Ingatan saya pendek, karena lupa perang Arab-Israel yang terjadi pada 1967 —sebelum Yom Kipur pada 1973. Yang justru saya ingat, seperti pernah saya tulis di kolom Tempo tentang Muamar Qaddafy pada pertengahan 1980-an, abang saya Chalis Ali yang masih duduk di SMP 46 Pasar Minggu, berteriak-teriak gembira sambil membawa Harian Angkatan Bersenjata. Isinya adalah berita rontoknya puluhan (?) pesawat tempur Israil ditembak tentara Mesir.
Beberapa tahun kemudian, saya baru tahu, yang terjadi adalah sebaliknya. Kenapa ‘beberapa tahun’? Sebagai anak Ibtidaiyah di Ragunan, Pasar Minggu, saya tidak mengikuti perkembangan Timur Tengah dengan cermat. Saya lebih teliti mengikuti cerita bersambung “Nagasastra Sabuk Inten” karya SH Mintardja di Harian Berita Yudha. Tokoh Mahesa Jenar, Kebo Kanigata atau Bogel Kaliki dalam serial bersambung itu lebih lekat dalam ingatan sejak Ibtidaiyah hingga hingga kini.
Ketika Yom Kipur —secara subyektif, saya tak suka mengenakan frasa ini— terjadi pd 1973, saya sudah duduk di kelas 3 SPIAIN Al-Falah, Mampang Prapatan. Karena itu, peristiwa ‘menggetarkan’ tersebut hinggap dalam struktur ingatan saya.
Dalam perspektif inilah saya menaruh perhatian besar pada cerita senior saya Ignas Kleden pada pertengahan 1980-an di LP3ES tentang lelucon Kiai Abdurrahman Wahid atas perdagangan Mesir-Israil.
“Walau dalam keadaan perang,” kata Kiai Abdurrahman Wahid, seperti diceritakan kembali oleh Ignas Kleden, ‘perdagangan’ Mesir-Israil tetap berlangsung. Ini terutama dalam impor-ekspor kippah —kopiah putih Yahudi yang, karena kecilnya, cukup diletakkan di belakang kepala.
Perang Yom Kipur telah membuat suplai kippah langka di Israil. Sementara kebutuhan (demand) meningkat.
Untuk itu, sebuah perusahaan Israil mengontak rekannya, seorang pengusaha Mesir, mengekspor kippah. Deal terjadi. Dan, pengusaha Mesir ini dengan teratur mengirim kippah sesuai dengan permintaan. Tetapi, kian lama, kebutuhan kippah semakin tinggi. Israil mendesak pengusaha Mesir itu melipat-gandakan ekspor kippah.
Untuk sementara, pengusaha Mesir tersebut masih bisa memenuhi permintaan kippah yang kian meningkat itu. Tetapi, lama kelamaan kian seret.
Pengusaha Israil menjadi masygul. Melalui telepon, ia menghubungi pengusaha Mesir. Terjadilah percakapan sebagai berikut:
Israil: “Mengapa ekspor kippahmu seret sekali, padahal permintaannya sedang bagus di Israil?”
Mesir: “Justru kami yang ketiban sial gara-gara harus mengekspor kippah tanpa henti ke negerimu.”
Israil: “Kok?! Bukannya kamu makin untung?!”
Mesir: “Iya sih. Tapi perusahaan kami kini diprotes banyak orang. Mesir dalam krisis besar.”
Israil: “Krisis?! Krisis apa?”
Mesir: “Krisis kelangkaan BH. Selama ini, BH itu kami potong dua. Lalu kami ekspor ke negerimu. Akibatnya, lama kelamaan Mesir menderita kelangkaan BH.”