Taufiq Hakim
Penulis Kolom

Menekuni kajian filologi manuskrip era Majapahit hingga Mataram Islam. Ia menyelesaikan program Sarjana Sastra Jawa di UGM dan kini sedang menyelesaikan kuliah di Magister Sastra UGM. Bersama beberapa teman ia mendirikan Komunitas Jangkah Nusantara pada 2017, komunitas anak muda Yogyakarta yang rutin mengkaji manuskrip. Selain menulis buku, jurnal dan antologi, ia pernah terlibat sebagai tim kurator pada pameran manuskrip Quran di Kadipaten Pakualaman (2019), Festival Indonesia Rusia (FIM) 2019, serta tim ahli pameran manuskrip yang digelar oleh Islamic Arts Museum Malaysia (2022).

Gus Dur Menziarahi Syekh Mutamakkin, Sebuah Kritik Filologis

Mbah Mutamakkin

Syekh Mutamakkin dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Masyarakat setempat meyakini Syekh Mutamakkin sebagai sosok penting dalam membangun peradaban Islam di kawasan tersebut sejak awal abad ke-18, hingga di kemudian hari Desa ini dikenal sebagai desa santri.

Hingga saat ini, terdapat 80-an pesantren yang tumbuh dan berkembang di desa ini. Para pendiri pesantren, menurut kepercayaan turun-temurun juga mempunyai silsilah nasab kepada Syekh Mutamakkin. Metode pengajaran di Kajen hingga sekarang pun masih menggunakan sorogan dan bandongan, serta tidak meninggalkan kitab-kitab salaf khas pendidikan pesantren tradisional.

Kemasyhuran Syekh Mutamakkin alias Kiai Cabolek menjadi perbincangan ketika Gus Dur sengaja meluangkan waktu untuk berziarah ke makam sang wali. Pada tahun 1999, setelah beberapa hari dilantik sebagai presiden, Gus Dur berziarah ke makam Syekh Mutamakkin di Desa Kajen. Diakui Gus Dur, dirinya masih ada garis keturunan dengan Syekh Mutamakkin.

Pada Mei 2002, Gus Dur memberikan ceramah pengantar untuk peluncuran buku berjudul Syekh Mutamakkin: Perlawanan Kultural Agama Rakyat, di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Forum tersebut dihadiri oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Bambang Pranowo, dua orang intelektual muslim yang turut mendiskusikan buku.

Menurut Gus Dur, Syekh Mutamakkin telah memulai tradisi baru, sebuah pendekatan kultural terhadap kemelut yang terjadi pada zaman itu. Kemelut antara agama dan kekuasaan yang meliputi Keraton Kertasura dalam kurun abad ke-17/18 M.

Sebagai sosok yang berguru kepada Syekh Zain al-Yamani, tokoh Naqsyabandi yang penting di Timur Tengah kala itu, Syekh Mutamakkin bagi Gus Dur adalah sosok yang membawa Islam alternatif di Jawa. Islam yang dipahami sebagai kultur baru yang berbeda dari kekuasaan, meskipun sebenarnya juga turut menentang kekuasaan raja yang terlalu mutlak. Tetapi Syekh Mutamakkin tidak mengatakan menentang. Kata Gus Dur, hanya berbeda.

Baca juga:  Al-Ma'mun dan Lelaki Berjenggot

Islamnya Syekh Mutamakkin, menurut Gus Dur digunakan untuk mendidik masyarakat dengan kultur baru atau budaya baru. Ikhtiar Syekh Mutamakkin mengajar agama kepada masyarakat bukan untuk menentang Keraton. Tetapi dengan maksud bahwa kelak masyarakat yang ia didik dengan sendirinya mempunyai kesadaran perlawanan.

Gus Dur melihat adanya dikotomis antara masyarakat muslim yang terlalu fikih di dalam Keraton, dengan kaum pengamal tasawuf yang eksis di luar Keraton Kertasura. Ketib Anom, penghulu Keraton yang memperkarakan Syekh Mutamakin di Mahkamah Kertasura dianggap kaum fikih representasi kekuasaan. Sementara Syekh Mutamakkin, seorang kiai kampung dianggap mengajarkan ilmu tasawuf secara bebas kepada khalayak umum.

Pada titik ini terdapat persoalan naratif yang perlu dibahas. Gus Dur mendasarkan pendapatnya dari kajian Serat Cabolek dalam disertasi Soebardi yang berjudul The Book of Cabolek: A Critical Edition with Introduction, Translation and Notes, a Contribution to The Study of The Javanese Mystical Tradition. Disertasi tersebut membahas korpus Serat Cabolek yang ditulis Soebardi untuk memperoleh gelar doktor di Departement of Indonesia Language and Literatures, The Australian National University (ANU) pada 1967.

Gus Dur menganggap Ketib Anom, penghulu Keraton yang meperkarakan Syekh Mutamakkin sebagai ahli fikih, bahkan terlalu fikih dan membebek pada kekuasaan. Sehingga ketidaksenangannya kepada Syekh Mutamakkin, seorang kiai kampung yang mengajarkan tasawuf, mempergelarkan wayang, bahkan memelihara anjing, cukup beralasan.

Terutama kekhawatiran Ketib Anom pada kewibawaan Susuhunan Pakubuwana II sebagai panatagama alias pemimpin agama akan terkikis, akibat corak keagamaan yang diusung Syekh Mutamakkin. Praktik-praktik seperti yang dilakukan Syekh Mutamakkin, menurut penghulu istana adalah sebuah pembangkangan terhadap syariat agama. Dengan begitu, sekaligus sebuah pembangkangan terhadap kekuasaan.

