Film jejak langkah 2 ulama telah rilis. Di Universitas Muhammadiyah Jember saya dengar film yang digagas Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Ponpes Tebuireng ini ditayangkan selama 3 hari pada bulan Maret lalu.
Sebagian besar Pembaca laman Alif,id pasti paham bahwa Baik Kiai Hasyim Asyari maupun Ahmad Darwis alias Kiai Ahmad Dahlan memiliki guru yang sama yaitu Kiai Sholeh Darat di Semarang. Namun Kasus Kiai Ahmad Dahlan kala mencari ilmu agama ini agak berbeda dibanding Pendiri jami’iyyah Nahdlatul ulama. Jika Kiai Hasyim Asyari sedari kecil akrab dengan lingkungan pesantren, maka Kiai Ahmad dahlan justru memulai mempelajari ilmu Agama dari ayahnya sendiri. Disebutkan dalam buku Tajdid Muhammadiyah: Dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafi’i Maarif (2005), ketika beranjak dewasa, belajar ilmu fiqih kepada KH Muhammad shaleh, ilmu nahwu kepada KH. Muhsin, ilmu falak kepada KH. Raden dahlan.
Mencari ilmu Agama sampai ke Tanah suci juga dilakukan Kiai Ahmad Dahlan. Ke tanah suci tak sekedar menunaikan ibadah haji, tetapi juga ia gunakan mencari ilmu. Pergi haji pertama dilakukan usai menikah dengan Siti Walidah. Di Makkah selama 8 bulan. “Haji yang kedua ia tunaikan bersama sang anak, Siraj Dahlan. Bermukim di Makkah selama satu setengah tahun” tulis Imron mustofa dalam buku Kiai Ahmad Dahlan: Si Penyantun (2018). Keberangkatan ke Mekkah yang kedua kali bermula dorongan pemimpin Jami’at al-khair.
Pada Haji pertama, Kiai Ahmad Dahlan berguru kepada Syeikh Ahmad khatib Al-Minangkabau (w. 1916 M). Dahlan ini punya minat di matematika dan ilmu Alam. “Kiai dahlan maupun Syeikh Khatib adalah penentang tarekat sufi“, tulis Abdurahman Mas’ud P.hD dalam buku Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (2006).
Pertanyaannya adalah mengapa Kiai Hasyim Asy’ari masih mentolerir Sufisme? Jawabnya karena Kiai Hasyim lebih dipengaruhi gurunya yang lain yakni Syeikh Mahfudz at Termasi dan Syeikh Khatib sambas. Jangan lupa, syeikh Khatib Sambas adalah pendiri Tarekat qadiriyah wa Naqsyabandiah.
Pada haji yang kedua, tercatat Kiai Ahmad Dahlan bertemu Sayyid Rasyid Ridha di Mekkah. Pertemuan dengan Rasyid ridha berkat usaha KH Baqir. Kiai Ahmad dahlan juga dipengaruhi pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Disebutkan dalam Ensiklopedi Muhammadiyah (Rajawali press, 2005), Kiai Dahlan mempelajarinya lewat tulisan-tulisan mereka berdua.
Selain itu bacaan beliau cukup luas yang meliputi majalah al-Urwatul wutsqa, Tafsir juz ‘Amma, Tafsir al-Manar, kitab al-Islam wan Nasharaniyyah karya Muhammad abduh. Dairatul ma’arif karangan Farid wajdi. Kitab at-Tawassul wa wasilah karya Ibnu Taimiyah dan Kitab Idhaarul haq karya Rahmatullah Al Hindi.
Mencermati guru-guru yang ditemui Kiai Ahmad Dahlan pada haji pertama dan kedua, ternyata ada perbedaan mencolok. Ahmad Mustofa berpendapat pada haji pertama berguru pada ulama yang memiliki konsentrasi pada kitab klasik. Sementara haji kedua Kiai Dahlan lebih banyak bersingggungan dengan ulama pembaharu.
Setelah mengetahui guru-guru dan berbagai bacaan Kiai Ahmad Dahlan, tentu timbul pertanyaan lagi, “Bagaimana corak pemikiran Kiai Dahlan, Purifikasi ataukah Akomodatif?.” Guna mengetahui pemikiran seseorang, maka perlu menelaah karya tulis yang ia tinggalkan.
Agak disayangkan, beliau tidak atau amat sedikit mewariskan karya tulis untuk kita. Meskipun begitu, kata Ahmad Syafi’i Maarif dalam Muhammadiyah: Sejarah, pemikiran dan Amal usaha (1990), hal ini tidak akan mengurangi rasa hormat kita kepada Sang pencerah ini.
Sampai detik ini, ada dua citra yang melekat dalam Kiai ahmad Dahlan. Di mata warga Muhammadiyah, tentunya citra purifikasi dalam diri Kiai Ahmad dahlan begitu kuat. Purifikasi yang dimaksud dalam hal aqidah (teologi). Sekali lagi, klaim ini patut dipertanyakan, pasalnya belum ditemukan satu pun karya tulis beliau di bidang aqidah. Hanya ada satu warisan intelektual pendiri Muhammadiyah ini, yaitu implementasi surah al-Maun. Yang mana Sepanjang hidupnya, Kiai Dahlan sering mengulang-ulang Surah al-Ma’un dalam pengajian rutinnya tiap shubuh.
Tentu saja hal ini membuat salah seorang muridnya, Sudjak protes kepada beliau. KH Dahlan balik bertanya, “apakah ayat tersebut sudah diamalkan?” Para murid kompak menjawab, “sudah diamalkan dengan dibaca tiap kali sholat”. Bukan itu yang dimaksud oleh beliau. Lantas meminta muridnya mempraktekkannya. Mempraktekkan dengan cara mencari orang miskin dan anak yatim, memberi makan-minum dan tempat tidur yang layak bagi mereka.
Dalam setiap pengajiannya, beliau menyerukan agar orang yang mampu bersedia memenuhi hak dan berlaku adil kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang terlantar. Dari sinilah lahir gerakan pengelolaan zakat, panti asuhan, rumah orang terlantar dan rumah sakit (Matahari pembaruan: Rekam jejak K.H. Ahmad Dahlan, 2010).
Sementara itu, di mata warga Nahdliyin, Kiai Dahlan adalah sosok akomodatif. Dibuktikan dengan adanya kitab fikih dengan tulisan Arab dan dalam Bahasa Jawa. Diterbitkan oleh Taman Pustaka Muhammadiyah, tanpa nama penulis, tanpa tahun. Isi kitab fikih ini anjuran melafadzkan niat (ushalli), bacaan wirid 33 kali dengan suara keras, baca qunut dalam Sholat subuh, hingga sholat tarawih 23 rakaat. Kitab ini nampaknya terbit sebelum Perysarikatan Muhammadiyah membentuk Majelis Tarjih. Maka bolehlah dianggap “Qaul qadim” Muhammadiyah. Wallahu’allam.