Beberapa waktu yang lalu saya sempat ngobrol dengan seorang teman yang juga senior di kampus saya kuliah. Membicarakan kajian pinggiran Al-Qur’an yang layak diperhitungkan, syukur-syukur dapat diangkat menjadi tema penelitian.
Singkat cerita, obrolan kami membawa pada upaya pemerintah Saudi Arabia yang berusaha menyeragamkan mushaf Al-Qur’an. Lawan bicara saya ini tampak tidak setuju dengan upaya ini. Terlihat dari pernyataan-pernyataannya yang sekilas menyudutkan pemerintah Saudi Arabia. Menurutnya, upaya ini kental akan nuansa politis lagi ekonomis. Hhm, maklum saja pemerintahan basis Wahabi ini memang sering kali mendapat klaim miring.
Namun benarkah demikian? Saya lantas teringat pernyataan Gus Baha’ di salah satu ngaji YouTube-nya. Yang menarik adalah ahli Qur’an asal Narukan, Rembang ini justru mendukung upaya penyeragaman mushaf ini. Saya jadi bertanya-tanya, apa alasan Gus Baha’ mendukung upaya ini? Saya kemudian melakukan crosscheck, demi mengetahui kebenaran dua opini yang, menurut saya, tanaqudl (berlawanan) ini.
Benar saja apa yang dikatakan Gus Baha’. Kendati berupaya melakukan penyeragaman mushaf, pemerintah Saudi Arabia tidak lantas menyingkirkan mushaf-mushaf lain. Ia masih konsisten mencetak lima versi mushaf dengan lima bacaan yang berbeda.
Sekedar catatan pengingat, dari setidaknya empat belas versi bacaan Al-Qur’an, saat ini hanya tinggal lima versi bacaan yang masih tersisa dibaca. Kelima versi tersebut adalah bacaan ‘Ashim dari riwayat Hafsh (versi bacaan terbanyak yang dipakai saat ini), riwayat Warsy dari bacaan Nafi‘, riwayat Qalun dari Nafi‘, riwayat Al-Duri dari Abu ‘Amr, serta bacaan Ibn ‘Amir. Perhitungan empat belas sendiri dihasilkan dari tujuh imam bacaan yang ada, dengan dua perawi yang dimiliki oleh masing-masing imam.
Saya kemudian membenarkan bahwa klaim-klaim miring semacam ini memang kerap terjadi. Kita masih ingat bagaimana dulu ketika khalifah ketiga, ‘Utsman ibn ‘Affan, melakukan penulisan ulang terhadap mushaf Al-Qur’an. perintah pembakaran mushaf selain ‘utsmani kiranya yang paling kita ingat. Padahal sebagaimana ditulis Ibn Hajar al-‘Asqalani, redaksi perintah yang digunakan oleh ‘Utsman adalah mahwu yang berarti menghapus, bukan harq atau membakar yang memiliki arti yang lebih sempit dari redaksi pertama.
Klaim miring ini juga ditolak sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib yang mengatakan, “Jangan kalian mengatakan sesuatu atas (perintah penghapusan) ‘Utsman, kecuali sesuatu yang baik. Sungguh ia tidak berbuat sesuatu berkaitan dengan mushaf Al-Qur’an, kecuali setelah meminta pertimbangan kami, para sahabat.” Pada cerita yang lain,’Ali bahkan sempat berujar, “Seandainya diriku yang kala itu menjadi khalifah, aku pun akan melakukan apa yang ia (‘Utsman) lakukan.”
Yang saya sendiri pelajari dari sejarah kodifikasi ‘Utsman adalah keterbatasan sebuah teks dalam mengakomodir setiap ide yang ada. Akibatnya, selalu ada yang harus dikorbankan untuk itu.
Ketika cek-cok di kalangan muslim timbul karena perbedaan ahruf al-qur’an, ‘Utsman yang melakukan kodifikasi ‘hanya meringkas’ dalam hurf Qurays saja. Yang lain, terpaksa ditiadakan untuk meminimalisir konflik. Beruntung, varian bacaan qiro’ah sab’ah yang diakomodir dalam empat mushaf edisi ‘ustmani kala itu tidak memicu konflik lain.
Alasan yang sama sangat mungkin terjadi saat ini. Perbedaan tujuh bacaan sewaktu-waktu dapat memicu masalah di kalangan umat Islam. Apalagi dengan perkembangan eksistensi umat yang cenderung bergerak ke arah exclusive. Belum lagi masalah degradasi pengetahuan agama yang kerap menimbulkan latah dalam beragama, dan sederet daftar panjang lainnya yang berpotensi menimbulkan konflik perbedaan mushaf.
Memang saat ini pemerintah Saudi Arabia masih konsisten melakukan pencetakan lima versi bacaan yang tersisa. Namun dengan perkembangan saat ini, dimana bacaan ‘Ashim riwayat Hafsh telah mencapai 95% dari total populasi mushaf yang ada di seluruh dunia, bukan tidak mungkin bacaan lainnya bakal ‘tersingkir’. Dan ketika itu terjadi mereka tinggal khazanah yang dulu pernah menghiasi dunia Islam.
Pertanyaan terpentingnya sekarang adalah, mampukah kita merawat khazanah-khazanah itu, kini dan nanti? Istafti qalbak!