Barangkali hasil pembacaan Gus Dur terhadap Serat Cabolek terlalu jauh. Ketib Anom disebut sebagai kaum syariat yang merasa terganggu dengan kehadiran Syekh Mutamakkin dengan corak keagamaannya. Sehingga Syekh Mutamakkin tidak disukai sekaligus harus dihukum mati, seperti kisah-kisah para pendahulu antara lain Sunan Panggung, Kiai Bebeluk dan Syekh Siti Jenar.

Baca juga:  Andalusia Era Islam (6): dari Ziryab hingga Mozarab

Padahal, Serat Cabolek yang dibaca Gus Dur menyebutkan bahwa justru Ketib Anom-lah yang lebih fasih membabar kitab-kitab tasawuf dan ajaran mistik dalam lakon Dewa Ruci. Syekh Mutamakkin digambarkan lebih banyak diam. Dalam hal ini, ukuran ahli fikih atau pun ahli tasawuf, sebagaimana yang disebutkan Gus Dur di muka terkesan bias secara naratif.

Barangkali benar pendapat Gus Dur yang menyebut Syekh Mutamakkin menawarkan jalan alternatif dalam syiar Islam. Tetapi, jika merujuk Serat Cabolek, Islam alternatif yang dibawa Syekh Mutamakkin kiranya bukan dalam kerangka agama Keraton versus agama rakyat, sebagaimana buku yang dibahas dan nampak disetujui Gus Dur. Secara filologis, justru Serat Cabolek merupakan sebuah perlawanan kultural Keraton terhadap hegemoni kolonial Belanda yang kala itu amat represif.

Dikatakan secara filologis, karena dalam pembacaan sebuah manuskrip perlu dipertimbangkan aspek asal-usul, bentuk, serta konteks historis penulisan manuskrip. Manuskrip Serat Cabolek yang dikaji Soebardi berpijak pada edisi yang kemudian diterbitkan Van Dorp pada 1886. Edisi tersebut memuat manggala alias pengantar manuskrip yang berbunyi:

Punika Serat anggitanipun abdi dalem bujangga Kraton ing Nagari Surakarta Adiningrat, nalika Panjenengan Dalem ingkang Sinuhun Pakubuwana kaping sekawan.

Manggala tersebut menunjukkan siapa dan kapan manuskrip tersebut ditulis, yakni pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana IV di Surakarta. Artinya, kisah yang ditulis dalam manuskrip hendaknya dibaca dalam konteks pemerintahan Pakubuwana IV di Surakarta (bertakhta 1788-1820).

Dilihat dari bentuk naratifnya, pengadilan justru berpihak kepada Syekh Mutamakkin. Kubu Ketib Anom dianggap menyampaikan tuduhan yang tidak berdasar, tidak mampu membuktikan dakwaan mereka terhadap Syekh Mutamakkin. Artinya, dalam hal ini, kubu Ketib Anom bukanlah representasi kekuasaan. Mereka adalah oknum penghulu yang gagasan dan visi Islam mereka ternyata tidak sesuai dengan arah politik keagamaan Keraton.

Baca juga:  Sejarah Nabi Muhammad (3): Khalid Bin Sinan, Seorang Nabi yang Menyambut Kelahiran Rasulullah SAW

Pasalnya, menurut Keraton, Syekh Mutamakkin mempraktikkan ajaran tasawuf untuk dirinya sendiri. Bukan sebagaimana dakwaan Ketib Anom. Bahkan, kebenaran Syekh Mutamakkin juga didukung oleh Sang Raja. Syekh Mutamakkin, bagi Raja adalah orang suci, seorang wali atau petugas Suksma, sebagaimana naratif berikut:

Mesem ngandika Sang Prabu:/ ‘Iku Bapang wus pinasthi/ tinitah dhapurer ala/ sinungan atine suci/ dadi panggawening Suksma/ pinasthi atine suci.’ (Serat Cabolek, Pupuh IV Kinanthi, Bait 33)

Artinya:

Sang Prabu senyum berkata:/ “Itulah, Bapang, telah menjadi suratan,/ ia diciptakan dengan tampang dungu/ tapi diberi hati yang suci;/ untuk menjadi petugas Suksma/ (ia telah) ditakdirkan memilih hati suci.”

Meskipun, dalam versi terjemahan Soebardi tersebut, agaknya terjadi kekeliruan. Soebardi mengartikan ‘memilih’ untuk terjemahan kata ‘pinasthi ati suci’. Seharusnya kata tersebut diterjemahkan sebagai ‘ditakdirkan memiliki hati yang suci’.

Melihat fakta tekstual tersebut, kiranya masih terlalu dini memutuskan Serat Cabolek sebagai catatan fakta historis tentang riwayat Syekh Mutamakkin. Apalagi menyimpulkan secara dikotomis adanya perlawanan agama rakyat versus agama Keraton. Dibutuhkan pembandingan dengan sumber-sumber lain yang relevan dan meyakinkan, serta pembacaan filologis yang lebih cermat. Sementara ini, Serat Cabolek sebaiknya didudukkan sebagai persoalan kultural-keagamaan yang dihadapi Pakubuwana IV pada peralihan abad ke-18 M di Jawa.

Perlawanan kultural yang tercermin dalam Serat Cabolek justru dilakukan oleh Keraton terhadap hegemoni kolonial, serta kerabat Keraton yang membebek kepada penjajahan. Keraton, melalui tim kasepuhan dari kalangan kapujanggan, lantas menulis kitab-kitab sastra seperti Serat Cabolek, Babad Pakepung, Serat Centhini, Serat Anbiya, dan banyak lagi. Ikhtiar itu untuk membangkitkan kesadaran bangsa Jawa terhadap kolonialisme dan imperealisme melalui narasi-narasi Jawa-Islam yang sufistik.[]

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top