Karya sastra tentu tidak sekadar hanya bacaan yang bersifat hiburan saja. Pada hakikatnya karya sastra dibuat untuk menghibur dan membuat pembaca membuka pikirannya untuk sekadar menyetujui pesan seorang pengarang karya itu atau bahkan mengikuti apa yang dipesankan. Oleh sebab itu, karya sastra mempunyai kekuatan yang cukup dahsyat pada pembaca atau penikmatnya.
Bisa jadi karya sastra akan menjadi perusak moral bangsa, tetapi bisa juga karya sastra menjadi pembangkit semangat juang bangsa. Bahkan, karya sastra juga bisa membentuk norma luhur suatu bangsa.
Dalam buku Prof. Soediro Satoto (2016), Analisis Drama dan Teater, dijelaskan bahwa drama dan teater berfungsi sebagai sarana pendidikan dan hiburan. Selain itu, drama dan teater pada tahun 1980/1981 dipilih sebagai salah satu metode terapi sosial, dan secara operasional sebagai media penyampaian pesan pembangunan. Hal itu tentu menunjukkan bahwa sebuah karya sastra mempunyai misi tersendiri kepada pembaca atau penikmatnya.
Akan tetapi, karya sastra juga ditengarai memiliki pengaruh negatif pada pembaca atau penikmatnya tersebut. Seperti apa yang ditakutkan oleh sastrawan senior, Taufik Ismail (2007), menanggapi banyaknya karya sastra yang secara vulgar menggambarkan seksualitas.
Taufik Ismail dalam orasi kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki pada saat itu, sangat menyayangkan banyaknya karya sastra yang dianggap begitu vulgar mengangkat seksualitas. Hal itu ia takutkan menjadi perusak moral generasi muda penerus bangsa.
Orasinya tersebut tentu membuat dia bertentangan dengan para sastrawan yang mengangkat kebebasan dalam berekspresi. Akan tetapi, Taufik Ismail tentu sebagai sastrawan dan orang tua yang sudah tau banyak tentang dunia sastra merasa prihatin pada fenomena tersebut.
Pengarang Amerika pun diketahui sering kali memunculkan sosok hero untuk mengangkat nasionalisme dan keberanian bangsanya, seperti pemunculan tokoh Rambo dalam sebuah novel (1972) yang digambarkan sangat superior dalam menghadapi musuh-musuhnya. Hal itu ditengarai bertujuan untuk membangkitkan semangat juang bangsa Amerika yang saat itu sedang berperang melawan Vietnam.
Oleh karena itu, karya sastra tentu bisa dijadikan alat untuk mengarahkan pembaca kepada apa yang ingin ditujukan oleh pengarangnya. Seperti halnya dikatakan Endraswara (2008), karya sastra akan membentuk sikap dan perilaku serta akan diinternalisasikan dalam diri pembaca.
Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa karya sastra dapat pula dijadikan sebagai alat terapi bagi sesorang yang mengalami suatu gejala psikis, seperti depresi akibat perundungan dan selalu pesimistis. Karya sastra seperti beberapa novel Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi tentu dapat digolongkan sebagai karya sastra motivasi.
Karya sastra tersebut dapat dijadikan terapi bagi seseorang yang kurang percaya diri, entah karena ketidakmampuan dalam intelegensi maupun ekonomi. Hal itu ditengarai akan membangkitkan keinginan pembaca untuk mampu meraih cita-cita yang setinggi-tingginya, seperti apa yang dipesankan oleh A. Fuadi dalam novelnya man jadda wajada, siapa berusaha pasti bisa, dan juga Andrea Hirata pesankan dalam upayanya meraih mimpi setinggi-tingginya.
Selain itu, saat ini yang sedang marak terjadi adalah tindakan perundungan. Perundungan sangat berbahaya karena akan menimbulkan depresi bagi korban dan juga tindakan kriminal bagi pelaku. Karya sastra dianggap pula dapat dijadikan alat terapi untuk mencegah dan menghadapi perundungan tersebut.
Karya sastra yang berkaitan dengan perundungan diberikan kepada pembaca. Seperti halnya pendapat Endraswara, bahwa karya sastra dapat mengubah sikap dan perilaku pembacanya, maka dari itu, penyajian karya sastra yang berkaitan dengan perundungan dianggap akan mampu mengubah sikap pembaca yang merupakan korban dan pelaku perundungan.
Karya sastra yang cocok untuk terapi perundungan ini salah satunya adalah novel Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata. Hal itu dikarenakan novel tersebut mengisahkan tentang perundungan yang terjadi di sekolah dan upaya untuk menghadapinya.
Pemilihan karya sastra sebagai alat terapi untuk mengubah perilaku seseorang sejalan dengan pemikiran Walgito dalam kaitan pembentukan perilaku. Walgito (2003) menyatakan bahwa pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan pemberian model. Tokoh-tokoh karya sastra dapat dijadikan sebagai model, sehingga pembaca atau penikmatnya mampu mengikuti apa yang dilakukan tokoh tersebut.
Jika terapi sastra itu berhasil membuat pelaku dan korban mampu mengatasi masalah psikisnya tentu karya sastra akan lebih indah dan berguna. Hal itu tentu sesuai dengan hakikat sastra menurut Horace. Horace (dalam Wellek & Warren, 1977) mengatakan bahwa karya sastra itu harus dulce et utile, yakni indah dan berguna. (SI)