedangkalan Berpikir

Baginda Rasulullah mengingatkan, “betapa banyak orang berpuasa tetapi mereka tidak mendaptkan apa-apa (pahala) kecuali rasa lapar dan haus dahaga.” Sabda nabi ini secara jelas menunjukkan bahwa puasa itu bukan sekedar menahan diri untuk tidak makan atau minum.

Komitmen yang dibangun melalui ibadah puasa melibatkan diri pada sejauhmana seseorang mampu memenej hawa nafsunya. Karena hawa nafsu inilah yang dapat merusak komitmen selama proses berpuasa. Musuh utama dalam berpuasa adalah hawa nafsu yang berpotensi merusak komitmen antara Allah dam hamba. Maka, batal-tidaknya atau berkualitas-tidaknya puasa seseorang bergantung pada diri sendiri, bukan faktor eksternal di luar diri.

Barangkali karena bersifat sangat personal, maka Allah begitu sangat menghormati orang yang berpuasa dengan jalan bahwa hanya Allah yang memiliki puasanya orang yang berpuasa: ibadah puasanya tidak secara otomatis kembali kepada diri seseorang. Beginilah cara Allah menghormati orang yang berpuasa.

Lebih dari itu, Allah menjamin orang yang berpuasa dengan doa para malaikat. Artinya, para malaikat akan selalu mendoakan keselamatan kepada mereka yang berpuasa, yang mampu menjaga hawa nafsunya sehingga bisa menjalin kesempurnaan komitmen antara Allah dan dirinya. Jaminan ini telah disebutkan dalam hadis Nabi saw,

“Seorang yang berpuasa akan didoakan oleh para malaikat ketika seseorang memakan makanan di sisinya sampai makanan itu habis.”

Baca juga:  Karna (5): Mengapa Karna Harus Gugur di Medan Bharatayudha

Komitmen seseorang yang berpuasa untuk tidak tergoda dengan makana yang dimakan seseorang di dekatnya, menjadi alasan kenapa Allah menjamin orang yang berpuasa untuk mendapatkan doa keselamatan dari malaikat. Jadi, Allah menghormati orang yang berpuasa karena kemampuannya dalam menjaga komitmen antara Allah dan hamba untuk tidak tergiur godaan nafsunya.

Imam Izzudin Abdussalam menyebutkan bahwa salah satu manfaat kenapa puasa itu disyariatkan kepada umat manusia adalah dengan puasa Allah hendak mengangkat derajat seseorang. Melalui puasa derajat seseorang diagungkan dan dimuliakan dengan cara Allah menghormati ibadahnya dan menjaminnya dengan doa-doa malaikat. Inilah cara Allah menghormati orang yang berpuasa.

Oleh karenan itu, jika Allah saja menghormati orang yang berpuasa, maka satu-satunya cara untuk meraih penghormatan itu adalah membangun dan menjaga komitmen antara Allah dengan hamba-Nya. Yaitu, untuk tidak tergoda dan terbuai oleh hawa nafsu sehingga bisa menahan diri untuk tidak makan-minum, berbuat rafats dan melakukan hal-hal yang menodainya. Menjaga komitmen dalam diri merupakan cara terhormat untuk menjalani puasa.

Di bulan Ramadan yang mulia ini, sudahkan kita menjalani puasa dengan penuh komitmen sehingga derajat kita menjadi terhormat di mata Allah? Atau mungkin kita yang malah gila hormat untuk meminta orang di sekitar kita supaya tidak makan-minum di depan kita karena alasan hal itu tidak mengormati orang yang sedang berpuasa.

Baca juga:  Studi Islam dan Politik di Indonesia pada Era Polarisasi

Penghormatan Allah hanya diberikan orang yang betul-betul berpuasa, bukan berpuasa tetapi minta dihormati.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top