Pada Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat di Jakarta, Jumat (16/8/2024), Presiden Joko Widodo meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebelumnya Presiden juga menyampaikan permintaan maaf pada acara Zikir Kebangsaan di Istana Merdeka, 1 Agustus 2024. Ia menyebut, sebagai manusia biasa masih banyak kekurangannya dalam memimpin Indonesia sehingga tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak.
Hal ini memunculkan berbagai respon di berbagai platform media sosial. Ada yang bereaksi positif, ada yang sinis dan ada pula yang menganggap wajar sebagai budaya masyarakat sejak lama.
Dalam cerita sufi, dikisahkan orang yang memberi lebih mulia daripada meminta. Namun ada permintaan yang mulia, yaitu permintaan maaf. Meminta maaf menjadi sebuah kesadaran, keyakinan, kognisi, persepsi, dan perasaan (sedih, cinta, harapan, kecewa, resah dan gelisah) sebagai ungkapan kejiwaan yang jadi stimulan dari dalam kalbu atas realitas. Esensi permintaan maaf adalah pengakuan keikhlasan, kejujuran dan kerelaan seseorang atas sebuah fakta yang tidak pas dan tidak sepantasnya kepada orang lain.
Momentum Belaka
Tapi tak semuanya berani meminta maaf atau mengakui kesalahannya terlebih dahulu. Hal ini karena kadang banyak orang merasa berada di pihak yang benar, karena merasa lebih besar, atau karena merasa status sosial dan kekuasaannya lebih tinggi. Atau jika meminta maaf, hal itu dilakukan karena momentum belaka, bukan sebagai refleksi kemanusiaan yang hakiki.
Dalam konteks permintaan maaf Jokowi, menurut Andang Subaharianto (Kompas, 9/8/2024), tak menyebutkan bagian mana saja yang ”disadari” mengecewakan sebagian masyarakat. Misalnya, apakah tindakannya mendukung putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto? Ataukah, tindakannya merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan membuat UU Cipta Kerja, yang ditentang banyak kalangan? Atau, proyek mercusuar Ibu Kota Nusantara (IKN), yang terkesan seperti Bandung Bondowoso membangun 1.000 candi dalam satu malam? Maaf atas kesalahan(-kesalahan) yang mana?
Permintaan maaf Jokowi pada praktiknya jauh dari kebutuhan publik, bahasanya retoris tidak berefek pada konteks hukum dan kebijakan serta kehadirannya dalam konteks acara kenegaraan (baca: birokratis) menghadirkan (meminjam logika Gramsci) kuasa tafsir yang terselubung didalam sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan. Dengannya, kekuasaan cenderung melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial.
Padahal permintaan maaf Jokowi bisa berorientasi edukatif-persuasif dan reflektif karena jangkauan (emosional)nya menyangkut waktu lalu dan kini (masa pemerintahannya) dan nanti (pemerintah selanjutnya). Spiritualitas permintaan maaf menjadi momentum mental untuk menjadi manusia yang lebih baik dalam pikiran, sikap dan perbuatan.
Dengannya, pemerintah lalu segera menyelesaikan segala permasalahan yang bisa membuat harapan rakyat kembali tumbuh. Seperti menstabilkan kondisi sosial ekonomi, mensinergikan dinamika politik, hingga meningkatkan kualitas hukum yang menurun drastis.
Sepertinya di Indonesia meminta maaf tidak ditempatkan sebagai implikasi kegagalan pelayanan, tapi mempunyai bobot yang lebih besar pada kalkulasi politik. Pertimbangan harga diri dan kuatnya politik transaksional lebih kerap jadi faktor utama untuk tidak meminta maaf. Seakan-akan minta maaf membuat wibawa penguasa melemah.
Tentang hal ini, Goenawan Mohamad (2016) mengutip Derrida yang menyebut bila maaf diberlakukan sebagai proyek politik, ketika maaf disertai syarat, memaafkan secara bersyarat jadi menghadirkan sebuah hierarki. Yang memberi maaf dan menetapkan syarat meletakkan diri di atas pihak yang diberi syarat dan akan diberi maaf. Maaf bahkan bisa dibatalkan jika syarat tak dipenuhi. Dengannya, faktor kekuasaan jadi menonjol. Menurut Marx, “Negara” hanya merupakan alat kekuasaan kelas tertentu di ruang dan waktu tertentu.
Darurat
Terbukti, beberapa waktu lalu beredar postingan gambar burung garuda dengan pesan ”peringatan darurat”, suatu hal yang menegaskan bahwa negara saat ini sedang tidak baik-baik saja. Opini M Syafi’ie (Kompas, 23/8/2024) menuliskan aktor-aktor oligarki bermain dengan sedemikian banal, khususnya praktik penggunaan kekuasaan untuk membangun dinasti politik sebagaimana dalam pemilihan presiden-wakil presiden dan hasilnya begitu benderang terlihat saat ini. Konstitusi yang dijunjung tinggi dipermainkan, aturan bersama diterobos dengan kesewenang-wenangan, dan aparat hukum diperalat untuk mendukung kepentingan kekuasaan yang menyimpang. Pembungkaman kritik dengan penggunaan UU ITE, represi aparat keamanan, pengendalian parpol, dan pembuatan regulasi yang menghilangkan partisipasi bermakna. Disamping itu, pembangunan infrastruktur yang menggusur rakyat, pelemahan KPK, hilangnya fungsi check and balances DPR, utang negara yang terus bertambah, dan pembungkaman ormas-ormas keagamaan melalui pemberian izin pengelolaan tambang yang tak tepat.
Maka, apakah Jokowi yang meminta maaf itu sadar dan teguh memegang esensi permintaan maaf, berupa tanggung jawab, untuk membuat problem negeri ini teratasi?
Caranya dengan mengambil tanggung jawab atas kekeliruan tersebut, misalnya, mengundurkan diri dari jabatannya, atau mengubah tindakan/keputusan yang dianggap keliru. Permintaan maaf jenis ini akan berefek pada perubahan realitas (Subaharianto, 2024).
Dengannya, seturut Gramsci, praktik simbolik citra, bahasa dan juga wacana permintaan maaf tersebut tidak menjadi hegemoni makna (dan pengingkaran) terhadap fakta sosial. Pandangan, sikap dan pikiran yang narsis, egois, mau menang sendiri dan anti sosial seperti itu harus dihindari.
Hannah Arendt mengatakan bahwa maaf seperti hukuman. Ia dimaksudkan untuk mengakhiri sebuah kejahatan. Maaf adalah bagian dari proses hidup bersama.
Yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah permintaan maaf pemimpin yang mengubah realitas politik, hukum, dan sosial ekonomi, dalam wujud regulasi dan kebijakan nyata mengedepankan kepentingan bersama/masyarakat.
Jangan sampai justru rakyat yang kecewa dan merasa ditipu selama ini mendahului meminta maaf dengan mengatakan “maaf, Anda tak bisa dipercaya lagi” atau bahkan berkata “tiada maaf bagimu!”, seperti yang dikesankan di poster-poster demonstrasi RUU Pilkada beberapa waktu lalu.