Witing luput saka kalimput
—Kridhagrahita.
Syahdan, seorang santri tengah bingung karena disebut “keling” dan ilmu yang dipunyainya hanyalah “ngelmu keling” oleh seorang tua yang secara kasat mata tampak biasa-biasa saja dan merupakan target utamanya dalam mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam melaksakan misi suci itu, sang santri cukup percaya diri bahwa apa yang dilakukannya pastilah benar dan tak mungkin ada orang yang berani dan dapat menyanggahnya. Sebab, semuanya sudah jelas, semuanya sudah tersurat.
“Keling” merupakan kerata basa yang bermakna “nyekel eling” atau ingat ketika memegang. Dalam kebudayaan Jawa kasepuhan istilah ini biasanya merujuk pada sikap dan perilaku seseorang yang memandang bahwa hidup itu hanyalah soal iman atau kafir, baik atau buruk, benar atau salah, dst. Dengan demikian, tak perlu rasanya orang berkilah dan membantah segala sesuatu yang sudah termaktub dalam buku-buku serta rumusan-rumusan para pendahulu di ruang dan waktu yang tertentu. Secara sederhana, orang-orang seperti itu hanya berdaya ketika tengah memegang buku, atau setidaknya, ketika segala sesuatunya ada rujukannya dalam buku-buku.
Radikalisme keagamaan, karena itu, dari ungkapan semu “keling”, adalah persoalan tentang orang yang hidupnya terlalu textbook. Maka asumsinya, ketika textbook-nya hilang, dengan sendirinya kekuasaan si orang tersebut hilang. Bukankah dalam jagat tasawuf terdapat derajat kebenaran sekaligus upaya-upaya untuk menjelangnya dimana derajat tertingginya adalah ketika sudah tak perlu lagi pengabaran dan pembuktian apapun dimana tipe pengetahuan yang valid adalah pengetahuan yang sudah bukan lagi bersifat eksperimental dan deduktif, melainkan eksperiental?
Terdapat satu kepustakaan Jawa yang mengungkapkan tipe-tipe kebenaran dan keterbatasan-keterbatasannya dimana tipikal keling hanyalah serupa kupu-kupu biru yang meyakini bahwa warna kehidupan itu hanyalah biru seperti dirinya. Demikian pula kupu-kupu merah, putih, ungu, hitam, dan hijau, yang juga sama-sama berkeyakinan bahwa warna kehidupan itu adalah seperti halnya diri mereka yang merah, putih, ungu, hitam, dan hijau.
Dongeng tentang kupu-kupu itu terdapat dalam Serat Kacawirangi yang ditulis oleh R. Soejanaredja, yang merupakan perlambang tentang terjadinya proses radikalitas. Radikalisme dan radikalitas, dalam ideal kebudayaan Jawa secara umum, terang adalah suatu hal yang tak elok (Khilafah dalam Kerangka Rosing Rasa, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Ketakelokan tersebut terungkap dari rumus Sang Soedjanaredja: “Witing luput saka kalimput.”
Dalam ungkapan itu terungkap bahwa hal-hal yang dikategorikan sebagai negatif, seumpamanya beragama secara radikal dengan karakteristik utamanya yang keling, dapat terjadi karena orang yang bersangkutan “kalimput” atau terlena oleh anggapan sendiri. Seperti halnya kupu-kupu biru yang menganggap bahwa warna kehidupan itu hanyalah biru dan lupa dengan kupu-kupu lainnya yang merah, putih, ungu, hitam, dan hijau, yang sama-sama pula melakukan kaim yang serupa.
Untuk melakukan apa yang disebut sebagai proses deradikalisasi, maka di bagian akhir Serat Kacawirangi, Sang Soedjanaredja menganjurkan untuk menanggalkan kebiruan dan tentu juga kemerahan, keputihan, keunguan, dan kehitaman yang jelas-jelas membatasi kehidupan yang kompleks dan otomatis membatasi diri sendiri. Sebab, sang kehidupan itu ternyata tak memiliki rupa, tak memiliki warna.