Ayat kedua dalam surah Al-Kafirun menyebutkan, “Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah.” Ayat ini merupakan penegasan bahwa di masa ini dan di sampai kapan pun Kanjeng Nabi tidak akan menyembah sesembahan orang-orang kafir yang mendatangi Nabi. Rasulullah juga tidak akan menempuh dan tidak pula meniru cara penyembahan kepada patung-patung tersebut.
Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Maksudnya, kalian tidak usah mengikuti perintah-perintah Allah di dalam beribadah. Dua ayat ini sangat berhubungan dengan ajakan orang kafir agar Kanjeng Nabi Muhammad mau menyembah sesembahan pembesar kaum musyrik di satu waktu. Begitu pula sebaliknya.
Menurut Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manaar bahwa ayat kedua dan ketiga menegaskan tentang perbedaan subtansial mengenai al-ma’bud (yang disembah). Sedangkan ayat keempat dan kelima menegaskan tentang perbedaan subtansial mengenai ibadah yang dilakukan oleh masing-masing pemeluk agama. Dengan demikian, ma’bud antara orang musyrik dan orang Islam tidak sama, dan ibadah pun tidak sama.
Yang disembah oleh umat Islam adalah Tuhan Yang Maha Esa, Yang tidak ada tandingan atau perantara bagi-Nya; Yang Maha Agung sehingga mustahil Ia akan menampakkan diri-Nya dalam diri seseorang tertentu; Yang Maha Pelimpah karunia-Nya kepada siapa pun yang mengikhlaskan diri kepada-Nya; Yang dengan keperkasaan-Nya menghukum siapa pun yang memusuhi hamba-hamba-Nya: yang menyampaikan ajaran-ajaran-Nya dengan penuh ketulusan.
Sedangkan yang disembah oleh orang kafir Makkah berlawanan sifatnya secara diametral dengan Tuhan orang Islam. Demikian pula ibadah umat Islam benar-benar murni untuk Dia saja; sedangkan ibadah orang-orang kafir makkah bercampur dengan kemusyrikan, dan disertai dengan kelalaian akan Allah Swt., maka pada hakikatnya, ia dapat disebut ibadah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Menurut Imam al-Qurthubi, perbedaan ayat ketiga dan kelima yang redaksinya persis sama (keduanya berbunyi: wa laa antum aabiduuna maa a’bud), bahwa sementara ulama membedakannya dengan memberi arti yang berbeda terhadap makna maa tersebut. Huruf maa antara lain berarti “apa yang”, dan ketika itu dalam istilah kebahasaan dinamai maa maushuulah dan bisa juga berfungsi mengubah kata yang ketika itu dinamai dengan masdariyah.
Menurut ulama, maa pada ayat ketiga (demikian pula pada ayat kedua) berarti “apa yang”, sehingga wa laa antum ‘aabiduuna maa a’bud berarti “kamu tidak akan menjadi penyembah apa yang yang sedang dan akan aku sembah.” Sedangkan, maa pada ayat kelima (demikian ayat keempat) adalah masdariyah, sehingga kedua ayat ini berbicara tentang cara beribadah: Aku tidak pernah menjadi penyembah dengan (cara) penyembahan kalian; kalian pun tidak akan menjadi penyembah-penyembah dengan cara penyembahanku.
Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Kitab Marah Labid menyebutkan Rasulullah selain tidak akan menyembah berhala, beliau juga sebelumnya tidak pernah menyembah apa yang disembah oleh orang kafir. Begitu pula dengan tokoh-tokoh musyrik yang mendatangi Nabi. Sebelum Rasulullah menerima wahyu dan setelah menerima wahyu, mereka tetap menyembah sesembahannya.
Quraish Shihab mengatakan dalam ketiga ayat paling awal dari surah al-Kafirun disimpulkan bahwa Allah berpesan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw., untuk menolak secara tegas usul yang mereka ajukan sekarang tetapi juga menegaskan bahwa tidak mungkin ada titik temu antara Nabi Saw., dengan tokoh-tokoh tersebut. Karena, kekufuran sudah demikian mantap dan mendarah daging dalam jiwa mereka, serta kekerasan kepala mereka telah mencapai puncaknya sehingga tidak ada sedikit harapan atau kemungkinan, baik masa kini maupun masa mendatang, untuk bekerja sama dengan tokoh-tokoh tersebut.
Kemudian dilanjutkan dengan ayat keenam, Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku. At-Thabari (tahun 838-923 M/ 310 H) memberi penjelasan bahwa keseluruhan isi surah al-Kafirun ini dimaksudkan untuk menyembah Allah. Dan Ayat terakhir menjadi sikap tegas Rasulullah untuk mengatakan berbeda dengan mereka. Agama Rasulullah berbeda dengan ajaran orang Kafir. Biarkan itu berbeda tapi perlu dicampur adukkan. Syekh Nawawi menyebutkan bahwa lakum diinukum waliyadin ditafsirkan oleh ulama lain dengan lakum hisaabukum waly hisaaby. Artinya Kamu akan mendapatkan balasan dari apa yang kamu lakukan dan aku akan mendapatkan balasan atas apa yang aku kerjakan.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa surah ini menjadi kekuatan Nabi Saw., untuk menyatakan berlepas diri dari perbuatan yang dikerjakan oleh orang-orang musyrik dan perintah kepada umat muslim pula untuk selalu berbuat ikhlas kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengabdi kepada Allah kecuali dengan mengikuti risalah yang dibawa oleh Nabi Saw.
Diantara waktu yang dianjurkan untuk membaca surat ini adalah ketika ingin tidur, sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
“Bacalah ketika engkau hendak tidur: qul yaa ayyuhal kaafiruun, Kemudian tidurlah setelah engkau selesai membacanya. Sesungguhnya surat tersebut sebagai pelepas dari kesyirikan”. HR Ahmad 39/224 no: 23807.
Salah satu keutamaan dari surah ini adalah Kanjeng Nabi Muhammad biasa meruqyah dirinya dengan membaca surah ini. Seperti dijelaskan oleh at-Thabarani didalam Mu’jam al-Shaghir dari hadisnya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Bahwa Nabi Muhammad pernah mengatakan, “Semoga Allah melaknat kalajengking yang tidak membiarakan seseorang mengerjakan sholat tidak pula yang lainnya.” Kemudian beliau meminta diambilkan air dan garam, lalu beliau mengusapkan pada bekas sengatannya sambil membaca surah Al-Kafirun, surah Al-Falaq dan surah An-Naas.
Referensi:
Tafsir Juz ‘Amma karya Muhammad Abduh
Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani
Shahih Bukhari karya Imam Al-Bukhari
Tafsir Al-Misbah Karya Muhammad Quraisy Shihab
Jamiul Bayaan an Ta’wiil al-Qur’an karya Ibnu Jarir At-Tabari