Kontroversi mengenai populisme Islam kembali mengemuka. Pemicunya adalah pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menyatakan bahwa dirinya akan menghentikan populisme Islam karena ia menggiring nilai agama menjadi norma konflik. Bagi Yaqut, populisme Islam tidak lain adalah aspirasi, bukan inspirasi. Sebagai menteri agama, dia akan mencegah hal itu berkembang di Indonesia.
Meski bisa mengerti arah pembicaraannya, saya menangkap ada yang keliru dari pernyataan menteri Yaqut itu. Penggunaan istilah populisme Islam terasa kurang pas, sehingga muncul kesan seolah-olah ia sama dengan intoleransi dan radikalisme. Prof. Endang Turmudzi dari LIPI mengkritik itu dengan mengatakan bahwa populisme Islam adalah bagian dari demokrasi. Namun ketika memberi penjelasan, pemaknaan Endang mengenai populism Islam sebagai “gagasan yang mengartikulasikan kepentingan umat Islam” (CNNIndonesia, 28/12/2020) juga kurang tepat.
Tinjauan Vedi Hadiz dalam Islamic Populism in Indonesia and the Middle East (2016) menarik disimak. Secara historis dan sosiologis dia menjelaskan bahwa fenomena populisme Islam di Indonesia, Turki, dan Mesir merupakan bagian dari aspirasi politik yang tak terelakkan dalam kancah negara kapitalis. Sejumlah kalangan yang merasa termarginalkan dari kancah ekonomi politik menggunakan isu agama sebagai instrumen dalam melawan dominasi rezim pemirintahan yang elitis. Di Turki, aspirasi ini lumayan berhasil di mana Erdogan sejak 2002 menguasai pemerintahan hingga sekarang. Kemampuan Erdogan dalam meracik sentimen agama dan kelas mampu menarik dukungan borjuis nasional setempat. Di Mesir dan Indonesia, sebaliknya, entah harus menunggu sampai kapan kalangan ini bisa mewujudkan aspirasinya.
Pernyatan menteri Yaqut, saya kira, terkait salah satunya dengan aksi 212 pada akhir 2016. Memanfaatkan isu Ahok, aksi ini awalnya berhasil memobilisasi ratusan ribu orang untuk berkumpul di Monas. Melalui aksi ini pula Anies Baswedan sukses memenangkan pilkada DKI Jakarta.
Akan tetapi, sekarang terbukti fondasi dari aksi tersebut sangat rapuh. Para peserta aksi datang dari beragam latar belakang dan juga bergerak menuju beragam tujuan. Terlebih lagi setelah Muhammad Rizieq Shihab (MRS), tokoh sentralnya, terhalang pulang di Saudi sekian lama, lalu setelah kembali pun dia masuk penjara, aksi 212 yang awalnya terlihat akan berhasil ternyata layu sebelum berkembang. Dapat dikatakan sekarang aksi tersebut telah kehilangan aura politisnya.
Dalam istilah yang sudah lebih lama digunakan, populisme Islam adalah Islam politik. Jauh dari seragam, Islam politik adalah fenomena yang sangat luas dan cair. Sebagian pendukungnya menggunakan jalur demokrasi, terlibat dalam pemilihan umum, sedangkan sebagian lagi tidak. Kalangan terakhir ini, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), memang problematis. Aspirasi mereka membentur tembok tebal nasionalisme yang sakral. Namun bagi yang memilih ikut serta dalam demokrasi, mengikuti aturan main yang ada, apakah mereka boleh dihentikan begitu saja?
Populisme Islam adalah bagian dari arus politik populis yang memang sedang naik daun akhir-akhir ini. Konteks besarnya adalah krisis kapitalisme neoliberal. Sejumlah politisi memanfaatkan momentum ini dengan menghembuskan paham bahwa yang terjadi sekarang adalah kebusukan kaum elit. Di beberapa negara mereka meminjam sentimen kelas, tetapi di beberapa negara yang lain mereka menggunakan sentimen identitas. Yang pertama disebut populisme kiri, sedangkan yang kedua disebut populisme kanan yang mana salah satu bentuknya adalah populisme Islam. Memang selalu ada upaya untuk mengkombinasikan keduanya, seperti dilakukan oleh Erdogan di Turki, tetapi kebanyakan dari upaya tersebut menemui kegagalan. Lagi pula, setelah berhasil, bukankah mereka kemudian menjadi elit yang sebelumnya mau ditumbangkannya?
Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dalam memahami fenomena populisme Islam ini. Setidaknya ada dua dimensi yang mesti diperhatikan. Pada satu sisi ia bisa dibaca sebagai kritik terhadap jalannya pemerintahan yang cenderung hanya menguntungkan kaum elit, tetapi pada sisi yang lain ia juga mengandung resiko sektarian, terlebih ketika ia berkelindan dengan paham keagamaan yang ekslusif. Sisi pertama akan memperkaya demokrasi, sedangkan sisi kedua adalah ancaman bagi keutuhan bangsa. Saran saya menteri Yaqut fokus saja pada sisi yang kedua. Pengalamannya sebagai pimpinan Gerakan Pemuda Ansor NU adalah modal kuat yang berharga dalam mewujudkan visinya, yaitu menjadikan agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi.
Namun dalam mewujudkan visi tersebut, menteri Yaqut perlu kiranya melihat dimensi yang lebih struktural. Populisme Islam tumbuh subur dalam situasi sosial ekonomi yang timpang, khususnya di masyaraat perkotaan di mana otoritas keagamaan baru bermunculan. Di Jakarta, misalnya, situasi inilah yang menjadi penyebab mengapa MRS begitu berdaya. Di tengah rasa frustrasi yang melanda para pemuda tuna kerja, otoritas keagamaan baru sebagaimana ditampilkan oleh MRS tampak seperti saluran aspirasi yang dianggap mampu mengkanalisasi perasaan termarginalkan mereka. Problematik ini mestinya bisa dicegah sedini mungkin agar aspirasi yang sejatinya wajar dalam demokrasi itu tidak meledak menjadi konflik kekerasan.
Saya cukup yakin menteri agama mampu melakukan itu dengan syarat dia mengorkestrasi terlebuh dahulu birokrasi kementerian agama yang dipimpinnya. Ini penting diutarakan karena apalah artinya visi yang hebat dan komunikasi publik yang kuat jika tidak dibarengi dengan konsolidasi internal yang memadai. Pada titik inilah kita akan melihat bagaimana seorang Yaqut Cholil Qaumas mentransformasikan daya aktivismenya ke dalam tatanan teknokratis yang rumit dan berbelit. Bagaimanapun birokrasi adalah dunia priayi yang seringkali membuat santri mengernyitkan dahinya.